20/04/2024

Jadikan yang Terdepan

Ironis, Unlawfull Killing Merebak di Alam Demokrasi

Oleh: Yuliyati Sambas

Pegiat Literasi Komunitas Penulis Bela Islam AMK

Prosesi sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan siang itu telah melewati semua prosedur yang berlaku. Tampak dua terdakwa pembunuh dan penganiaya atas enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) duduk takzim menanti detik-detik pembacaan keputusan majelis sidang. Setelah seluruh saksi dan alat kelengkapan persidangan tuntas diselenggarakan, Hakim Ketua M. Arif Nuryanta pun membacakan putusan final terhadap dua terdakwa polisi, “Menyatakan perbuatan terdakwa Fikri Ramadhan dan M. Yusmin sebagaimana dakwaan primer dalam rangka pembelaan terpaksa melampaui batas, menyatakan tidak dapat dijatuhi pidana karena alasan pembenaran dan pemaaf.” (cnnindonesia.com, 18/3/2022)

Putusan sidang tersebut sungguh melukai rasa keadilan bagi keluarga korban bahkan publik. Bagaimana tidak, kasus itu sebelumnya telah disebut-sebut sebagai unlawfull killing atau pembunuhan di luar putusan hukum. Berdasarkan keputusan sidang PN Jaksel pada 18/12/2021 dinyatakan empat dari enam laskar yang tewas jelas-jelas telah dalam kondisi menyerah dan ada dalam penguasaan pihak polisi, hingga didapati keempatnya dianiaya dan ditembak. Bahkan jaksa menuntut terdakwa dengan pemenjaraan selama 6 tahun, sesuai dengan dakwaan primer di persidangan tanggal 22/2/2022. Namun akhir dari semuanya justru vonis bebaslah yang didapat oleh terdakwa di persidangan tanggal 18/3/2022.

Perlu diketahui bahwa kasus berawal ketika pihak Polda Metro Jaya hendak mengawasi pergerakan dari simpatisan Habib Rizieq Shihab (HRS) yang diduga akan melakukan anarkisme ke Mapolda Metro Jaya. Singkat cerita terjadi kejar-kejaran mobil dan pihak kepolisian melaporkan bahwa terjadi baku tembak dengan pendukung HRS dan mengakibatkan dua laskar FPI tewas tertembak aparat. Sementara empat lainnya mampu dilumpuhkan dan digelandang menuju Mapolda, namun di tengah perjalanan justru dianiaya dan terjadilah penembakan dari jarak dekat oleh ketiga aparat. Satu di antara aparat tersebut beberapa waktu kemudian dilaporkan meninggal karena kasus kecelakaan tunggal, sehingga tersisa dua pelaku penembakan yang pada akhirnya menjalani persidangan kasus unlawfull killing. (kompas.com, 19/3/2022) 

Bahayanya Vonis Bebas Kasus Unlawfull Killing

Vonis bebas pada kasus unlawfull killing ini tentu menyimpan potensi bahaya besar. Keberulangan kasus sangat mungkin terjadi. Dengan alasan dalam posisi membela diri, potensi aparat menyalahgunakan senjata akan semakin tinggi.

Melayangnya nyawa manusia seolah menjadi hal yang biasa. Padahal dengan penguasaan pihak aparat terhadap terduga penjahat sekalipun, tidak semestinya dengan mudah membuat mereka kehilangan nyawa. Tentu ada mekanisme melumpuhkan atau memberi tembakan peringatan bukan pada titik yang mematikan. SOP berupa pemborgolan pun semestinya dipatuhi, untuk meminimalisir perlawanan si terduga yang tengah diburu. 

Sementara dari pihak masyarakat akan memunculkan ketidak-respect-an pada aparat penegak hukum, dari kepolisian hingga institusi peradilan. Pihak yang semestinya menjadi pengayom bagi keamanan dan keselamatan rakyat justru berpotensi melakukan tindakan di luar prosedur dengan melakukan unlawfull killing atau extrajudisial killing. Lantas pihak peradilan yang diharap membawa asas tak memihak dan hanya membela yang benar justru memberi vonis bebas pada terdakwa aparat yang diduga kuat telah melakukan unlawfull killing.     

Ironi Keadilan di Negeri Demokrasi

Sungguh ironi, konon katanya demokrasi sangat menjunjung tinggi HAM (hak asasi manusia). Di Indonesia sendiri HAM diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, meliputi: hak untuk hidup; memperoleh keamanan; tidak mendapat gangguan; terbebas dari perbudakan, penyiksaan, pegurangan kebebasan di luar dasar hukum; dijauhkan dari diskriminasi dan hal selainnya yang akan menurunkan martabat sebagai manusia. Namun kasus yang terkategori pelanggaran HAM semisal unlawfull killing sering terjadi. Terbukti selama setahun lalu saja, berdasarkan laporan KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan) tercatat 52 orang meninggal dikarenakan tindakan dari aparat polisi di luar jalur hukum (tempo.co, 19 Maret 2022).

Terlebih ketika kasus masuk pada ranah terorisme, dimana kepolisian khusus Densus 88 tampak kian power full dalam menindak bahkan kerap hingga sampai menghilangkan nyawa seseorang yang baru ditetapkan sebagai terduga. Lebih mengiris hati ketika ciri teroris sendiri standarnya mengekor arahan Barat, yakni umat Islam yang menghendaki aturan agamanya diterapkan secara sempurna dalam semua ranah kehidupan. Padahal mereka bersih dari track record melakukan tindakan teror fisik sebagaimana kasus-kasus teror KKB misalkan. Kasus terbaru adalah apa yang menimpa dr. Sunardi dari Sukoharjo. Dirinya dinarasikan tidak kooperatif dengan aparat ketika secara naluriah berusaha menghindari kejaran pihak yang tidak dikenal secara tiba-tiba. Muntahan timah panas pun dihadiahkan tanpa ampun padanya oleh pihak Densus 88 itu. Sementara kasus penembakan yang menewaskan baik warga sipil maupun aparat, dan bukan hanya sekali dilakukan oleh pihak KKB di Papua misalkan, hingga kini sayup-sayup pun tak pernah terdengar kata teroris atau tindakan terorisme dilekatkan pada mereka. Sungguh kian dalam jurang ketidakadilan menganga di hadapan mata.   

Jadi, apakah dengan HAM-nya demokrasi lantas mampu mewujudkan keadilan pada semua anggota masyarakat tanpa kecuali?

Faktanya demokrasi itu memiliki standar ganda. HAM pun demikian. Demokrasi dan HAM hanya milik para pemegang kuasa, yang merapat pada lingkar kekuasaan dan kaum oligarki berkapital besar. Tidak demikian bagi oposisi atau pihak yang kritis dengan kebijakan rezim. Untuk kasus FPI, semua paham bahwa kelompok kaum muslimin tersebut selama berdirinya dikenal demikian berani beramar makruf nahi mungkar terhadap kebijakan penguasa juga tegas terhadap kemaksiatan di tengah masyarakat.

Efek Bengkoknya Asas dan Rusaknya Sistem

Demikianlah yang terjadi ketika sistem yang diberlakukan berasal dari asas yang bengkok dan rusak yakni sekuler. Sekulerisme sebagai nafas dari demokrasi telah menjauhkan tata aturan agama dari kehidupan. Jangan heran jika hari ini standar baik dan buruk, terpuji dan tercela, jahat dan baik hanya diserahkan pada hawa nafsu khususnya dari para pemegang kuasa. Halal haram pun tak lagi menjadi rujukan. Rida atau murka dari Sang Peguasa jagat raya pun kian menjauh dari kamus kehidupan. Tak ada rasa malu ketika para penguasa menerapkan kebijakan zalim. Tak ada rasa bersalah ketika perlakuan dan vonis tak adil dari aparat negara mencederai relung jiwa rakyat. Semua karena asas bengkok dari sekulerisme.

Sistem kehidupan Kapitalisme yang rusak menjadi akar penyebab kasus kezaliman demikian kasat mata terpampang di arena kehidupan kini. Kapitalisme melahirkan pemimpin yang berwatak cinta dunia dan takut mati (hubbuddunya wa karihatulmaut). Naluri suci berupa menyukai keadilan dan membenci kezaliman pun ditindas oleh kekhawatiran akan hilangnya jabatan jika tak ikuti telunjuk sesat pengambil kebijakan.

Islam Sangat Memuliakan Jiwa Manusia

Berbanding seratus delapanpuluh derajat antara sistem Kapitalisme dengan sistem Islam dalam memposisikan keadilan. Islam sangat mengedepankan keadilan dan membenci kezaliman. Keadilan hakiki adalah ketika semua perkara diposisikan sesuai pandangan dari syariat.

Syariat memandang bahwa keadilan itu di saat jiwa manusia diberi kemuliaan dengan wajibnya dijaga dari kebinasaan. Adanya sistem sanksi berupa qishash itu dalam rangka menjaga jiwa manusia. Sebagaimana Allah firmankan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 179, “Dan dalam qishash itu ada (jaminan) kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang berakal, agar kamu bertakwa.”

Dalam hal ini  negara dalam sistem Islam wajib menjaga jiwa dari setiap rakyat yang berada di bawah pengurusannya. Tidak memandang mereka muslim atau nonmuslim, dari kalangan kaya maupun fakir, rakyat biasa atau tokoh masyarakat, semua mendapat hak yang sama. Para penguasa mulai dari khalifah (penguasa tertinggi), muawwin (pembantu khalifah), wali (gubernur) hingga amil (bupati) dan aparat negara seperti qadhi (hakim), diwan al-jihad (jajaran militer) hingga syurthah (kepolisian) sangat menyadari bahwa jabatan adalah amanah yang akan ditimbang hisabnya di pengadilan akhirat. Mereka akan menjalankan tugasnya mengurus dan melindungi rakyat dengan sepenuh rasa tanggung jawab. Semua dijalani membawa ruh idrak shilah billah (kesadaran akan adanya hubungan dengan Allah).

Terlebih atas jiwa seorang muslim, Rasulullah saw. bersabda, “Hilangnya dunia lebih ringan bagi Allah dibanding terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR Nasai, Turmuzi, dishahihkan al-Albani).

Dengan semua itu, negara dalam panduan sistem Islam sangat melindungi nyawa rakyat. Tak akan didapati kasus semacam unlawfull killing yang sangat mencederai rasa keadilan di tengah masyarakat.

Wallahu a’lam.