06/01/2023

Jadikan yang Terdepan

Perlindungan Berlapis Atasi Kekerasan Seksual

Penulis: Chusnatul Jannah (Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)

Dalam sebulan terakhir, berita penuh dengan sajian kekerasan seksual yang menimpa perempuan. Di awal Desember saja sudah banyak kasus pelecehan dan kekerasan seksual terungkap. Ada mahasiswi bunuh diri lantaran depresi atas masalah yang menimpanya. Berpacaran, berzina, hamil di luar nikah, dipaksa aborsi, lalu berakhir bunuh diri di samping pusara sang ayah. Kasus NWS merajai topik jagat maya dan mendapat perhatian dari berbagai kalangan.

Tak kalah mengerikan, seorang guru di pesantren Bandung melakukan pemerkosaan terhadap 21 santriwatinya, 9 diantaranya sampai hamil dan melahirkan. Atas perbuatan bejatnya, publik meminta ganjaran hukuman maksimal dan setimpal. Ada pula kasus seorang ibu muda dirudapaksa empat pria terjadi di Rokan Hulu, Riau. Berita yang sama juga terjadi di Cilacap, Jawa Tengah, seorang guru mencabuli 15 siswanya. Fakta ini membuktikan bahwa Indonesia benar-benar darurat kekerasan seksual.

Pada tahun 2019, Komnas Perempun pernah mengungkap temuan bahwa setiap hari tidak kurang 8 perempuan Indonesia menjadi korban pemerkosaan. Miris, pilu, dan kelu. Berita-berita itu menyisakan sembilu betapa nasib perempuan begitu rapuh dalam sistem hari ini. Apa sebabnya? Bagaimana menyolusi darurat kekerasan seksual agar dapat terberantas dengan tuntas?

Bukan Sekadar Pelaku dan Korban

Menanggapi semakin maraknya kekerasan seksual terhadap perempuan, kasus yang terjadi tidaklah terjadi tanpa sebab. Ada sebab, pasti ada akibat. Kita harus melihat kasus di atas secara holistik dan komprehensif. Bukan sekadar persoalan seputar hukuman bagi pelaku atau memikirkan nasib para korban yang mengalami trauma berkepanjangan.

Jika berbicara kekerasan, mestinya tidak hanya menyelesaikan kasus per kasus, seperti hukuman bagi pelaku atau pendampingan dan pembelaan untuk para korban. Mengapa begitu banyak predator seksual berkeliaran? Bukan saja orang luar, orang tua, guru, kakak, adik, atau keluarga yang mestinya menjadi pelindung bagi anak-anak malah menjadi pelaku kekerasan seksual.

Sudah banyak aturan yang tercipta dalam mengatur tindak kejahatan seksual, namun faktanya belum cukup juga. Aturan yang ada gagal mengontrol dan mengendalikan nafsu liar para predator melancarkan aksi mereka.

Sayangnya, negeri ini tidak pernah belajar dari kesalahan yang ada. Salah mendiagnosa akar masalah, salah langkal mengambil solusi. Pemerintah justru menciptakan Undang-Undang yang memicu makin merebaknya liberalisasi seksual dan perzinaan. Seperti RUU TPKS dan Permen PPKS (Permendikbud No.30) yang mendapat penolakan dari berbagai pihak, utamanya umat Islam.

Biang Keladi

Jawaban atas pertanyaan mengapa begitu banyak kasus kekerasan seksual mengemuka adalah karena penerapan sistem sekuler liberal. Sistem ini dengan jahatnya mereduksi fondasi paling mendasar dalam kehidupan manusia,.yaitu keimanan yang terangkum dalam aturan agama (baca: Islam). Meski negeri ini berpenghuni mayoritas muslim, masyarakat tampak mengabaikan Islam sebagai panduan dalam menjalankan kehidupan.

Kalaupun ada, hanyalah sekadar ibadah ritual dan tahunan semata. Islam justru terpinggirkan dalam ranah kehidupan. Aturan bernuansa sekuler liberal-lah yang mendominasi tata pergaulan sosial di masyarakat.

Sebagai contoh, masyarakat tak lagi menganggap pacaran sebagai hal terlarang. Mereka menoleransi anak perempuannya berbuat maksiat selama tidak kebablasan. Padahal, pacaran adalah pintu masuknya zina dan perbuatan maksiat lainnya.

Sistem sekuler liberal menganggap manusia memiliki hak kebebasan berperilaku. Dari prinsip kebebasan inilah, segala aturan agama ditabrak sana-sini. Halal haram tak lagi menjadi penentu benar salah dalam menilai perbuatan. Perempuan dan laki-laki bebas berpakaian dan berbuat semaunya. Maka wajar bila pergaulan bebas meluas dari anak-anak hingga orang tua.

Solusi Jitu

Setelah memahami sumber masalahnya ada pada sistem sekuler liberal, maka perlu rumusan solusi jitu atas kekerasan seksual. Islam memiliki sejumlah perlindungan berlapis dalam mengatasi kekerasan seksual. Di antaranya:
Pertama, lapisan preventif, yaitu pencegahan. Islam mengatur secara terperinci batasan-batasan pergaulan antara laki-laki dan perempuan, yakni (1) mewajibkan perempuan menutup aurat dengan berhijab syar’i (kewajiban memakai jilbab dan kerudung di ruang publik); (2) kewajiban menundukkan pandangan bagi laki-laki dan perempuan.

(3) Larangan berkhalwat, tabarruj (berhias di hadapan nonmahram), dan berzina; (4) Islam memerintahkan perempuan didampingi mahram saat melakukan safar (perjalanan lebih dari sehari semalam) dalam rangka menjaga kehormatannya; dan (5) Islam memerintahkan untuk memeisahkan tempat tidur anak.

Kedua, lapisan kuratif, yaitu penanganan. Dalam hal ini, penegakan sistem sanksi Islam wajib terlaksana. Terdapat dua fungsi hukum Islam, yakni sebagai zawajir (memberikan efek jera) dan jawabir (penebus dosa) bagi pelaku tindak kejahatan. Ketika hukum Allah berjalan, tak ada istilah tawar menawar bagi manusia untuk menangguhkan hukuman tersebut.

Hukum Islam sangat adil memberi ganjaran dan balasan pada pelaku maksiat. Hari ini telah kita saksikan bagaimana UU buatan manusia tidak mampu menyolusi persoalan kekerasan seksual. Bukannya menurun, angka kekerasan seksual justru meningkat dengan beragam bentuk.

Ketiga, lapisan edukatif, yaitu pendidikan dan pembinaan melalui sistem pendidikan dengan kurikulum berbasis akidah Islam. Individu dan masyarakat akan terbina dengan Islam. Syariat Islam sebagai standar perbuatan. Ketika individu bertakwa, masyarakat berdakwah, aktivitas amar makruf nahi mungkar menjadi tabiat mereka, angka kejahatan dan kriminalitas bisa terminimalisir dengan baik.

Keempat, negara meriayah. Semua lapisan tersebut tidak akan bisa berjalan tanpa peran negara. Negaralah pihak yang paling bertanggungjawab melaksanakan dan mewujudkan perlindungan dan keamanan bagi rakyat. Sistem pendidikan dan tata pergaulan Islam tidak bisa terlaksana tanpa kehadiran negara sebagai pelaksana dan penerap syariat secara kafah. Negara bisa melakukan kontrol terhadap media serta propaganda yang mengajak pada kemaksiatan. Karena tugas negara adalah menjaga generasi agar berkepribadian Islam.

Itulah perlindungan berlapis mengatasi kekerasan seksual, juga mencegah kemaksiatan bermunculan. Hanya dengan Islam kehormatan dan kemuliaan perempuan terjaga. Selama 13 abad, sistem Islam mampu menciptakan masyarakat yang berbudi luhur, beradab, berakhlak mulia, dan berkepribadian unggul. Dengan syariat, masyarakat terselamatkan. Bersama sekularisme, masyarakat bisa rusak dan merusak.