19/05/2024

Jadikan yang Terdepan

Pajak Melejit, Rakyat Menjerit

Oleh: Ropi Marlina, SE., M.E.Sy (Dosen Perguruan Tinggi Swasta)

Rakyat menjerit disaat pajak yang kian melejit. Tak tanggung-tanggung disaat beban hidup yang begitu sempit Pemerintah berencana mengenakan PPN pada bahan pangan, biaya melahirkan dan pendidikan. Rencana ini menimbulkan polemik di tengah-tengah masyarakat, pasalnya belum selesai masalah pandemi di negeri ini, rakyat harus menelan  beban hidup yang semakin berat dengan adanya rencana Pajak Pertambahan Nilai pada sejumlah kebutuhan pokok. Rencana ini akan tertuang dalam perluasan objek PPN yang diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Barang sembako yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 116/PMK.010/2017 meliputi beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, dan gula konsumsi.

(cnbcindonesia.com, 14/06/2021). Adapun rencana pajak sekolah, juga tertuang dalam draft Perubahan Kelima Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Beberapa ketentuan dalam Pasal 4A dihapus dalam draft tersebut. Pada Pasal 4A Ayat 3, jasa pendidikan dihapus dari jasa yang tidak dikenakan PPN. Artinya, jasa pendidikan akan dikenai pajak. Selain jasa pendidikan, jasa lain yang akan dikenai PPN yakni jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan, dan jasa asuransi.

Sungguh miris,  rencana penetapan perluasan pajak yang menyasar kebutuhan pokok rakyat yakni urusan pangan, kesehatan dan pendidikan, malah bertolak belakang dengan kebijakan pelunakan pajak untuk konglomerat. Misalnya saja, Pemerintah malah melakukan relaksasi Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) sektor otomotif selama tahun 2021 khusus mobil di bawah 1500 cc. Melalui Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 73 tahun 2019, Relaksasi PPnBM dilakukan sepanjang tahun 2021, dengan skenario PPnBM 0% (Maret-Mei), PPnBM 50% (Juni-Agustus), dan 25% (September-November) dari ketentuan sebelumnya. Diskon PPnBM itu terutang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Atas Penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor Tertentu Yang Ditanggung Pemerintah Tahun Anggaran 2021.

Aroma ketidakadilan dirasakan oleh rakyat karena pemerintah malah melonggarkan pajak untuk kaum kapitalis. Kebijakan  dengan alasan menambah pendapatan negara dalam mengatasi pandemi ini dinilai zalim. Seharusnya rakyat mendapatkan berbagai kemudahan fasilitas pendidikan, kesehatan, dan pangan karena merupakan kebutuhan dasar bagi rakyat dan merupakan tanggung jawab negara. Ketua MPR Bambang Soesatyo menilai kebijakan pajak sembako tersebut bertentangan dengan sila ke-5 Pancasila yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Dirinya berpesan pada Kemenkeu agar tidak hanya pandai dalam mengolah angka, tetapi juga harus pandai mengolah rasa. Harus ada sensitivitas terhadap kondisi rakyat. Sehingga, menurutnya, sebelum memberatkan rakyat, Kemenkeu harus terlebih dahulu menertibkan jajarannya agar bisa mengejar para pengemplang pajak yang potensinya mencapai ratusan triliun per tahun. Sebab, hingga akhir April 2021, penerimaan pajak baru mencapai Rp3749 triliun atau sekitar 30,94% dari total Rp1.229,6 triliun. (antaranews.com, 13/6/2021) Lebih dari itu, sumber pendapatan lain selain pajak masih sangat banyak, seperti hasil SDA yang melimpah ruah. Negara harusnya bisa mengelolanya dengan mandiri agar hasilnya dapat dinikmati oleh rakyatnya.

Namun sungguh sayang, jebakan utang negara-negara makmur atas negara berkembang, telah mendikte kebijakan dalam negeri, termasuk pengelolaan SDA. Sistem ekonomi kapitalisme telah melegalkan kepemilikan SDA oleh korporasi dengan dalih liberalisasi dan privatisasi SDA,sehingga negara a bisa memproteksi SDA-nya sendiri.  Maka dari itu, sumber APBN yang begitu besar dari SDA tidak bisa diharapkan dalam sistem ekonomi kapitalisme telah melegalkan kepemilikan SDA oleh korporasi dengan dalih liberalisasi dan privatisasi SDA,sehingga negara tidak bisa memproteksi SDA-nya sendiri.  Maka dari itu, sumber APBN yang begitu besar dari SDA tidak bisa diharapkan dalam sistem ekonomi kapitalisme. Sehingga pemasukan APBN di negeri ini bertumpu pada utang dan pajak. Kebijakan ini menjadikan negara bangkrut dan rakyat menderita.  Inilah sistem kapitalisme yang menyengsarakan rakyat.

Berbeda dengan sistem Islam dalam menempatkan pajak dan menetapkan sumber pendapatan negara. Dalam penjelasan Kitab Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah karya Abu Fuad, pajak atau dharibah dalam Islam bukanlah sumber APBN. Karena pada dasarnya syariat telah melarang penguasa mewajibkan pajak kepada kaum muslim berdasarkan hawa nafsunya. APBN yang dalam Islam disebut Baitulmal, telah memiliki pos-pos penerimaan yang telah ditetapkan syariat. Meski demikian, ada kondisi tertentu yang dikecualikan oleh syariat dari larangan (penarikan pajak) yang bersifat umum ini, yakni ketika kas baitulmal kosong maka negara boleh memungut pajak dari orang kaya dan itu pun sifatnya insidental, tidak terus menerus. Pemasukan Baitulmal,  meliputi pos pendapatan berupa fai, ghanimah, anfal, kharaj, dan jizyah. Ditambah pemasukan dari harta kepemilikan umum dengan berbagai jenisnya, serta pemasukan kepemilikan negara berupa usyur, khumus, rikaz, barang tambang, dan harta zakat.

Dalam Islam, pos kepemilikan umum yang salah satunya adalah SDA adalah haram dimiliki individu apalagi asing. Sehingga ini menjadi pos pendapatan Baitulmal yang bersifat kontinu, serta pengeluaran yang bersifat wajib, baik ada harta atau tidak dalam Baitulmal, semua itu akan menghindarkan Baitulmal dari defisit keuangan. APBN (Baitulmal) sesuai pengaturan syariat Islam tidak mengenal istilah defisit yang bersifat laten (terus-menerus), yang mana berarti pendapatan tidak mencukupi belanja (pengeluaran). Sangat wajar jika selama berabad-abad ketika sistem Islam tegak, tidak pernah ada pungutan pajak. Sebab, Baitulmal selalu terisi penuh dan tidak kosong. Tentu saja, mekanisme Baitulmal seperti ini tidak akan mungkin bisa diterapkan dalam sistem kapitalis melainkan hanya dengan Sistem Islam yakni Khilafah.

Wallahu’alam bi ash-showab