25/11/2024

Jadikan yang Terdepan

Sistem Karut Marut di Balik Ekspor Pasir Laut

Oleh Irma Faryanti
Member Akademi Menulis Kreatif

Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No 26 Tahun 2023 oleh Presiden RI Joko Widodo baru-baru ini memicu polemik. PP yang mengatur tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut itu dianggap dapat menimbulkan berbagai dampak, baik bagi lingkungan juga bagi masyarakat sekitar.

Salah satu poin yang menuai permasalahan adalah adanya pemanfaatan hasil sedimentasi berupa pasir laut yang nantinya akan diekspor ke luar negeri. Hal ini tertuang dalam pasal 9 ayat (2) huruf D yang menyebutkan bahwa “ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” (CNBC Indonesia, Jumat 2 Juni 2023)

Ketetapan di atas sontak mendapat kritikan. Fahmy Radhi selaku Pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta meminta agar keputusan tersebut dibatalkan. Ia berharap Presiden mencabut ekspor pasir laut karena berpotensi merusak lingkungan, menyengsarakan masyarakat pesisir, dan menenggelamkan pulau-pulau yang nantinya akan mengerutkan wilayah daratan Indonesia.

Senada dengan Fahmy, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti juga mengharapkan hal yang sama agar Presiden Jokowi membatalkan keputusannya untuk membuka keran ekspor pasir laut tersebut. Ia menilai bahwa hal tersebut akan berdampak pada kerugian lingkungan, penambangan pasir akan berpengaruh dan memperparah kondisi yang sebelumnya telah terdampak oleh climate change (perubahan iklim).

Menanggapi polemik yang terjadi, para Menteri di bawah kepemimpinan Jokowi pun memberikan penjelasan. Arifin Tasrif selaku Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menjelaskan alasan pemerintah memutuskan keran ekspor pasir laut, yaitu untuk menjaga alur pelayaran dan nilai ekonomi yang disebabkan oleh sedimentasi. Menurutnya sedimen yang terjadi di dasar lautan akan menimbulkan pendangkalan yang dapat membahayakan setiap kapal yang melintas.

Pasir laut juga dianggap memiliki nilai ekonomi yang dapat menguntungkan negara. Sedimen yang mengendap dan membahayakan pelayaran akan lebih baik dijual ke luar negeri sehingga dapat menghasilkan keuntungan secara materi. Pengerukan yang dilakukan tentu membutuhkan biaya, disitulah supply dan demand akan terjadi. Namun Arifin tidak memberi keterangan lebih lanjut tentang pasar pasir laut yang dijadikan objek penjualan.

Sementara itu, Luhut Binsar Pandjaitan sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman menyatakan bahwa kebijakan tersebut ditujukan untuk pendalaman air laut agar tidak semakin dangkal. Hal ini bisa bermanfaat ketika ada proyek besar berupa reklamasi, dapat digunakan sebagai pembangkit listrik tenaga surya. Ia pun memastikan bahwa kerusakan lingkungan tidak akan terjadi, justru yang didapatkan adalah manfaat yang besar bagi BUMN dan pemerintah ketika pasir laut itu diekspor ke luar negeri.

Dampak lingkungan yang terjadi dari penambangan pasir laut telah nyata terjadi, namun berbagai larangan pengerukan ternyata tidak mampu menghentikan aktivitas penambang yang melakukannya secara ilegal. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika pemerintah justru membuatnya menjadi legal? Tindakan itu akan semakin merajalela, padahal yang diuntungkan dalam hal ini adalah para oligarki yaitu perusahaan besar baik yang ada di dalam maupun luar negeri. Sementara negeri ini hanya memperoleh pajak yang nilainya tidak seberapa dibandingkan dengan kerusakan alam yang dihasilkan.

Inilah negeri yang berpijak pada aturan kapitalis. Penguasa hanya fokus pada nilai secara ekonomi daripada masalah lingkungan. Semua diukur dari sisi manfaat, apakah mendatangkan keuntungan ataukah tidak, tanpa mempertimbangkan kerusakan yang ditimbulkan. Kekayaan alam yang notabene adalah milik rakyat, dibiarkan dikuasai para pemilik modal. Negara yang semestinya mengayomi, hanya berperan sebagai regulator, menetapkan kebijakan agar para oligarki merasa diuntungkan.

Pasir adalah sumber daya alam (SDA) milik umum, keberadaanya sangat bermanfaat untuk keberlangsungan ekosistem laut. Syariat Islam sendiri telah mengatur pemanfaatan SDA ini melalui sabda Rasulullah saw. dalam HR Abu Dawud dan Ahmad:
“Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu: padang rumput, air dan api.”
Artinya segala hal terkait padang rumput, air (danau, laut dan yang ada di dalamnya), juga api berupa tambang, minyak bumi dan gas alam, semuanya adalah milik umum. Haram bagi individu juga swasta untuk mengelola apalagi menguasainya. Pengelolaan hanya boleh dilakukan oleh negara untuk diserahkan hasilnya kepada rakyat.

Rasulullah saw. pernah memberikan sebuah tambang garam pada salah seseorang bernama Abyadh bin Hammal, namun setelah diingatkan oleh sahabat bahwa yang diberikan padanya bagaikan air yang mengalir, beliau pun menarik kembali pengelolaan itu darinya. Dari sini jelas bahwa kegiatan ekspor pasir laut yang saat ini dilakukan, diharamkan dalam Islam. Selain karena berdampak pada lingkungan juga memberi peluang pada para oligarki untuk menguasai sumber daya alam milik rakyat.

Hanya dalam Islam seluruh permasalahan akan tersolusikan dengan sempurna. Melalui tegaknya syariat Allah di setiap sendi kehidupan di bawah naungan kepemimpinan yang akan membawa keberkahan bagi seluruh alam. Wallahu a’lam Bishawwab