28/03/2024

Jadikan yang Terdepan

Nasib Tenaga Honorer di Bawah Naungan Kapitalis Sekuler

Oleh: Irma Faryanti
Ibu Rumah Tangga & Member Akademi Menulis Kreatif

Bak Langit Runtuh. Mungkin itulah yang dirasakan para tenaga honorer di negeri ini. Betapa tidak? Kejelasan nasib mereka di masa depan seolah sudah tidak bisa diharapkan lagi. Menyusul keputusan pemerintah yang telah memastikan akan menghapus tenaga honorer per tanggal 28 November 2023.

Hal di atas tercantum dalam surat Menteri PANRB No. B/185/M.SM.02.03/2022. Melalui keputusan itu ditetapkan penghapusan dan menggantinya dengan sistem Outsourcing. Sehingga nantinya Aparatur Sipil Negara (ASN) hanya terdiri dari dua jenis yaitu PNS dan PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja). Namun masih ada peluang bagi para pekerja honor untuk mengikuti tes CPNS, walaupun tidak semua bisa lolos seleksi. (detikFinance Minggu 5 Juni 2022)

Padahal jumlah tenaga honorer di negeri ini masih sekitar 410.010 orang, setelah sebelumnya mencapai 438.590 di tahun 2018-2020. Tenaga Honorer Kategori II (THK II) pun menyusut jumlahnya pasca dilaksanakannya seleksi CASN di tahun 2021. Dari total yang tersisa, THK II tersebut terdiri dari 123.502 pendidik, 4.782 di bidang kesehatan, 2.333 tenaga penyuluh dan 279.393 bagian administrasi.

Tjahjo Kumolo selaku Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) menyatakan bahwa penghapusan tenaga honorer dilakukan untuk menyejahterakan mereka, karena selama ini direkrut dengan sistem yang tidak jelas sehingga mendapat gaji di bawah Upah Minimum Regional (UMR).

Selama ini yang melakukan perekrutan adalah instansi-instansi yang bersangkutan sehingga gaji yang diberikan disesuaikan dengan standar mereka yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Oleh karenanya, untuk memperoleh penghasilan yang layak sesuai UMR, model pengangkatan pun dilakukan melalui Outsourcing.

Keputusan pemerintah tersebut mendapat tanggapan dari Wakil Ketua MPR dari fraksi Partai Demokrat, Syarif Hasan. Ia meminta agar kebijakan tersebut dikaji kembali, mengingat tenaga honorer memiliki peran yang sangat penting di sektor publik. Misal pada bidang pendidikan, keberadaan mereka sangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pendidik. Jika kebijakan penghapusan diberlakukan, akan sangat memungkinkan terjadinya kelumpuhan dalam pelayanan pendidikan.

Kebijakan rekruitmen tenaga honorer pada awalnya dikeluarkan untuk mengurangi angka pengangguran, pemerintah pun mendapat keuntungan lain yaitu memperoleh tenaga kerja yang bersedia diberi upah yang murah. Dengan dalih tidak cukup berpengalaman dan diiming-imingi akan diangkat menjadi ASN, akhirnya mereka pun dipekerjakan. Namun kebijakan yang semula dianggap bisa menjadi solusi, kini dianggap sebagai beban negara.

Inilah derita hidup dalam negara penganut sistem kapitalis, rakyat harus berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sementara lapangan pekerjaan kian sulit dicari, masyarakat harus berjibaku dalam mengais rezeki. Mirisnya, tenaga kerja asing dengan mudahnya bisa mendapatkan pekerjaan di negeri ini, peluang bagi mereka terbuka lebar.

Demikianlah fakta hidup dalam naungan kepemimpinan kapitalis. Manusia diberi wewenang membuat, menjalankan, mengganti bahkan menghapus hukum sesuai kepentingan. Padahal sejatinya manusia itu lemah, dan tidak layak menetapkan aturan hidupnya sendiri. Seperti keberadaan tenaga honorer yang semula dianggap menguntungkan, akhirnya dihapus ketika dianggap sebagai beban.

Sebagai sistem yang menjadikan materi sebagai standar kebahagiaan hidup, kapitalisme memposisikan hubungan penguasa dan rakyat seperti penjual dan pembeli. Rakyat dipandang hanya dari sisi ekonomi, menguntungkan ataukah tidak. Ketika tenaga honorer lebih dianggap tidak lagi menguntungkan karena telah mengacaukan anggaran ASN, maka dengan mudahnya akan didepak bahkan dihilangkan.

Sangat berbeda dengan kepemimpinan Islam, sistem yang dibangun berlandaskan aqidah Islam ini menjadikan seluruh aturannya didasarkan pada hukum syariat yang telah ditetapkan Allah Swt. Terkait masalah lapangan pekerjaan, negara berkewajiban menyediakannya agar rakyat dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan bekerja.

Hal ini harus dilakukan oleh penguasa muslim mengingat tanggung jawabnya sebagai pengayom umat yang kelak akan dihisab di hadapan Allah Swt. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. dalam HR. al Bukhari dan Muslim:
“Seorang imam adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), ia akan diminta pertanggungjawabannya atas urusan rakyatnya.”

Islam tidak mengenal perekrutan tenaga honorer, karena pekerja akan direkrut sesuai kebutuhan riil negara untuk menjalankan pekerjaan yang bersifat administratif maupun pelayanan. Semuanya diatur di bawah hukum ijarah (kontrak kerja) dengan gaji layak yang disesuaikan dengan jenis pekerjaan.

Penguasa boleh mempekerjakan secara mutlak tanpa memandang apakah dia muslim ataukah non muslim (kafir Dzimmi), semua akan diperlakukan sama dan adil sesuai hukum syariat. Hak-hak sebagai pegawai akan terlindungi dan dijamin oleh negara.

Pernah terjadi di masa kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz, di mana gaji pegawai negara ada yang mencapai 300 dinar atau setara dengan 114.750.000 rupiah. Apakah hal itu mungkin terjadi? Sangat mungkin, karena sistem keuangan negara berbasis pada sistem ekonomi Islam, pembayaran gaji diambil dari kas Baitul Mal yang didalamnya terdapat pos kepemilikan negara. Adapun sumbernya berasal dari harta fa’i, kharaj, jizyah, ghanimah ataupun usyur. Dari sanalah pemerintah Islam mengalokasikan anggaran untuk menggaji pegawai negara.

Demikianlah cara Islam menyelesaikan masalah tenaga kerja, semua hanya mampu tertangani ketika Islam dijadikan sebagai solusi. Kesempurnaan penerapan di seluruh aspek kehidupan, akan mengantarkan pada kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Wallahu a’lam Bishawwab