29/03/2024

Jadikan yang Terdepan

Mundur Teratur demi Jabatan yang Menggiurkan

Oleh Ummu Kholda
Komunitas Rindu Surga, Pegiat Literasi

Menjelang pesta demokrasi 2024, kini para partai politik (parpol) peserta pemilu serentak, beramai-ramai mendaftarkan bakal calon anggota legislatif (bacaleg) ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Para bacaleg berasal dari latar belakang yang berbeda-beda. Bahkan tidak sedikit di antaranya yang merupakan kepala daerah atau wakil kepala daerah yang masih menjabat.

Dilansir Tirto.id, (21/5/2023) terdapat sejumlah kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tercatat mendaftarkan diri menjadi caleg. Di antaranya: Bupati Lebak, Iti Jayabaya dan Wali Kota Palembang Harnojoyo dari Partai Demokrat; Wali Kota Parepare, Taufan Pawe dari Partai Golkar; Wali Kota Lubuklinggau, S.N. Prana Putra Sohe dan Wakil Wali Kota Ternate, Jasri Usman dari Partai PKB; dan masih banyak nama-nama lain yang maju untuk menjadi calon legislatif (caleg).

Dengan mendaftarkan diri menjadi caleg, berdasarkan Pasal 182 Huruf k, dan Pasal 240 Ayat (1) Huruf k Undang-Undang (UU) Pemilu, mereka harus mengundurkan diri dari jabatannya. Oleh karena itu muncullah fenomena pengunduran diri beramai-ramai para kepala daerah maupun wakilnya.

Menurut Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute, Arfianto Purbolaksono, memang terjadi perubahan fenomena dalam pemilu di Indonesia. Dimana para kandidat lebih memilih untuk maju ke legislatif. Hal ini tidak lepas dari situasi politik dan upaya memanfaatkan situasi tersebut. Ia pun tidak memungkiri bahwa momen tersebut ada arahan dari parpol untuk lebih fokus meraup suara. Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa metode ini lebih pada motif politik dari pada untuk kepentingan publik.

Selain itu, ia mengatakan aksi para kepala daerah maupun wakil yang mundur dan memilih nyaleg tentu tidak etis. Pasalnya mereka secara etika masih harus menyelesaikan tugasnya hingga akhir masa jabatan.

Hiruk-pikuk pencalonan caleg menunjukkan betapa posisi sebagai anggota dewan begitu menggiurkan sehingga mengalahkan amanah yang telah diembannya. Perebutan kekuasaan sepertinya sudah tidak bisa dihindarkan lagi.

Inilah realita yang ada, cerminan dari kekuasaan sistem demokrasi. Sistem yang berakidah sekuler (memisahkan agama dari kehidupan) membuat manusia berdaulat atas hukum. Sehingga hukum akan diserahkan kepada manusia yang sangat subyektif cara pandangnya. Buktinya dengan adanya undang-undang yang mengatur kebolehan pemimpin daerah untuk mundur dari jabatannya ketika mengikuti pileg.

Tidak hanya itu, paham sekuler juga telah menjadikan kekuasaan hanya sebagai ajang untuk memperkaya diri, keluarga maupun kelompoknya. Bahkan mereka kerap melakukan berbagai cara, tidak peduli terhadap halal haram untuk mencapai tujuannya termasuk untuk mendapatkan suara mayoritas. Kebahagiaan hanya dinilai dengan materi, maka jabatan digunakan untuk meraih materi sebanyak mungkin. Sementara rakyat yang menjadi tanggung jawabnya seolah dilupakan begitu saja. Padahal rakyat telah dan akan berjuang mengantarkan mereka duduk di kursi kekuasaan.

Berbeda dengan pemimpin yang lahir dari sistem Islam. Standar pemahaman dan tolok ukur suatu perbuatan disandarkan hanya pada syariat Islam, termasuk cara pandangnya terhadap amanah kekuasaan.

Dalam Islam, amanah kekuasaan bukanlah sebagai ajang untuk memperkaya diri, keluarga maupun kelompoknya. Bukan pula hanya tentang dunia, melainkan juga urusan akhirat yang akan diminta pertanggungjawabannya kelak. Sebagaimana sabda Rasul saw. yang artinya: “Imam adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari)

Selain itu, amanah dalam pandangan Islam juga bukanlah suatu hal yang dapat dipermainkan sesuai dengan kepentingannya. Namun, amanah adalah sesuatu yang berat, karenanya tidak bisa siapapun yang tidak memiliki kapabilitas dapat menduduki jabatan kepemimpinan.

Seorang pemimpin dalam Islam harus dapat memastikan bahwa tugasnya sebagai pengurus rakyat ditunaikan dengan penuh tanggung jawab. Dirinya pun akan memastikan bahwa rakyatnya terpenuhi semua kebutuhan, sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan juga keamanan. Di samping harus menjaga agamanya agar tetap dalam keadaan tauhid dan ketakwaannya hanya kepada Allah Swt. semata.

Sehingga jelaslah, sistem Islam menjadikan seorang pemimpin adalah orang yang bertanggung jawab mengayomi rakyatnya, selama masih dipercaya untuk memegang tampuk kekuasaan. Serta tidak akan meninggalkan jabatannya begitu saja demi tujuan lain yang akan merugikan rakyatnya.

Sistem seperti inilah yang saat ini sangat dinantikan dan dirindukan seluruh umat. Karenanya, sudah seharusnya kita sebagai umat Muslim untuk terus memperjuangkan sistem Islam ini, yang akan menerapkan syariat-Nya secara menyeluruh (kaffah) dan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Wallahu a’lam bi ash-shawwab.