Oleh: Nuni Toid
Pegiat Literasi dan Member AMK
Lagi dan lagi rakyat dibikin pusing. Bagaimana tidak, kini telah resmi kebijakan yang diambil oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati dengan menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) yang semula 10 persen menjadi 11 persen. Hal itu sesuai dengan amanat undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). (liputan6, 1 April 2022)
Menurut Menkeu, kenaikan PPN masih termasuk rendah bila dibandingkan dengan seluruh dunia yang rata-rata sampai 15 persen. Kebijakan itu dilakukan konon untuk menyelamatkan APBN yang sudah bekerja keras selama pandemi. Maka melalui kenaikan pajak, pondasi negara akan semakin kuat. (jawapos.com, 22/3/2022)
Tentu saja apa yang dilakukan menteri keuangan tersebut menimbulkan polemik di masyarakat. Sebut saja Faisal Basri, ekonom senior yang menolaknya. Menurutnya kebijakan itu tidak ada unsur keadilan. Sebab saat PPN dinaikkan menjadi 11 persen, di saat yang sama PPh (pajak penghasilan) badan diturunkan menjadi 22 persen yang asalnya 25 persen. Bahkan rencananya menjadi 20 persen tetapi dibatalkan.
Alasan lainnya dikatakan bahwa pendapatan masyarakat negeri ini belum cukup tinggi, sampai dibandingkan dengan negara seperti Amerika Serikat (AS) atau negara-negara maju lainnya di G20. Bahkan dibanding dengan Malaysia negeri ini masih tertinggal. (cnbc.indonesia, 25/3/2022)
Miris memang, di tengah rakyat masih menghadapi kesulitan hidup akibat harga bahan pokok yang masih melambung mahal. Kini kembali dihadapkan pada kenyataan pilu dengan naiknya PPN. Jelas ini berimbas pada kenaikan barang-barang yang sering dikonsumsi rakyat setiap harinya. Seperti pakaian, pulsa, alat-alat tulis, mie instan, dan lain sebagainya. Itu semua semakin menambah deretan panjang penderitaannya.
Sungguh kebijakan yang diambil penguasa negeri ini selalu tak punya hati, khususnya bagi rakyat miskin. Menurut ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies, (Celios) Bhima Yudhistira, kebijakan pajak ala Menkeu ini akan suburkan ketimpangan pasca pandemi, yaitu memperlebar jurang kesenjangan antara si kaya dan si miskin. (cnnindonesia.com, 10/6/2021)
Hal itu terlihat dari pemerintah yang memberikan relaksasi pajak bagi orang kaya. Misalnya memberikan kelonggaran PPnBM, pajak properti, hingga tax amnesty. Meskipun PPn dinaikkan bagi orang kaya, itu pun hanya yang berpenghasilan di atas Rp5 miliar. Ironis bukan?
Begitulah, dalam sistem kapitalisme, penguasa hanya memperhatikan pihak yang menguntungkannya. Penguasa terkesan tebang pilih dalam mengurus rakyatnya. Alih-alih ingin menyejahterakan rakyat, yang terjadi justru penguasa semakin tega dengan terus menaikkan berbagai pajak. Astaghfirullah.
Sejatinya penguasa wajib bertanggung jawab dalam mengurusi semua kebutuhan rakyat. Baik kebutuhan dasar maupun kebutuhan lainnya. Karena tugas utama dan pertama penguasa adalah sebagai benteng, pengayom, bukan sebaliknya, terus saja membuat kebijakan yang ujung-ujungnya memeras rakyat.
Tapi itulah yang terjadi bila negeri ini masih mengadopsi sistem Kapitalisme-Demokrasi yang menjadikan pajak sebagai tumpuan utama kekuatan ekonominya. Untuk mengatasi kekurangan anggaran, solusi yang diambil dalam sistem ini kalau bukan berhutang tentu menaikkan pajak. Karenanya tak bisa dipungkiri pemasukan terbesar dari APBN negeri ini adalah pajak.
Begitupun dengan sumber daya alam (SDA), dalam sistem ini tidak dikelola negara, namun oleh pemilik modal. Padahal bila mampu mengelolanya, keuntungan yang didapatkan mampu untuk menyejahterakan rakyat. Pun negara tak perlu menaikkan pajak yang selalu membuat susah rakyatnya.
Sayangnya, penguasa dalam sistem ini hanyalah sebagai perpanjangan tangan dari para pemilik modal atau oligarki. Makanya tak heran jika kekayaan alam diserahkan pengelolaannya kepada para investor terutama korporasi asing. Begitulah watak asli dari sistem Kapitalisme yang hanya menjadikan rakyat sebagai sapi perahan. Seolah rakyat tak berhak hidup sejahtera.
Berbeda jauh dengan sistem Islam yang pernah berada-abad lamanya memimpin dunia. Semua umat merasakan kebahagiaan dan kesejahteraan di bawah naungannya.
Dalam sistem Islam, penguasa (khalifah) sangat memahami akan peran dan kewajibannya. Sebagaimana hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang artinya: “Kalian semua adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya. Seorang Amir (penguasa) yang memimpin rakyatnya akan ditanya tentang kepemimpinannya itu”
Begitupun dalam masalah anggaran untuk menjamin kebutuhan rakyat, negara melalui Baitul Maal mendapatkan sumber pemasukannya melalui beberapa pos, di antaranya:
Pertama, pos kepemilikan negara. Anggaran ini berasal dari harta fa’i, jizyah, kharaj, usyur, harta milik umum yang dilindungi oleh negara, harta haram pejabat dan pegawai negara, khumus dan rikaz, harta orang yang tidak memiliki ahli waris, dan harta orang murtad.
Kedua, pos kepemilikan umum. Anggaran ini berasal dari harta SDA yang dikelola negara tanpa campur tangan asing.
Ketiga, pos zakat. Anggaran pos ini berasal dari zakat kaum muslimin, baik zakat fitrah, mal, infaq, dan wakaf.
Adapun pajak dalam Islam yang disebut dengan dharibah, termasuk ke dalam pos kepemilikan negara, namun bersifat insidental. Menurut al-Allamah Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam kitab al-Amwal fii Daulati al-Khilafah, hal 129, dharibah adalah harta yang diwajibkan Allah Swt. kepada kaum muslimin untuk membiayai kebutuhan dan pos pengeluaran yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta dalam Baitulmal.
Dharibah hanya akan diambil ketika Baitulmal kosong, sehingga tidak mampu membiayai kebutuhan kaum muslimin yang mendesak seperti bencana alam, gaji pegawai, jihad, dsb. Dharibah pun hanya diwajibkan bagi kaum muslimin yang memiliki kelebihan harta (kaya) saja. Demikianlah gambaran konsep Islam dalam pembiayaan kebutuhan rakyat tanpa menarik pajak. Wallahu a’lam bish shawab.
More Stories
Dampak Pemidanaan Guru oleh Ortu Siswa Terhadap Keberlangsungan Pendidikan Masa Depan
Sumber Daya Alam Melimpah, Mengapa Rakyat Susah?
KURSUS ALKITAB GRATIS YANG MENGUBAH KEHIDUPAN