27/04/2024

Jadikan yang Terdepan

Gelombang PHK di Industri Startup, Mimpi Buruk Kapitalisme

Oleh: Ummu Kholda

Aktivis Dakwah

Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara besar-besaran kini mulai menghantui beberapa perusahaan rintisan atau startup yang ada di Indonesia. Padahal kondisi perekonomian saat ini tengah menggeliat semenjak pandemi melanda dua tahun yang lalu. PHK massal tersebut tidak hanya terjadi pada perusahaan rintisan global, namun juga melanda dalam negeri.

Sebut saja startup edu-tech, Zenius, yang telah berhasil menggalang dana puluhan juta dolar Amerika Serikat, beberapa waktu lalu mengumumkan PHK terhadap 200 karyawannya. Selain itu, Robin Hood juga memangkas 300 karyawan, Netflix melakukan PHK 150 pegawai dan Cameo memangkas 87 pegawainya.

Di dalam negeri, didapati ada tiga perusahaan yang melakukan efisiensi terhadap karyawannya seperti Zenius, Link Aja, hingga JD.ID. Zenius melakukan PHK terhadap 25℅ karyawannya atau sekitar 200 orang. Bendahara Asosiasi Modal Ventura untuk startup Indonesia (Amvesindo) sekaligus Managing Partner Ideosource Venture Capital, Edward Ismawan Chamdani mengaku bahwasannya dirinya tidak kaget ketika melihat startup mulai memilih strategi efisiensi melalui PHK karyawan. Karena keputusan tersebut merupakan hal yang biasa dan menjadi dampak dari keputusan bisnis yang belum tepat. (CNBC Indonesia, 29/5/2022)

Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Didik J. Rachbini mengatakan bahwa fenomena PHK massal di banyak startup di Indonesia dalam waktu berdekatan ini dapat disebut sebagai bubble burst. Menurutnya, kondisi startup di Indonesia, sebelum dan  saat  pandemi cukup kontras. Sebelum pandemi perusahaan-perusahaan tersebut membesar atau secara instan merekrut banyak karyawan untuk membangun perusahaan. Sementara saat dan pasca meredanya pandemi, perusahaan rintisan ini tidak sedikit yang gulung tikar hingga mem-PHK karyawannya. Biasanya yang demikian itu diakibatkan karena produk kalah bersaing dan kurang diterima di masyarakat, kurangnya pendanaan hingga penentuan harga yang kurang tepat.

Dilansir dari investopedia (29/5/2022), bubble burst adalah ledakan gelembung ekonomi dimana terjadi pertumbuhan ekonomi (eskalasi atau kenaikan nilai pasar yang cepat) dan terlalu tinggi, serta diiringi dengan kejatuhan yang relatif cepat. Inflasi yang cepat dalam harga aset ini diikuti dengan penurunan nilai yang cepat atau kontraksi. Kondisi inilah yang terjadi di beberapa startup akhir-akhir ini.

Diketahui, startup dengan bisnis yang berbasis internet mengeluarkan produk berupa aplikasi yang berbentuk digital dan jasanya beroperasi melalui website. Hal ini tentu saja membutuhkan pendanaan yang cukup besar. Oleh karena itu muncullah perusahaan-perusahaan modal Ventura atau biasa dikenal dengan Venture Capital (VC). VC inilah yang dibentuk untuk memberikan investasi ke perusahaan-perusahaan startup. Sebagai imbal balik, VC ini akan mendapatkan sejumlah saham dari perusahaan tersebut dengan harapan ketika dicairkan akan bernilai jauh lebih tinggi dari investasi yang telah diberikan.

Tentu saja Indonesia adalah negara yang menjadi target pasar yang menggiurkan bagi para investor. Bagi mereka, startup sangat penting sebagai jalan termudah dan termurah untuk mengambil pasar negeri ini mengembangkan sayapnya. Hal inilah yang membuat para investor tertarik untuk investasi dan menyuntikkan dananya di startup. Mereka akan berlomba-lomba untuk menggelontorkan modalnya dengan harapan keuntungan besar yang akan diperolehnya.

Di saat valuasi perusahaan makin tinggi, maka perusahaan dapat dijual dengan harga yang sangat tinggi atau melakukan Initial Public Offering (IPO) yaitu penawaran saham perdana ke publik dengan harga saham perlembar yang tinggi. Maka saat itulah perusahaan akan mendapat keuntungan, begitu pula dengan investor.

Bisnis ala startup inilah yang sebenarnya kelak akan mengguncang ekonomi. Karena investasinya lebih condong kepada sektor nonriil, sehingga berpeluang menggelembung dan pecah. Hal itu pula yang menjadi penyebab mudahnya perusahaan startup untuk melakukan PHK massal terhadap karyawannya. Selain itu, ekonomi nonriil juga merupakan bentuk sistem ekonomi ala Kapitalisme yang mengedepankan keuntungan dan penguasaan pasar. Selain itu, prinsip kebebasan juga sangat terasa dalam sistem ini terutama kebebasan kepemilikan. Ketika seseorang mempunyai modal dan kekayaan yang cukup, ia dapat membangun perusahaan dan bebas untuk mengatur kebutuhan dan pengeluarannya sendiri demi mencapai keuntungan sebesar-besarnya. Bahkan ia juga dapat menguasai pasar sebagaimana dalam bisnis startup ini.  Dengan kekuasaannya tersebut mereka lebih mudah mengatur dan mengendalikan pasar demi kepentingan mereka.

Startup juga dijadikan jalan bagi para kapitalis untuk menguasai data (big data) dan kaum muslimin melalui ekonomi. Hal ini berdampak pada ketidak amanan data yang berpeluang untuk disalahgunakan.

Mirisnya, di tengah industri yang kurang berjalan dengan lancar, startup diberi kebebasan untuk melebarkan sayapnya dengan anggapan nantinya dapat memajukan ekonomi bangsa dari investasi tersebut. Bahkan diberikan dukungan penuh oleh negara berupa pendanaan yang tidak sedikit. Padahal hal ini sama saja dengan memberikan ruang ketidakberdayaan bagi negeri.

Inilah kondisi ketika sistem ekonomi kapitalisme masih diemban di negeri ini. Semakin banyak modal semakin berkuasa terutama terhadap pasar.

Berbeda dengan Islam. Sistem ekonomi Islam berfokus pada pembangunan ekonomi sektor riil dan tidak mengenal nonriil. Hukum jual beli saham di lantai bursa saham juga haram karena di dalamnya terdapat riba dan akad syirkah yang batil.

Islam dengan sistem ekonominya mengembangkan industri dalam tiga sektor, di antaranya: industri berat, industri strategi berbasis militer dan di bidang ekonomi untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Selain itu, negara yang menerapkan sistem ekonomi Islam mempunyai mekanisme yang mencakup tentang perolehan harta kekayaan dan pemanfaatannya, baik untuk kebutuhan konsumsi maupun distribusi. Kesemuanya itu berdiri di atas tiga pilar, yaitu: cara harta itu diperoleh yakni menyangkut kepemilikan, pengelolaan kepemilikan dan distribusi kekayaan di tengah masyarakat agar tidak terjadi kesenjangan ekonomi.

Negara yang mengemban sistem ekonomi Islam akan menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar individu baik secara langsung maupun tidak langsung. Bukan berfokus pada keuntungan dan kepuasan individu atau swasta. Konsep ini akan menghasilkan kebijakan yang adil dan dapat menyejahterakan rakyat.

Islam juga telah jelas melarang kaum kafir menguasainya dan kaum muslim dilarang untuk bergantung kepada mereka. Karena itu, Islam tidak akan bergantung pada investasi asing yang berakibat ketergantungan dengan  negara lain dan terus menerus bergantung pada impor.

Allah Swt. berfirman: “Dan sekali-kali Allah tidak memberi jalan bagi orang kafir untuk menguasai orang-orang beriman.”  (TQS An-Nisa {4}: 141)

Maka dari itu, dengan melihat fenomena kerusakan akibat sistem kapitalis yang jelas-jelas bukan memihak pada rakyat, melainkan lebih memihak pada kepentingan individu, swasta hingga para investor, [koma ganti titik, kata ssdhnya sesuaikan untuk pembuka kalimat baru] semestinya kaum muslimin tak perlu ragu untuk kembali kepada sistem yang sahih (benar). Serta mencampakkan sistem batil kapitalisme yang senantiasa menghantui kaum muslimin bagaikan mimpi buruk yang tidak kunjung berakhir. Sistem itu tiada lain adalah sistem Islam yang sempurna. Aturannya diterapkan tidak lain untuk mengayomi umat, memelihara kepentingan rakyat seadil-adilnya.

Wallahu a’lam bi ash-ahawab.