Surabaya, KabarGress.com – Bagi generasi anak-anak saat ini, permainan tradisional semakin ditinggalkan karena adanya permainan modern yang seringkali berwujud gawai personal. Di sisi lain, tak banyak orang dewasa yang mau mengajarkan permainan tradisional karena dianggap kuno atau ribet.
“Lebih mudah memberikan satu gadget dengan banyak permainan daripada harus mengawasi anak-anak bermain di halaman. Padahal itu membuat individualisme semakin meningkat. Pola hidup tersebut tak jarang membuat anak menjadi sulit membedakan mana kebutuhan dan keinginan,” ungkap Ade Ayu Anantasya mahasiswa Fakultas Bisnis Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (FB-UKWMS).
Bersama dua orang rekan mahasiswa lain yakni Agatha Audiana Soesilo, dan Ruth Marshella Ardyanto dari FB UKWMS dan seorang lainnya, Indira Mustika dari Fakultas Psikologi, Ade membentuk sebuah kelompok dan berhasil meraih penghargaan Program Kreativitas Mahasiwa Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM-M) dari DIKTI pada tahun 2015. “Judul program kami ‘Pelatihan Kecakapan Keuangan Melalui Metode Permainan Monopilih dan Pakon di Kampung Anak’. Jadi ceritanya kami memanfaatkan permainan tradisional Pakon dan Monopoli yang kami modifikasi sedemikian rupa sehingga tidak hanya seru untuk dimainkan tapi juga mengajari anak-anak untuk mengelola uang mereka sejak dini,” ujar Ruth yang mengambil konsentrasi manajemen keuangan.
Lebih lanjut Agatha menuturkan tentang proses pemilihan permainan tradisional yang mereka pergunakan, “kami memang sengaja memilih Pakon dan Monopoli karena dari metodenya kita bisa belajar untuk berhitung, bahkan menabung. Pakon ini mirip dengan Dakon, tapi ada pertanyaan-pertanyaannya, dan pertanyaan itu kami modifikasi sehingga bisa memicu pikiran mereka untuk membuat prioritas”. Istilah ‘Monopilih’ mereka gunakan sebagai gabungan dari kata ‘monopoli’ dan ‘memilih’. Agak berbeda dari monopoli pada umumnya, permainan ini akan berhenti di titik tengah dan pada saat itu bisa terlihat siapa yang modalnya masih tersisa paling banyak sebagai pemenang.
“Awalnya saat kami kenalkan pada permainan ini, anak-anak di Kampung Anak Kelurahan Dr. Sutomo tempat kami praktek tidak langsung menyukai Pakon dan Monopilih. Pernah suatu ketika mereka bahkan meminta mainan lainnya, tapi setelah memahami aturan mainnya, beberapa dari mereka malah ada yang jadi benar-benar punya tabungan, itu yang bikin kami bangga,” ungkap Agatha.
Tujuan utama mereka adalah mengajarkan financial literacy kepada anak-anak tingkat sekolah dasar yakni kemampuan seseorang mencapai tujuan hidup melalui perencanaan keuangan secara integrasi dan bertahap, sekaligus menumbuhkan kembali rasa cinta akan permainan tradisional.
Keunikan lain dari karya mereka adalah penggabungan dua ilmu yakni bisnis dan psikologi. “Melihat pola konsumtif dan hedonisme yang merajalela baik di kalangan dewasa maupun anak-anak membuat kami prihatin. Apabila punya keinginan, anak-anak pasti meminta kepada orang tuanya, namun perlu disadari bahwa untuk mencapai tujuan perlu adanya tahapan atau proses. Anak-anak harus diajarkan sejak dini mengenai perbedaan kebutuhan dan keinginan. Selain itu, bermain dengan cara seperti ini sebenarnya juga membantu mereka untuk bersosialisasi secara nyata,” ungkap Indira yang mengambil fokus psikologi perkembangan dan klinis dalam studinya. (ro)
More Stories
Mampu Yakinkan Panelis, Mei Diunggulkan Jadi Rektor Unitomo
Wagub Emil, Tokoh-tokoh NU dan Muhammadiyah Hadir di Wisuda STIT Islamiyah KP Paron
FK UKWMS Melantik Dekan Baru