27/04/2024

Jadikan yang Terdepan

Kontradiksi Lisan dan Kenyataan Sang Pembuat Kebijakan

Oleh: Irma Faryanti
Ibu Rumah Tangga & Member Akademi Menulis Kreatif

Dalam sebuah acara Afirmasi Bangga Buatan Produk Indonesia di Bali 25 Maret lalu, Presiden Joko Widodo mengungkapkan rasa kecewa dan kemarahannya saat memberikan pengarahan di acara tersebut. Hal itu diungkapkan ketika Presiden mengetahui bahwa impor yang dilakukan oleh kementerian, BUMN dan Pemda faktanya lebih besar dibandingkan dengan konsumsi produk dalam negeri. (Kompasnews.com 26 Maret 2022)

Kebijakan pemerintah pusat, daerah serta BUMN yang masih melakukan impor pengadaan barang dan jasa, telah membuat kepala negara geram karena anggaran belanja yang diberikan tidaklah sedikit. Sekitar Rp. 526 triliun digelontorkan untuk pusat, Rp. 535 triliun untuk daerah dan Rp. 420 triliun untuk BUMN.

Lebih lanjut Presiden menegaskan, bahwa dana APBN berjumlah besar yang berasal dari pajak itu sebenarnya akan mampu mentrigger pertumbuhan ekonomi Indonesia jika digunakan untuk membeli produk dalam negeri. Tidak harus repot mencari investor cukup dengan konsisten membeli barang-barang hasil karya bangsa sendiri.

Namun sayang, apa yang diungkap menimbulkan rasa heran di mata rakyat. Pasalnya Indonesia sejak lama telah menjadi negara pelaku impor bahkan mendapat julukan raja impor. Mungkinkah seorang pemimpin tidak mengetahuinya? Pada beberapa kebijakan, impor justru diloloskan begitu saja. Contohnya bahan pangan yang tumbuh subur di negeri ini semisal beras, teh, jagung ataupun kentang masih sengaja diimpor dari negara-negara lain. Sebagai contoh impor beras dari negara ASEAN semisal thailand dan vietnam. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan Juli 2021, pemerintah melakukan impor beras sebesar 41,6 ton seharga US$ 18,5 juta atau Rp. 266,4 miliar. (CNBC Indonesia)

Walau dikenal sebagai negara agraris yang tanahnya subur makmur, nyatanya tidak mampu melepaskan diri dari ketergantungan impor. Hal ini jelas menunjukkan kelemahan negara dalam mengolah komoditas mentah menjadi produk jadi, sehingga bahan mentah lebih memilih diekspor ke luar negeri, sementara barang jadi justru diimpor dari luar.

Inilah resiko menjadi negara terjajah, tidak pernah memiliki strategi kebijakan yang utuh. Akibat kelemahan visi politik untuk menjadi mandiri dan berdaulat, penguasa meletakan negara sebagai pasar bagi perusahaan multinasional dalam perdagangan bebas. Para pemimpin hanya mengobral kata-kata manis yang tidak sinkron dengan kenyataan. Janji tidak akan membuka keran impor, sementara faktanya justru semakin merajalela.

Padahal sikap pemimpin seperti ini sangatlah berbahaya. Selain merugikan produk dalam negeri, ketergantungan pada negara lain juga dapat berpengaruh pada kedaulatan negeri. Penguasa yang memiliki krisis integritas dipastikan tidak memiliki visi, misi dan tujuan yang jelas sehingga mudah dikendalikan oleh pihak lain. Ia cenderung tidak berpendirian dan lebih mengedepankan pencitraan yang bisa memperkuat kedudukannya dalam meraih dukungan massa.

Sementara dalam Islam, integritas merupakan sesuatu yang sangat dituntut ada pada diri seorang pemimpin. Karena kelak ia akan dimintai pertanggungjawabannya atas amanah yang dibebankan kepadanya. Al Qur’an dengan gamblang menyatakan bahwa Allah murka pada seseorang yang tidak sinkron antara perkataan dan perbuatan atau kebijakannya, sebagaimana firmanNya dalam QS shaff ayat 2 dan 3, yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kami mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”

Seorang pemimpin Islam akan selalu berusaha amanah dalam menjalani perannya sebagai pelayan umat. Ia tidak akan pernah mau menjadi antek asing dan berlepas diri dari cengkeraman penjajahan sistem Kapitalisme. Ketika pernyataan seorang pemimpin sesuai dengan berbagai kebijakan yang ditetapkan, maka akan tercipta pengaturan urusan umat yang benar sesuai syariat. Dan sosok pemimpin seperti ini hanya akan terwujud dalam sebuah sistem pemerintahan Islam. Yang kemunculannya merupakan janji Allah yang pasti terjadi suatu saat nanti.

Wallahu a’lam Bishawwab