26/04/2024

Jadikan yang Terdepan

Syariat Islam Sertifikasi Terbaik untuk Umat

Oleh. Uqie Nai

(Member AMK4)

Di tahun 2024 mendatang, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama berencana menerapkan sanksi kepada pelaku usaha yang tidak memiliki sertifikat halal untuk produk-produknya. Oleh karena itu Kepala BPJPH Aqil Irham, meminta para pelaku usaha segera mengurus sertifikat halal produknya sebelum kewajiban sertifikasi tersebut diterapkan.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 beserta turunannya, Aqil menyebut ada tiga kelompok produk yang harus bersertifikat halal seiring dengan berakhirnya penahapan pertama, yakni 17 Oktober 2024. Yang pertama produk makanan dan minuman. Kedua, bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong untuk produk makanan dan minuman. Ketiga, produk hasil sembelihan dan jasanya. Adapun sanksi yang diberlakukan adalah peringatan tertulis, denda administratif, hingga penarikan barang dari peredaran sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam PP Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal.

Untuk mempermudah masyarakat, BPJPH akan membuka fasilitasi Sertifikasi Halal Gratis (Sehati) untuk satu juta produk Usaha Mikro dan Kecil (UMK). Dengan syarat, produk tidak berisiko atau menggunakan bahan yang sudah dipastikan kehalalannya, proses produksinya juga halal, memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB), memiliki hasil penjualan tahunan (omzet) maksimal Rp500 juta, memiliki lokasi, tempat, dan alat Proses Produk Halal (PPH) yang terpisah dengan lokasi, tempat, dan alat proses produk tidak halal. (Beritasatu.com, Sabtu, 7/1/2023)

Kapitalisasi dalam Sertifikasi Halal

Sertifikasi halal merupakan upaya yang  wajib dipenuhi negara dalam rangka melindungi rakyat terutama kaum muslim, dari produk-produk haram. Maka sudah selayaknya pelayanan ini diberikan secara mudah, murah, bahkan gratis. Namun, melihat regulasi tentang biaya permohonan perpanjangan sertifikasi, negara menarifkan Rp200.000 untuk usaha mikro dan kecil, Rp2.400.000 untuk usaha menengah, dan RP5.000.000 untuk usaha besar.

Begitu pun program Sehati, negara melalui BPJPH hanya menyediakan satu juta kuota saja, sementara sisanya masyarakat yang ingin mendaftarkan produknya dan bersertifikat halal harus mengeluarkan sejumlah uang alias membayar. Ini berarti pelayanan negara akan keberadaan produk halal bukan dilandaskan pada kemaslahatan rakyat yang berasaskan akidah Islam, tetapi berasaskan kapitalis-sekuler.

Kapitalisme-sekuler yang diterapkan dalam ranah pemerintahan, akan melahirkan satu kebijakan yang  tak lepas dari motif keuntungan. Contoh lain misalnya Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS). Saat program ini diluncurkan dan disosialisasikan, negara terus meyakinkan masyarakat bahwa program ini solusi terbaik dalam hal kesehatan. Nyatanya bukan pelayanan kesehatan yang murni diberikan pemerintah melainkan asuransi sosial yang dikelola swasta dengan segudang masalah di dalamnya. Dari soal pelayanan, rawat inap, obat dan perawatan yang disesuaikan dengan kelas,  hingga sanksi administratif bagi peserta nunggak.

Pada akhirnya,  masyarakat kembali menjadi objek pemalakan dari sebuah ‘kebijakan’. Rakyat pun dipaksa mengikuti keinginan penguasa dengan dalih perlindungan atau pelayanan, bahkan harus ikut aktif memuluskan programnya jika tak ingin kena sanksi.

Mirisnya, masyarakat masih belum menyadari bahwa minimnya pelayanan serta perlindungan negara tersebut disebabkan aturan yang bersumber dari paham kapitalisme. Aturan ini pula yang sangat dipuja kapitalis sebagai cara meraup keuntungan tanpa harus direpotkan aturan agama dengan halal-haramnya atau baik-buruknya berdasarkan syariat. Para kapital senantiasa mencari celah agar keuntungan itu terus mengalir apalagi ada peran negara sebagai regulator dan fasilitator mereka. 

Sertifikasi halal hanya salah satu contoh saja dari sekian banyak proyek kapital, dengan objek penderitanya tentu saja rakyat. Oleh karena itu, program apapun yang dibuat pemerintah tidak akan berbuah maslahat untuk umat jika landasannya masih sama, yakni  manfaat.

Syariat Islam Mewujudkan Keamanan Produk

Negara yang berdiri di tengah mayoritas muslim, mestinya tak dipusingkan dengan produk halal  hingga harus dibuat sertifikatnya. Yang mestinya dipersoalkan adalah keberadaan produk haram yang tentunya lebih sedikit jumlahnya dan dikonsumsi oleh nonmuslim. Negara hanya berkewajiban mengawasi pendistribusiannya jangan sampai masuk ke ranah kaum muslim. Ini bukan hal yang sulit bagi pemimpin dalam pemerintahan Islam.

Sejak amanah kepemimpinan ada di pundaknya, maka tanggung jawab pemimpin adalah merealisasikan hukum Allah Swt. dan menjaganya dari penyimpangan, baik yang dilakukan oleh individu, masyarakat, atau negara (pejabat). Baik menyangkut persoalan akidah, muamalah, malbusat (pakaian), math’umat (minuman), atau uqubat (sanksi) semuanya diatur berdasarkan syariat untuk keamanan serta kesejahteraan umat.

Allah Swt. telah berfirman:

“Wahai manusia, makanlah oleh kalian yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian.” (QS. Al-Baqarah, [3]:168).

Dengan adanya perintah Allah tersebut maka seorang pemimpin dan juga kaum muslim memahami satu hal yakni keharusan memakan makanan halal dan baik. Halal dari sisi zat dan kandungannya, halal diperolehnya, dan halal dalam cara produksinya (pengolahannya). Sementara tayib (baik) artinya, segala hal yang dikonsumsi dari produk halal tersebut tidak berdampak buruk pada tubuh dan kesehatan.

Rasulullah saw. telah bersabda: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu tayib (baik). Allah tidak akan menerima sesuatu melainkan dari yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin seperti yang diperintahkan-Nya kepada para Rasul. Firman-Nya, ‘Wahai para Rasul! Makanlah makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal saleh…” (HR. Muslim)

Dengan landasan akidah dan arahan syariat, siapa pun yang membuat/memproduksi barang konsumsi tentu akan menghindari hal-hal yang diharamkan Allah dan rasulNya. Selain pelakunya terkatagori berdosa, ia pun akan mendapat sanksi dari negara karena telah merusak hak konsumen mendapat produk yang halal. 

Untuk menjaga pemahaman dan ketakwaan individu dan masyarakat dari pelanggaran hukum syarak, negara akan menempatkan syurthoh (petugas keamanan) dan qadhi hisbah di pasar-pasar atau lingkungan masyarakat. Masyarakat yang dilanggar haknya oleh pelaku usaha (pedagang) bisa langsung mengadukan dan meminta solusi kepada petugas negara tersebut. Sementara untuk pelaku usaha akan diberi peringatan, diedukasi, atau sanksi jika pelanggaran tersebut masih dilakukan.

Inilah salah satu bentuk tanggung jawab negara memberi rasa aman kepada publik tanpa harus membuat sertifikasi halal yang dilandasi manfaat sebagaimana dalam sistem kapitalis. Negara yang hadir sebagai raa’in (pengurus rakyat) dan pelaksana hukum-hukum Allah adalah sertifikat hakiki bagi umat.

“Imam (pemimpin) itu adalah penggembala. Ia akan diminta pertanggungjawaban atas apa yang diurusnya (rakyat).” (HR. Al Bukhari)