Oleh: Uqie Nai
Member AMK4
Beragam kegiatan elit politik acapkali terjadi menjelang pesta demokrasi dengan Pilpres atau Pilkadanya. Pemilihan momen pun diambil agar bisa berbaur dengan tokoh masyarakat atau pejabat negara. Di antaranya melalui safari Ramadan dan silaturahmi lebaran.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan misalnya. Beberapa kali ia menggelar kegiatan yang mengundang kerumunan publik seperti kegiatan mudik gratis DKI Jakarta dengan baju Anies Baswedan Presiden Indonesia. Selain itu, Anies juga menggelar salat Id berskala besar di Jakarta Internasional Stadium (JIS), Jakarta Utara, Senin (2/5/2022). Kegiatan salat Id ini dinilai politis karena Sekda DKI Jakarta Marullah Matali menerbitkan surat yang meminta para ASN untuk salat Id di JIS. Di malam takbiran, Anies mendapat teriakan sebagai kandidat yang layak sebagai presiden. (Tirto.id, Senin, 9/5/2022)
Selain Gubernur DKI, ada juga nama-nama kandidat capres-cawapres yang melakukan kegiatan serupa, yang konon kabarnya bisa meningkatkan elektabilitas jelang Pilpres 2024, seperti kegiatan mudik gratis Partai Golkar dan BUMN yang dihadiri Erick Tohir. Bahkan Menteri BUMN ini beberapa kali bersedia hadir di acara TV swasta.
Kegiatan para elit politik tersebut mengundang komentar dari Analis politik dan Direktur IndoStrategi Research and Consulting, Arif Nurul Imam. Arif menilai bahwa fenomena tersebut terkategori kerja politik untuk menaikkan popularitas dan elektabilitas. Menurutnya, kegiatan mereka bersama publik akan terus berlanjut hingga mendekati masa penentuan kandidat. Partai akan terus berupaya konsolidasi, melakukan pengkaderan hingga sosialisasi baliho, sementara para kandidat akan berupaya dengan berbagai cara agar dilihat masyarakat. (Tirto.id, Jumat (6/5/2022)
Gencar Bangun Elektabilitas, Kendur Perjuangkan Hak Rakyat
Berperilaku santun, saleh, dermawan, perhatian, dan sebagainya, semestinya dilakukan para elit politik di manapun dan kapanpun, tidak harus menjelang Pilpres. Sebab, selain mereka adalah calon penguasa yang memiliki tanggung jawab menyenangkan orang yang telah mengangkatnya (rakyat). Juga tugas mereka adalah bagaimana merealisasikan janji kampanye di hadapan publik, mengurus, dan melayani rakyat sebagai seorang pemimpin, bukan sekadar bersilaturahmi.
Sepertinya, momen silaturahmi elit parpol ini tak akan berbuah nyata sebagaimana harapan masyarakat. Sungguh sangat disayangkan, jika mengacu pada pandangan analis politik di atas, bahwa kegiatan calon petinggi negeri itu semata untuk membangun elektabilitas dan popularitas. Seolah merakyat padahal memihak korporat. Akibatnya, nasib rakyat akan kembali sama atau bisa lebih terpuruk jika alasan menjadi pemimpin bukan dorongan spiritual tapi material.
Pangkal dari kurangnya perhatian serta pengurusan penguasa terhadap warga masyarakat adalah demokrasi kapitalisme yang kemudian menjadi asas setiap perbuatan manusia. Maka, bisa diduga jika elektabilitas yang ditampakkan ke tengah masyarakat bukan demi mengembalikan kepercayaan umat, tapi kepercayaan kelompok oligarki yang berkelindan di area pemerintahan. Sehingga, semboyan demokrasi: “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat,” tinggallah semboyan tanpa realitas dan kepastian untuk riayah suunil ummah.
Inilah kenyataan semu yang terus menipu yang disuguhkan demokrasi. Interaksi penguasa dengan publik ibarat jual-beli, ada untung dan rugi yang diprioritaskan sebelum beramal, sekalipun itu adalah kewajiban. Dalam sistem ini pula manuver politik akan terus digencarkan demi langgengnya kekuasaan. Dengan cara apapun keuntungan materi harus didapatkan meski awalnya memgeluarkan sejumlah modal untuk meraih suara masyarakat.
Hanya Politik Islam yang Berorientasi Akhirat
Dalam Islam, amanah kepemimpinan adalah satu hal yang berat, karena tanggung jawabnya bukan hanya dunia, tapi juga akhirat. Jika bukan karena kepercayaan umat menunjuk calon pemimpin, individu muslim di era pemerintahan Islam akan menghindari amanah ini apalagi berpura-pura salih.
Dari Ma’qil bin Yasar ra. sesungguhnya Rasulullah saw. telah bersabda:
ما مِن عَبْدٍ اسْتَرْعاهُ اللَّهُ رَعِيَّةً، فَلَمْ يَحُطْها بنَصِيحَةٍ، إلَّا لَمْ يَجِدْ رائِحَةَ الجَنَّةِ
“Tidaklah seorang hamba yang Allah beri amanat kepemimpinan, namun dia tidak menjalankannya dengan baik, kecuali ia tidak akan mendapatkan baunya surga.” (HR Bukhari)
Kesalihan individu muslim adalah implementasi dari kesadarannya kepada Sang Khalik (idrak shillah billah) dan atribut yang mesti disandangnya sebagai muslim. Kapanpun dan dimanapun, kepribadian Islamnya akan terpancar dalam setiap perbuatannya. Begitu pula dengan mekanisme pemilihan pemimpin.
Dalam aturan Islam, masa kepemimpinan kepala negara tidaklah dibatasi waktu, selama ia masih tetap menjaga syariat, hukumnya, dan bertanggung jawab melaksanakan berbagai urusan negara, maka ia tetap memimpin dan wajib ditaati. Jika masa kepemimpinannya berakhir (sakit/meninggal/melanggar syarat sebagai pemimpin) akan dilakukan pemilihan kembali dengan mekanisme yang efektif dan efisien, yakni hanya butuh waktu tiga hari tiga malam dengan biaya relatif rendah. Tidak perlu ada safari Ramadan, silaturahmi lebaran, dan sejuta kebaikan semu dari para calon agar dukungan umat bisa diraih, sebagaimana sistem demokrasi kapitalisme.
Sejak terpilihnya, para calon pemimpin dalam sistem Islam telah mengetahui tanggung jawabnya sebagai raa’in yang bertugas untuk ri’ayah su-unil ummah (melayani dan mengatur urusan umat). Jabatan ini mereka pahami bukanlah ajang meraih popularitas atau menumpuk kekayaan, karena kedudukan pemimpin dalam Islam adalah pelayan. Ia diibaratkan sebagai pengembala (raa’in) yang harus menjaga ternak yang digembalakannya, tanpa ada satu pun yang luput dari perhatiannya, baik minumnya, makannya, kesehatannya, keamanannya, dll.
Rasulullah saw. telah bersabda: “Al-Imam (pemimpin) itu adalah pelayan. Ia bertanggung jawab atas apa yang menjadi tanggungannya (rakyat).” (HR. Bukhari)
Atas beban tanggung jawab yang sangat besar ini, penyimpangan pasti ada karena pemimpin dalam Islam juga manusia biasa, ia tidak maksum sebagaimana kepemimpinan Rasulullah saw. Oleh karena itu diperlukan aktivitas muhasabah lil hukam dari berbagai lapisan umat, semisal dari mahkamah mazalim, majlis umat/majlis syuro, atau individu rakyat. Sehingga amanat kepemimpinan dan masyarakat yang dipimpin akan bersinergi agar tercapai maksud-maksud syariat di tengah umat.
Di samping itu, terdapat perbedaan mendasar terkait orientasi kepemimpinan dalam sistem demokrasi kapitalisme dan sistem Islam. Orientasi kepemimpinan dalam Islam adalah mardhatillah (meraih rida Allah Swt) melalui aktivitas riayah su-unil ummah dengan arahan syariat, sementara dalam sistem saat ini, orientasinya adalah manfaat secara materi yang mengikuti arahan kapitalis Barat.
Wallahu a’lam bi ash Shawwab.
More Stories
Dampak Pemidanaan Guru oleh Ortu Siswa Terhadap Keberlangsungan Pendidikan Masa Depan
Sumber Daya Alam Melimpah, Mengapa Rakyat Susah?
KURSUS ALKITAB GRATIS YANG MENGUBAH KEHIDUPAN