19/04/2024

Jadikan yang Terdepan

Tiada Guna Kekesalan jika Ide Sekuler masih Kau Genggam

Oleh: Uqie Nai
(Member AMK4)

Pekan yang lalu, saat acara Afirmasi Bangga Buatan Indonesia yang disiarkan secara daring, Jumat (25/3), Presiden Jokowi menumpahkan kekesalannya pada instansi pemerintah yang lebih banyak membelanjakan anggaran untuk produk impor, ketimbang produk lokal.

Menurut Jokowi, seharusnya saat kondisi ekonomi  sulit akibat pandemi, disrupsi teknologi, dan perang, para pejabat pemerintah ikut membantu negara meningkatkan ekonomi dengan cara membeli produk-produk lokal buatan dalam negeri. Dengan cara ini,  masyarakat akan bangkit, lapangan kerja tercipta, dan meminimalisir pengangguran. Terutama jika dikaitkan bahwa pemerintah memiliki pengadaan barang dan jasa dengan anggaran modal pusat Rp526 triliun, daerah Rp535 triliun, dan BUMN Rp420 triliun. Sayangnya, berdasarkan data yang diperoleh, sejauh ini pemerintah pusat dan daerah baru membelanjakan anggaran untuk produk lokal sebesar 1,5-1,7 persennya saja. (kompas.com, Jumat, 25/3/2022)

Budaya Impor Lahir dari Sistem Pro Kapital

Kekesalan Presiden Jokowi atas  belanja impor yang dilakukan instansi pemerintah dan jajarannya seakan membuka tabir hilangnya kontrol negara terhadap aktivitas impor yang selama ini terjadi, yang mestinya diketahui kepala negara.

Rasanya ambigu, jika seorang kepala negara tak tahu menahu jika praktik impor demikian gencar dalam pemerintahannya, mengingat sosok kepala negara memiliki peran strategis dalam hubungan diplomatik secara ekonomi. Setiap kerjasama yang terjalin antara swasta atau asing tentunya berhubungan erat dengan regulasi dan birokrasi yang bersifat sistemik.

Budaya impor yang kebablasan, sejatinya tak terlepas dari ideologi negara berbasis kapitalisme liberal yang diadopsi negeri ini. Baik pelakunya pejabat pemerintah maupun warga sipil, kran impor beserta komoditasnya senantiasa menjadi pilihan yang menarik hati. Di samping karena kualitasnya bagus, harga murah, juga karena ongkos kirim relatif rendah, bahkan gratis. Bayangkan saja dengan kelebihan seperti ini, masyarakat Indonesia akan berbondong-bondong menyerbu barang impor tanpa membuat kantong bolong.

Fakta mirisnya, produsen dalam negeri semakin gigit jari bahkan banyak yang akhirnya gulung tikar karena konsumen dalam negeri lebih suka produk luar ketimbang lokal. Meski sebetulnya, produk lokal tak kalah berkualitas dengan komoditas impor. Masalahnya, produsen lokal dihadapkan pada mahalnya bahan baku dan ongkos produksi yang cukup besar, sehingga menyebabkan harga jual lebih mahal dibandingkan barang impor.

Kondisi tersebut harusnya menjadi perhatian negara untuk memberi modal dan fasilitas memadai kepada produsen dalam negeri, terutama tingkat menengah ke bawah, yakni dengan ketersediaan bahan baku dan alat produksi modern secara memadai,  bukan semata menggembar-gemborkan cinta produk lokal, sementara negara berlepas diri dari tanggung jawabnya.

Lepasnya tanggung jawab negara bisa disebabkan dari keikutsertaannya dalam pasar global yang membebaskan semua komoditas boleh masuk atau dipaksa untuk masuk. Hal ini dimaksudkan untuk memuluskan para kapitalis swasta dan asing mendapat keuntungan berlipat, sedangkan pelaku ekonomi rendah akan terhempas.  Akhirnya, kapitalis dan ideologinya terus mengembangkan sayapnya untuk menjatuhkan ekonomi dalam negeri dengan cara dicabutnya kemandirian negara melalui pinjaman utang dan kerjasama impor.

Islam, Solusi Hakiki untuk Menjadikan Negara Berdaulat, Masyarakat Kuat

الإسلام يعلو ولا يعلى عليه

“Islam itu tinggi dan tiada yang dapat menandingi ketinggiannya.” (HR. Al-Baihaqi)

Kebijakan impor bukanlah hal yang tabu dilakukan pemerintahan Islam. Meski demikian, kebijakannya tentu berbeda dengan mekanisme yang dijalankan negara kapitalis.

Negara dalam sistem pemerintahan Islam akan menjalin kerjasama dengan negara kafir (bukan harbi fi’lan) dengan tetap memperhatikan arahan syariat, misalnya kerjasama yang berhubungan dengan ekspor komoditas ke luar dan impor komoditas dari luar.

Untuk ekspor komoditas ke luar negeri, negara menerapkan beberapa  ketentuan di antaranya: warga negara muslim atau kafir dzimmi  dilarang menjual persenjataan, sistem komunikasi alat-alat berat dan strategis lain kepada negara, perusahaan, atau warga negara kuffar (Daar al-Kufur) jika komoditas tersebut digunakan untuk memerangi negara Islam. Adapun barang-barang yang tidak strategis, seperti pakaian, makanan, perabotan, souvenir dan lain-lain, maka seorang muslim atau kafir dzimmi boleh menjualnya kepada negara kafir. Akan tetapi, jika ketersediaan komoditas-komoditas tersebut di dalam negeri amat sedikit dan akan membahayakan ketahanan ekonomi bangsa, maka negara Islam melarang warga negaranya, baik muslim maupun kafir dzimmi, menjualnya ke luar negeri Islam.

Adapun ketentuan yang berhubungan dengan impor komoditas dari luar negeri, pemerintah Islam mengizinkan kaum muslim dan kafir dzimmi untuk mengimpor komoditas dari negara-negara kafir.

Terhadap Kafir Mu’ahad, yakni orang kafir yang negaranya menjalin perjanjian dengan pemerintah Islam maka mereka akan diperlakukan sesuai dengan butir-butir perjanjian tersebut, baik yang menyangkut komoditas yang mereka impor dari negara Islam, maupun komoditas yang mereka ekspor ke negara Islam. Namun ada pengecualian, mereka tetap tidak boleh mengimpor persenjataan dan alat-alat pertahanan strategis dari negara Islam.

Mekanisme perdagangan luar negeri akan ditempuh saat negara sudah berdaulat secara penuh atas kekuatan dan wilayah Islam. Dengan adanya kedaulatan ini, negara dalam sistem pemerintahan Islam tidak akan distir oleh aturan kufur dengan intervensinya, baik secara ekonomi maupun politik.

Mewujudkan negara yang berdaulat dan membangun masyarakat yang mandiri telah dicontohkan Rasulullah saw. saat memimpin Madinah.  Sebagai pemimpin sekaligus kepala negara di Madinah, pertama kali yang beliau saw. lakukan adalah membangun masyarakat di dalamnya dengan penyatuan pemikiran, perasaan, serta aturan yang sama, yakni Islam. Lalu  menstabilkan ekonomi, membuat strategi-strategi kenegaraan yang berkaitan dengan politik di dalam dan luar Madinah, kemudian menampakkan kekuatan negara melalui pengiriman ekspedisi militer ke luar Madinah sebelum terjadi perang sesungguhnya.

Strategi tersebut berhasil membuat nyali kaum kuffar ciut dan dipenuhi ketakutan, terlebih kafir Quraisy dan kaum musyrikin Mekkah. Ini baru dari aspek militer, belum dari ketahanan pangan yang ditunjukkan era Khilafah islamiah pasca kepemimpinan Rasulullah saw.

Sejarah mencatat bahwa peradaban Islam telah berhasil melakukan transformasi fundamental di sektor pertanian yang dikenal sebagai Revolusi Hijau di abad pertengahan atau revolusi pertanian muslim. Kemudian ditemukan pula instalasi pabrik penggilingan. Instalasi ini telah berkembang sejak abad ke-9 M. Pabrik penggilingan ini digerakkan oleh tenaga air melalui kincir-kincir air, di antaranya digunakan untuk menggiling gandum. Penggilingan gandum pun banyak berdiri di Baghdad, Suriah, Iran, dan Mesir. Ada beragam teknik penggilingan sehingga tepung yang dihasilkannya pun bermacam-macam. Selanjutnya, peradaban Islamlah yang akan hadir kembali membawa umat Islam sebagai khairu ummah. Wallahu a’lam bi ash shawwab.