26/04/2024

Jadikan yang Terdepan

Listrik Naik, Rakyat Menjerit, Realita Pahit dalam Sistem Kapitalisme

Oleh: Nuni Toid
Pegiat Literasi dan Member AMK

Sungguh menyedihkan hidup saat ini. Bagaimana tidak, belum selesai rakyat disuguhi mahalnya harga bahan pokok. Kini, mencuat kembali rencana kenaikan tarif dasar listrik (TDL) yang sudah mendapatkan ijin dari Presiden dan Komisi VII DPR. Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani dalam rapat bersama Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, menyampaikan akan ada kenaikan tarif listrik di atas 3000 Volt Ampere (VA) sebagai langkah berbagi antara kelompok rumah tangga, badan usaha, dan pemerintah. (jpnn.com, 22/5/2022)

Namun, menurut ekonom yang juga Direktur Riset Center Of Reform on Economics (CORE), Piter Abdullah menilai kenaikan tarif dasar listrik akan menyebabkan inflasi dan rakyat miskin yang akan menerima efek secara tidak langsung. Meski kenaikan penyesuaian listrik saat ini khusus bagi kalangan mampu, tetap saja tidak menutup kemungkinan akan ada kenaikan untuk pelanggan PLN yang nonsubsidi lainnya.

Sepintas wajar bila pemerintah menaikkan TDL, sebab sejak tahun 2017 tidak melakukan penyesuaian tarif listrik. Kendati harga bahan bakar minyak naik dan kurs rupiah melemah. Karenanya, untuk memenuhi harga perekonomian dan tarif listrik yang tak mengalami penyesuaian, pemerintah membayarkan dana kompensasi kepada PLN.

Itulah alasan mengapa pemerintah menaikkan TDL. Karena pemerintah selama ini konon begitu peduli dengan keadaan masyarakat. Hingga sampai memberikan bantuan (subsidi) kepada rakyat. Salah satunya adalah subsidi listrik. Tapi, benarkah demikian? Realitanya tidak, justru pemerintah telah memperdayakan masyarakat dengan iming-iming memberi subsidi. Ironis bukan?

Miris, setiap tahun selalu ada kebijakan yang menyesakkan rakyat. Sepertinya sudah menjadi watak khas penguasa negeri ini. Di mana paradigma berpikirnya dipengaruhi sistem ekonomi Kapitalisme yang menilai segala sesuatu dari sudut pandang materi. Sehingga melahirkan karakter pemimpin yang berorientasi pada untung rugi. Padahal naiknya tarif listrik baik itu yang bersubsidi maupun yang non subsidi, tetap saja akan membebani rakyat.

Inilah konsekuensi dari penerapan sistem ekonomi Kapitalisme. Sistem rusak buatan manusia ini hanya mementingkan golongannya saja, yakni para pengusaha, swasta, dan pemilik modal. Maka kebijakan apapun yang dibuat ujung-ujungnya hanya menguntungkan segelintir para kapitalis. Sedangkan rakyat dijadikan korban atas kebijakan yang dibuatnya.

Sehingga negara pun terkesan masih hitung-hitungan dalam mengurusi dan memenuhi kebutuhan rakyatnya. Salah satunya dengan memberikan pelayanan penerangan terhadap masyarakat. Padahal sejatinya listrik merupakan satu dari sekian sumber energi yang semestinya dapat dinikmati oleh semua masyarakat tanpa terkecuali.

Namun, alih-alih memberikan subsidi listrik, yang ada justru pemerintah hendak menaikkan tarifnya. Inilah realita yang terjadi dalam sistem Kapitalisme, biaya listrik naik, rakyat semakin menjerit. Sungguh pahit kehidupan yang harus dialami rakyat negeri ini. Hanya fatamorgana, kebahagiaan jauh dari jangkauan rakyat.

Padahal cadangan batubara saat ini mencapai 38,84 miliar ton. Dengan rata-rata produksi sebesar 600 juta ton per tahun, maka umur cadangan tersebut masih bisa 65 tahun. Dengan berlimpahnya batubara yang dimiliki negeri ini, mestinya kebutuhan rakyat akan pemenuhan listrik dapat terpenuhi dengan baik. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, negara telah menghilangkan perannya sebagai penanggung jawab utama. Mereka membiarkan pihak swasta untuk ikut mengelola dan menguasai sumber kekayaan milik rakyat ini. Itulah bila aturan yang digunakan adalah sistem rusak buatan manusia, yakni sistem ekonomi Kapitalisme. Hanya ada kesengsaraan dan penderitaan yang dialami rakyat.

Berbeda dengan sistem Islam yang bersumber langsung dari Sang Maha Pencipta, Dialah Allah Swt.. Islam memiliki seperangkat aturan yang sempurna untuk mengatur seluruh kehidupan manusia. Terkait pemenuhan kebutuhan listrik rakyat, maka hal tersebut masuk ke dalam pengaturan kepemilikan. Dalam sistem ekonomi Islam kepemilikan dibagi menjadi tiga, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Dalam pandangan Islam, listrik merupakan kepemilikan umum. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. “Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara: padang rumput, air, dan api.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Listrik merupakan energi panas yang dapat menyalakan barang elektronik. Dalam hal ini listrik termasuk api. Selain itu, batubara juga merupakan bahan pembangkit listrik yang terkategori barang tambang dengan jumlah cukup besar. Maka hukumnya haram bila dikuasai oleh individu atau swasta. Karenanya, yang wajib mengelolanya adalah negara. Sedangkan swasta apapun alasannya tidak berhak untuk mengurusnya.

Negara dalam memenuhi kebutuhan listrik rakyatnya, menempuh beberapa cara, di antaranya: pertama, negara membangun sarana dan fasilitas pembangkit listrik yang memadai. Kedua, negara melakukan eksplorasi bahan bakar listrik secara mandiri. Ketiga, negara mendistribusikan pasokan listrik kepada rakyatnya dengan harga murah. Keempat, negara mengambil keuntungan pengelolaan sumber energi listrik atau lainnya adalah untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Seperti kebutuhan pendidikan, kesehatan, keamanan, sandang, pangan, dan papan. Semua pembiayaan tersebut dengan menggunakan dana dari Baitulmal.

Itulah peradaban Islam yang pernah menjadi kiblatnya dunia selama berabad-abad lamanya. Hal itu terbukti pada masa khilafah Bani Umayyah. Betapa terpenuhinya semua kebutuhan listrik rakyatnya. Begitupun dengan Cordoba yang menjadi ibukota Andalusia. Bila malam hari tiba, jalan-jalan diterangi dengan lampu. Sehingga bagi pejalan kaki akan memperoleh penerangan sepanjang sepuluh mil tanpa terputus. Ada juga masjid dengan 4.700 buah lampu yang menerangi, dengan setiap tahunnya menghabiskan 24.000 liter minyak.

Begitulah dengan pengelolaan listrik yang berdasarkan syariat Islam, rakyat dapat memenuhi kebutuhan listrik dalam kehidupan sehari-hari dengan biaya murah bahkan cuma-cuma. Semua itu bisa dirasakan oleh seluruh masyarakat, bila Islam diterapkan dalam segala aspek kehidupan manusia tanpa terkecuali. Maka rakyat tidak akan menjerit kesulitan dalam memenuhi segala kebutuhannya, termasuk listrik.

Wallahu a’lam bish shawab.