12/01/2023

Jadikan yang Terdepan

10 Alasan Mengapa Teori dan Praktik Hybrid Contracts Perlu Dipahami dalam Mengembangkan Produk Perbankan dan Keuangan Syariah

Oleh: Agustianto Mingka

(Ketua Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI), Dosen Pascasarajana Keuangan Syariah Universitas Indonesia dan Trainer Iqtishad Consulting)

Hybrid Contracts sebenarnya bukanlah teori baru dalam  khazanah fikih muamalah. Para ulama klasik Islam sudah lama mendiskusikan topic ini berdasarkan dalil-dalil syara’ dan ijtihad yang shahih. Namun, dalam kajian fikih muamalah di pesantren bahkan di Perguruan Tinggi Islam, isu ini kurang banyak dibahas, karena belum banyak bersentuhan dengan realita bisnis  di masyarakat. Pada masa kemajuan lembaga keuangan dan perbankan di masa sekarang, konsep dan topichybrid contracts kembali mengemuka dan menjadi teori dan konsep yang tak terelakkan. Sejumlah buku dan karya ilmiah pun bermunculan membahas dan merumuskan teori al-‘ukud al-murakkabah(hybrid contracts) ini, terutama karya-karya ilmiah dari Timur Tengah .

Tanpa memahami konsep dan teori hybrid kontracts, maka seluruh stake holdersekonomi syariah akan mengalami kesalahan dan kefatalan, sehingga dapat menimbulkan kemudhratan, kesulitan dan kemunduran bagi industri keuangan dan perbankan syariah. Semua pihak yang berkepentingan dengan ekonomi syariah, wajib memahami dan menerapkan konsep ini, mulai dari dirjen pajak, regulator (BI dan OJK), bankers/praktisi LKS,  DPS, notaris, auditor, akuntan, pengacara, hakim, dosen (akademisi), dsb. Jadi semua pihak yang terkait dengan ekonomi dan keuangan syariah wajib memahami teori dan praktek ini dengan tepat dan dengan baik.

Setidaknya terdapat 10 alasan utama mengapa teori dan praktek hybrid contracts, perlu dan  wajib diketahui terutama oleh praktisi keuangan/perbankan syariah, regulator, pejabat pajak, pakar ekonomi Islam, DPS, akuntan, notaries, auditor  dan praktisi hukum ekonomi syariah:

Pertama :,karena hybrid contracts terkait dengan  pajak. Banyak produk perbankan dan keuangan syariah yang mengandung hybrid contracts, seperti Musyarakakah Mutanaqishah (MMq), Ijarah Muntahiyah bit Tamlik (IMBT),  pembiayaan take over, pembiayaan rekening koran, line facility, pasar uang syariah dengan commoditysyariah dan masih banyak lagi. Pejabat dirjen pajak harus memahami teori hybrid contractsdengan tepat agar tidak salah dalam penagihan pajak.

Kedua, hybrid contracts terkait dengan akuntansi dan PSAK, karena dari sekian banyak akad dalam sebuah produk pembiayaan, harus diketahui akad mana yang dicatatkan dalam pembukuan. Dalam akad MMq misalnya, apakah akad ijarah atau musyarakah yang dicatatkan, demikian pula dalam hybrid contracts  lainnya, seperti kafalah bil ujrah pada L/C, hiwalah bil ujrah pada anjak piutang, wakalah bil ujrah pada factoring, produk gadai yang mengandung tiga akad, rahn, qardh dan ijarah. Apakah penerapan hybrid contractsmembutuhkan PSAK baru yang lebih relevan dengan teori hybrid contracts.

Ketiga, hybrid contracts sangat terkait dengan inovasi produk. Bank-bank syariah yang ingin mengembangkan dan menginovasi produk harus memahami teori hybrid contracts agar bank syariah bisa unggul dan dapat bersaing dengan konvensional. Dengan demikian, peranan hybrid contracts sangat penting bagi insdustri perbankan dan keuangan. Jangan sampai terjadi banker syariah menolak peluang yang halal karena kedangkalan keilmuan tentang teori-teori pengembangan akad-akad syariah. Untuk itu teori hybrid contracts harus digunakan dan difahami dgn baik agar bank syariah bisa lebih kreatif dan inovatif dalam mengembangkan produk-produknya. Selain itu hybrid contracts terkait dengan manajemen risiko, termasuk risiko hukum, karena itu praktisi bank syariah mutlak harus memehami teori dan prakteknya

Keempat hybrid contracts terkait dengan regulasi. Para regulator (Bank Indonesia dan para direktur lembaga keuangan syariah di  OJK) harus memahami dengan baik teori dan praktek ini agar tidak salah dalam membuat aturan. Kesalahan dalam membuat regulasi, akan berbahaya dan mengganggu pengembangan bank syariah dan LKS.

Kelima hybrid contracts terkait dengan putusan hakim di Pengadilan, putusan arbitrer di Basyarnas dan terkait dengan risiko hukum. Para hakim yang menyelesaikan sengketa ekonomi syariah wajib memahami ini. Berapa banyak putusan pengadilan yang salah, akibat tidak memahami teori hybrid kontracts, contoh kasus pembiayaan take over di Bukit Tinggi. Maka pengacara syariah juga harus mengerti tentang teori dan praktik hybrid contracts agar tidak salah dalam melihat akad akad yg serba hybrid, seperti musyarakah mutanaqishah, pembiayaan take over, novasi, IMBT, dll

Keenam hybrid contracts terkait dgn struktur draft kontrak. Teori hybrid contracts akan memandu (memberi pedoman) kepada legal officer dan notaris, akad-akad apa saja yang bisa disatukan dalam satu draft perjanjian (kontrak) dan akad-akad apa saja yang harus dipisahkan. Bahkan sampai kepada akad-akad apa saja yang harus dinotarilkan dan akas-akad apa saja yang dibuat di bawah tangan.

Ketujuh, hybrid contracts terkait dengan aspek syariah (syariah compliance).Apakah hybrid contratcs (multi akad) itu mengandung riba atau gharar, apakah hybrid itu mengandung ta’alluq yang diharamkan, apakah hybrid contracts itu termasuk akad bay’atain fi bay’atinatau shafqatain fi shafqah. Bagaimana penafsiran para ulama tentang hadits itu. Apa dan bagaimana dalil mereka?, Pendapat mana yang paling rajih (kuat) dan paling maslahah.  Bagaimana pula akad hybrid yang muallaq), dsb. Semua pertanyaan itu dibahas secara tuntas dan mendalam dalam workshop hybrid contracts.

Kedelapan, hybrid contracts terkait dengan biaya (cost) notaris. Kalau notaries tidak memahami teori hybrid, maka semua akad-akad dalam satu produk, akan dikenakan biaya, semakin banyak akad dalam satu produk, maka akan semakin banyak biayanya. Misalnya produk pembiayaan take over terdiri dari 3 akad, MMq terdiri dari 4 akad, IMBT terdiri dari 2 akad ditambah wa’ad, kartu kredit terdiri dari 3 akad, gadai (bisa) terdiri dari 3 akad, ijarah bertingkat (dua akad), begitu pula ijarah multijasa.  Bahkan pembiayaan murabahah bisa terdiri dari 3 akad, murabahah, wakalah dan jaminan. Berhubung banyaknya akad dalam satu produk, maka teori hybrid contracts ini harus difahami notaries dan legal officer dengan baik.

Kesembilanhybrid contracts terkait dengan hukum positif (harmonisasi) dgn hukum positif. Hal ini termasuk masalah penting, karena banyak sekali notaries yang salah faham tentang akad-akad syariah, karena tidak memahami teori syariah tentang hybrid contracts. Hybrid contracts dirumuskan kadang sebagai makharij (jalan keluar) untuk mewujudkan sharia compliance yaitu agar kontraknya halal dan sesuai  syariah, karena itu semua akad itu harus dilaksanakan walaupun kelihatan seperti berputar (berbelit), tetapi semua itu dimaksudkan untuk kepatuhan kepada syariah, Dalam prakteknya, terkadang tidak semua akad-akad itu harus dinotarilkan sebagai akad otentik. Hal ini terjadi misalnya dalam akad pembiayaan KPR melalui Musyarakah Mutanaqishah, termasuk pembiayaan take over, instrument commodity syariah untuk pasar uang, pembiayaan multiguna syariah, hedging dengan Islamic swap, dan sebagainya.

Kesepuluh hybrid contracts terkait dengan ke-simple-an dan efisiensi. Tanpa memahami teori hybrid contracts selalu terjadi pemborosan (tenaga dan kertas) dan pengulangan pasal-pasal perjanjian yang tidak perlu. Seringkai terjadi format-format akad yang terlalu tebal, karena pasal-pasalnya berulang-ulang di setiap judul akad, dan ini menimbulkan pemborosan tenaga,  kertas, dan biaya lainnya, seperti yang telah terjadi saat ini dimana praktisi perbankan memisahkan akad Musyarakah Mutanaqishah dan ijarah, padahal keduanya bisa disatukan, sehingga lebih efisien dan simple, Demikian pula pada pembiayaan take over, sindikasi dan lain-lain sebagainya.

Berdasarkan 10 alasan di atas, maka Iqtishad Consulting, kembali menggelar Workshop Nasional Hybrid Contracts dalam Produk Perbankan dan Keuangan Syariah di Malang, tgl  5 – 6 November 2015 untuk Bankir, DPS & Dosen. Sedangkan di Jakarta akan digelar tanggal 9-10 Desember 2015 di Hotel Sofyan Jakarta Pusat. Pembicara Agustianto Mingka. Biaya Per Peserta Rp 2,5 juta. Jika Group minimal 3 orang mendapatkan diskon special @Rp 2.200.000. Untuk Dosen yang pengurus atau anggota IAEI dan MES Daerah, diskon 50 persen. Berminat ? Hubungi  Direktur Iqtishad Consulting Joko Wahyuhono (HP 0821-1020-6289). (***)