Oleh. Uqie Nai
Member AMK4
Viral seorang karyawati sebuah perusahaan kosmetik di Cikarang, Bekasi melaporkan atasannya karena menjadikan staycation (menginap) dan jalan-jalan berdua sebagai syarat perpanjangan kontrak. Karyawati berinisial AD (23) bercerita bahwa dirinya menerima kontrak kerja selama tiga bulan di perusahaan tersebut. Namun, selang beberapa hari setelah dinyatakan diterima kerja di perusahaan tersebut, AD menerima pesan melalui WhatsApp yang berisi ajakan jalan berdua dari atasannya yang berposisi sebagai manajer outsourcing.
AD menuturkan bahwa hampir setiap hari dirinya dikirimi pesan yang ujungnya merupakan ajakan untuk jalan berdua. Sampai suatu saat, oknum manajer tersebut menelepon AD hingga tiga kali tapi tidak dijawab oleh AD. Tak lama setelah itu, oknum manajer mengirimkan foto hotel kepada AD dan mengajaknya staycation. Dengan tegas AD pun menolak ajakan tersebut hingga atasannya marah dan mengancam akan memutus kontrak kerja dengannya. (Tvonenews.com, Senin 8/5/2023)
Kasus staycation ini pun menuai kecaman dari Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (Kang Emil). Kang Emil mengatakan bahwa pihaknya tidak akan tinggal diam terhadap perusahaan di Cikarang yang menyaratkan karyawan untuk staycation bersama pemimpin agar dapat perpanjangan kontrak kerja. Menurutnya, kasus karyawan untuk staycation masuk pada ranah pelanggaran seksual dan ia berharap peristiwa ini dapat diungkap secara tuntas untuk menjadi pembelajaran bagi perusahaan lainnya. (Inilahkoran.id, Selasa 9/5/2023)
Reaksi berikutnya datang dari Komnas HAM, Anis Hidayah. Anis menyebut praktik karyawati yang perpanjang kontrak harus menginap di hotel berpotensi melanggar HAM. Karena sudah semestinya, hak atas pekerjaan yang layak adalah bagian dari hak asasi manusia. Untuk itu Komnas HAM meminta agar aparat segera menindaklanjuti laporan yang dibuat oleh korban dengan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Watak Kapitalis Halalkan segala Cara
Memanfaatkan wewenang dan jabatan bukan hanya terjadi di perusahaan saja. Banyak kabar beredar instansi pemerintah dan pendidikan pun tak luput dari praktik asusila dengan sebelumnya mengancam korban tidak akan dapat nilai atau tidak diluluskan. Dengan memanfaatkan ketakutan korban inilah para pelaku bebas melakukan aksi bejatnya.
Selain itu, karena situasi perekonomian negeri ini masih karut marut ditambah penerapan UU Cipta Kerja oleh pemerintah, dan juga timpangnya jumlah lapangan kerja dengan jumlah pencari kerja, menjadi situasi yang saling berkelindan bak benang kusut. Fenomena seperti ini mau tidak mau menjadi salah satu akar masalah kenapa paksaan staycation terhadap seorang karyawati di Cikarang terjadi. Atasan seperti menjadi dewa yang menentukan karyawan lanjut bekerja atau berhenti.
Bobroknya moral individu terutama yang memiliki jabatan dan kekuasaan, berpangkal pada pola pikir dan pola sikapnya yang berasaskan kapitalisme sekuler. Sebuah paham yang saat ini banyak diadopsi dan diterapkan negara-negara dunia dalam meraih tujuannya tanpa arahan agama (syariat). Kegiatan apapun yang datang dari Barat seolah baik untuk diikuti meski kenyataannya menimbulkan kehancuran moral dan akhlak.
Pemerintah memang telah memiliki UU No. 12/2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) di antara isinya adalah tidak memberikan toleransi kepada para pelaku kekerasan seksual dan akan menindak tegas bagi para pelakunya. Ada juga Permen PPPA No. 1/2020 Tentang Penyediaan Rumah Perlindungan Pekerja Perempuan (RP3) di tempat kerja, dimana setiap pekerja perempuan berhak mendapatkan perlindungan dari masalah ketenagakerjaan, diskriminasi, kekerasan, dan pelanggaran hak asasi manusia. Bahkan kabarnya, RP3 ini sudah ada di enam titik di Indonesia, yakni Cakung, Bintan, Cilegon, Pasuruan, dan Musi Banyuasin.
Kedua aturan itu mestinya memperkuat upaya perlindungan terhadap perempuan yang rentan mengalami kekerasan serta diskriminasi. Dan seharusnya, banyak para pemilik kewenangan yang dijerat dua aturan ini ketika mereka memanfaatkan jabatannya. Realitanya, kasus pelecehan dan diskriminasi kerap terjadi, kaum perempuan tetaplah kaum lemah dan termajinalkan tanpa support sistem dari negara. Para oknum yang berduit dan punya kekuasaan, seringkali sulit terjerat pidana karena mereka mampu membeli kebebasan dengan dua hal tersebut. Mengapa? Karena mereka dan oknum aparat kepolisian, pejabat peradilan, atau sipir penjara misalnya ada dalam lingkaran kapitalisme, lebih butuh uang ketimbang keadilan.
Selama kapitalisme masih dijadikan pijakan negara, UU dan kebijakan apapun tidak akan memberikan rasa keadilan secara menyeluruh. Kapitalisme tidak akan pernah melahirkan pribadi yang lurus dan beradab selain memunculkan pribadi hedonis dan permisif (serba boleh). Karyawati AD sebutlah sedang beruntung karena viral dan mendapat dukungan dari para pejabat dan elemen masyarakat, tapi bagaimana dengan korban yang lain?
Kontrak Kerja Menurut Syariat Islam
Kontrak kerja dalam Islam adalah akad antara dua pihak atau lebih yang berisi kesepakatan untuk melakukan kerja dengan upah yang telah disepakati. Pihak pekerja akan melaksanakan pekerjaan yang telah ditetapkan, sementara pihak pemilik modal akan memberikan imbalan sesuai dengan kesepakatan. Akad yang biasa digunakan dalam kontrak ini adalah akad ijarah seperti jual beli jasa atau sewa-menyewa.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَوْفُوا۟ بِٱلْعُقُودِ
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad.” (QS. Al-Maidah [5]: 1)
Ijarah berasal dari kata al-ajru yang artinya al-iwadh (ganti) atau bisa juga bermakna upah, sewa, jasa atau imbalan. Sedangkan menurut istilah, ijarah adalah “Suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.” Manfaat ini bisa berbentuk manfaat barang seperti manfaat rumah yang ditempati, manfaat mobil untuk dinaiki juga manfaat dari tenaga dan keahlian seseorang.
Islam juga telah menetapkan syarat-syarat yang harus terpenuhi di antara dua orang yang berakad, yaitu: Pertama, kedua orang yang berakad telah balig dan berakal. Kedua, pihak-pihak yang melakukan akad telah menyatakan kerelaannya untuk melakukan akad ijarah (QS. An Nisaa: 29). Ketiga, manfaat yang menjadi obyek ijarah harus diketahui secara jelas, sehingga tidak terjadi perselisihan di kemudian hari. Keempat, obyek ijarah itu dapat diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak ada cacatnya. Kelima, obyek ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syarak.
Berdasarkan hal itu, maka syarat sah kontrak kerja (ijarah) adalah bahwa jasa yang dikontrak harus jasa yang halal. Artinya, tidak boleh mengontrak seorang pekerja untuk memberikan jasa yang haram seperti kasus staycation di atas. Pihak pengontrak dengan disertai ancaman kepada karyawannya, selain ia berdosa, negara dalam sistem Islam akan memberikan sanksi pada pelaku berupa sanksi ta’zir. Hal ini dilakukan karena negara berfungsi sebagai penjaga atas kehormatan umat manusia, termasuk perempuan sebagaimana arahan syarak. Allah Swt. telah berfirman:
“… Dan janganlah kalian paksa hamba sahaya perempuan kalian untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kalian hendak mencari keuntungan duniawi.” (QS. An-Nur: 33)
Wallahu a’lam bisshawwab
More Stories
Dampak Pemidanaan Guru oleh Ortu Siswa Terhadap Keberlangsungan Pendidikan Masa Depan
Sumber Daya Alam Melimpah, Mengapa Rakyat Susah?
KURSUS ALKITAB GRATIS YANG MENGUBAH KEHIDUPAN