13/05/2024

Jadikan yang Terdepan

Ramadan Mulia Tak Halangi Israel Bertindak Semena-mena

Oleh: Uqie Nai
Anggota Menulis Kreatif4

Ramadan, sebagai momen kaum muslim menggencarkan ibadahnya, memakmurkan rumah Allah, meraih amal saleh sebesar-besarnya tak sepenuhnya dirasakan muslim Palestina. Suasana bertabur suka cita diwarnai tindakan kejam aparat kepolisian Israel.

Beberapa hari di awal Ramadan, muslim Palestina dilarang memasuki area Masjid Al Aqsa untuk berbuka, beribadah dan mengumandangkan azan karena akses ke menara masjid dihalangi aparat hingga diputus aliran listriknya.

Menurut kantor berita Wafa News Agency, seorang saksi mata mengungkapkan bahwa para polisi Israel juga menyerang warga Palestina yang baru saja pulang taraweh di mesjid Al Aqsa.

“Mereka mengatakan polisi tidak mengizinkan makanan masuk ke dalam komplek suci bertembok (yang di dalamnya ada Masjid Al Aqsa dan Kubah Batu) untuk jamaah yang menjalankan puasa Ramadan akan berbuka saat matahari terbenam.”

Tindakan aparat polisi Israel menurut pejabat Wakaf atau lembaga yang mengawasi situs suci Yerusalem dikarenakan Israel ingin adanya ketenangan ketika mereka berdoa di Tembok Ratapan (Tembok Barat) dalam rangka memperingati Memorial Day, hari untuk mengenang para tentara Israel yang tewas dalam perang dan korban serangan. Tembok Barat sendiri berada tak jauh dari Mesjid Al Aqsa.

Selanjutnya, menurut pengelola  Temple Mount  untuk wakaf Islam, Sheikh Omar al Kiswani, pasukan Israel meminta pihaknya mematikan pengeras suara azan maghrib, namun pihaknya menolak. Penolakan ini memicu aksi brutal aparat Israel. Secara paksa mereka menyerbu  menara mesjid setelah memotong kabel menara utama.

Sementara itu, Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas melalui juru bicaranya Nabil Abu Rudeineh, menyebutkan serangan yang dilakukan polisi Israel adalah tindakan rasis  terhadap kesucian tempat-tempat suci dan kebebasan beribadah. Tindakan tersebut dapat mengubah konflik menjadi perang agama terbuka yang akan merusak perdamaian dan keamanan internasional. (Bisnisnews.id, Jumat, 16/4/2021)

Tindakan Brutal Israel Berlanjut karena Lembaga Internasional Diam

Kekejaman serta kekejian Israel terhadap muslim Palestina sudah diketahui dunia sebagai kejahatan internasional. Namun lembaga dunia semisal PBB dan Dewan Keamanannya (DK) tak punya kepentingan membela umat Islam yang tertindas.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Dewan Keamanan yang dibentuknya sejak pertama kali memiliki fungsi menjaga perdamaian dan kestabilan dunia,  bahkan DK yang secara langsung mendapat mandat piagam PBB untuk melakukan aksi hingga memberikan sanksi konflik kemanusiaan, justru terjerat kepentingan nasional anggota tetapnya (AS, Cina, Rusia, Inggris dan Prancis).

Pun demikian dengan organisasi yang beranggotakan negara Islam seperti OKI. Para pemimpin muslim tersebut tak berkutik jika tak mendapat restu PBB. Padahal tujuan  awal didirikannya OKI adalah untuk mengakhiri masalah kemanusiaan di Palestina, menghapus diskriminasi, melindungi mesjid suci umat Islam dan kolonialisme,  tapi hingga kini tak ada kerja nyata selain diam seribu bahasa.

Maka, sudah sangat jelas berharap pada lembaga dunia untuk mengatasi masalah kemanusiaan, rasisme yang yang menimpa muslim Palestina atau muslim lainnya yang mengalami kisah serupa tak akan didapatkan.

Masalahnya, lembaga dunia, dan pemimpin muslim sebagai anggotanya ada dalam rangkulan ideologi yang sama, yakni kapitalisme. Kapitalisme tidak akan pernah memihak kaum muslim karena ia adalah musuh Islam yang nyata. Amerika dan Israel memiliki kepentingan yang sama untuk merampas dan menguasai harta milik kaum muslim. Oleh karena itu, apa yang dialami muslim Palestina di bulan mulia ini adalah buah kebencian kuffar terhadap Islam dan umatnya.

Lalu bagaimana respon pemerintah AS  setelah Biden memimpin? Sudah dipastikan tak jauh berbeda dengan rezim sebelumnya. Pro muslim dalam pidato terpilihnya bukanlah angin segar akan ada pembelaan terhadap konflik Israel-Palestina atau konflik lainnya dimana umat Islam sebagai korbannya.

Umat Islam Tanpa Perisai

Pasca hilangnya perisai umat sejak tahun 1924 M oleh antek Inggris bernama Kemal Attaturk laknatullah, kehidupan umat Islam mengalami keterpurukan, terkerat-kerat dalam negara-negara kecil, tertindas dan tercabut kehormatannya penuh nestapa.

Ramadan demi Ramadan dilalui umat Islam penuh keterbatasan dan dalam tekanan. Kegembiraan yang harusnya terpancar dalam aktivitas ibadah harus rela tertahan oleh beban hidup dan diskriminasi. Tak hanya dirasakan Palestina, Uighur, Rohingya, Suriah, tapi seluruh umat Islam yang rindu sosok pembela dari pemimpin penerap syariat.

Sudah satu abad lamanya kaum muslim menjadi buih di lautan. Banyak tapi tak memiliki kekuatan. Sudah satu abad pula kaum muslim menjadi santapan lezat serigala kelaparan dan haus kekuasaan. Mereka dilemahkan dengan paham sekuler. Mereka pun dijauhkan dari ajaran agama hingga gambaran keamanan dan kesejahteraan menjadi samar. Inilah  urgensi adanya al-imam sebagai perisai umat sebagaimana sabda Rasulullah saw.,

“Sesungguhnya seorang imam itu adalah perisai. Dia pelindung bagi orang berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan takwa kepada Allah dan adil, maka dengannya, dia akan mendapatkan pahala. Tetapi, jika dia memerintahkan yang lain, maka dia juga akan mendapatkan dosa/azab karenanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Berdasarkan hadis Rasulullah di atas, tergambar jelas bagaimana nanti kondisi umat Islam dalam lindungan pemimpin hakiki. Kerinduan Ramadan, ketenangan ibadah shaum di dalamnya, berbanding lurus dengan riayah kepala negaranya. Pelayanannya sejalan dengan sabda Rasulullah saw. berikut:

“Al-Imam adalah raain (pelayan/penggembala). Ia bertanggung jawab atas apa yang menjadi tanggungannya (rakyat).” (HR. Bukhari)

Tanggung jawab pemimpin dalam suasana Ramadan akan  mewujudkan dua hal: Kondusifitas ibadah dan ketakwaan sempurna. Dikatakan sempurna karena hukum-hukum Allah akan diterapkan di tengah umat. Sementara pelaku pelanggaran akan dikenai sanksi hingga kembali taat syariat. Termasuk pelanggaran bagi orang yang tidak berpuasa tanpa alasan syar’i.

Kondisi ini adalah sebuah keniscayaan karena ketaatan dari level individu, masyarakat dan negara terwujud nyata. Masing-masing memiliki peran yang sama sebagai hamba Allah untuk menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Wallahu a’lam bi ash-shawwab.