25/11/2024

Jadikan yang Terdepan

Serba Kapitalistik Mewarnai Suasana Mudik

Oleh Irma Faryanti
Member Akademi Menulis Kreatif

Tidak lebih dari sepekan ke depan Ramadan akan berlalu, dan hari raya pun datang. Walau ada rasa sesak memenuhi relung hati, karena bulan penuh rahmat itu akan segera berganti. Namun kita pun harus menyambut hari kemenangan dengan penuh sukacita. Hingar bingarnya juga sudah mulai terasa, tradisi mudik yang sejatinya hanya ada di negeri ini sudah mulai dilakukan di berbagai wilayah.

Seperti yang terjadi di Jawa Tengah, sekitar 12,9 juta pemudik diperkirakan memasuki wilayah tersebut. Hadi Santoso selaku wakil Ketua Komisi D DPRD provinsi setempat memberi himbauan untuk mewaspadai beberapa titik rawan yang harus dihindari. Diperkirakan ada 82 wilayah yang akan mengalami kemacetan, 42 diantaranya terjadi karena adanya pasar tumpah, dan sisanya macet di daerah exit tol, persimpangan jalan, perlintasan kereta api dan adanya penyempitan jalan. (REPUBLIKA.CO.ID, SOLO 9 April 2023)

Kemacetan akibat pasar tumpah biasanya terdapat di Brebes, Bundaran Bandungan di Kabupaten Semarang, juga di daerah wisata seperti Tawangmangu dan Baturaden. Sementara macet karena kerusakan ada di batangan juga penyempitan jalan yang terdapat di Kendal dan Temanggung. Sekitar 67 proyek yang mangkrak pengerjaannya pun turut melengkapi terhambatnya perjalanan. Belum lagi adanya cuaca ekstrem yang memicu terjadinya bencana alam.

Namun sayangnya, semarak mudik tidak disertai dengan kesiapan infrastruktur. Seperti yang terjadi di Garut tepatnya di daerah Leles Kadungora, sejumlah jalan di sana mengalami kerusakan. Menyikapi hal itu, Kepala Kepolisian Resor setempat, AKBP Rio Wahyu Anggoro meminta agar proyek perbaikan jalan di daerah tersebut dipercepat dan bisa selesai H-4 sebelum hari raya, agar pemudik dapat menikmati perjalanan yang aman dan nyaman. Ia pun menyatakan bahwa jajarannya siap membantu untuk menyelesaikannya.

Mahalnya tiket juga menjadi permasalahan lain yang turut mewarnai mudik kali ini. Lasarus, selaku Ketua Komisi V DPR RI meminta Kementerian Perhubungan (Kemenhub) untuk segera memberi solusi atas biaya mudik yang tinggi tersebut, baik untuk moda transportasi darat, laut dan udara. Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi menyatakan bahwa pihaknya akan melakukan upaya agar masyarakat dapat menjangkau pembeliannya, dengan cara memberi diskon.

Kenaikan ongkos perjalanan biasanya terjadi pada puncak arus mudik akibat tingginya permintaan. Tarif yang dikenakan mengalami penyesuaian sekitar 25-35% tergantung jarak tempuh. Pihak Kemenhub akan memberikan tekanan pada operator agar tidak memberlakukan tiket batas atas, hal ini dilakukan agar masyarakat dapat menjangkaunya mengingat daya beli mereka belum pulih sebelumnya pasca pandemi.

Permasalahan seputar mudik bukan kali ini saja terjadi, setiap tahunnya selalu terulang hal yang sama. Fenomena tersebut tidak bisa diabaikan begitu saja, keinginan berkumpul dengan sanak saudara di hari raya menjadi kebutuhan yang tidak bisa dihindari. Perjalanan jauh yang ditempuh tentu membutuhkan keamanan dan kenyamanan, inilah yang harus disediakan negara. Tidak hanya sekedar menyolusikan penumpukan manusia, tapi juga pelayanan yang manusiawi. Mulai dari penyediaan infrastruktur berupa sarana dan prasarana penunjangnya, juga biaya yang diberlakukan.

Sayangnya, dalam pengayoman kapitalisme semua itu tidak terwujud. Fakta banyaknya jalan yang rusak dan beresiko tinggi untuk dilewati menunjukkan abainya penguasa terhadap penyediaan infrastruktur bagi masyarakat. Pun jika ada pembangunan, biasanya dikelola swasta yang berdampak pada penetapan tarif mahal yang dikenakan pada pengguna jalan. Mereka tidak mau merugi karena merasa telah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk perbaikan sarana milik umum tersebut.

Inilah watak asli kapitalis, segala sesuatu diukur pada pertimbangan untung dan rugi. Pengayoman yang sesungguhnya tidaklah terwujud, yang ada hanya semacam transaksi jual beli. Siapa yang mampu membayar, dialah yang akan menikmatinya. Kepentingan swasta sebagai pemilik modal adalah prioritas utama dibanding apa yang menjadi kebutuhan rakyat. Harapan terciptanya suasana mudik yang aman dan nyaman urung terwujud dalam sistem ini.

Mudik yang biasanya terjadi pada 10 hari menjelang Ramadan, harusnya tidak merusak spirit umat Islam dalam meraih sebanyak-banyaknya pahala. Sehingga fokus yang sepatutnya ditujukan untuk ibadah, menjadi terbebani dengan biaya pulang kampung yang tidak murah. Kapitalisme terbukti gagal dalam mengurai permasalahan ini, baik dari sisi penyediaan infrastruktur, terjangkaunya harga tiket, kenyamanan perjalanan apalagi terciptanya suasana keimanan.

Tentu sangat jauh berbeda dengan Islam. Di mana pelayanan merupakan prioritas utama dalam pengurusan masalah umat. Penyediaan berbagai sarana infrastruktur menjadi tanggung jawab penguasa yang harus dipenuhi demi kepentingan rakyatnya, yang pengelolaannya tidak boleh diberikan pada pihak manapun. Karena ini adalah amanah besar yang kelak akan dihisab di hadapan Allah. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. dalam HR. al Bukhari:
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.”

Dalam Islam, fasilitas umum seperti: jalan, listrik, air bersih, dan lain sebagainya merupakan sarana yang tidak boleh dimiliki oleh individu. Semua itu wajib disediakan negara agar masyarakat bisa mendapatkannya secara mudah dan cuma-cuma. Begitu pula terkait perjalanan mudik, penguasa berkewajiban menyediakannya agar tercipta keamanan dan kenyamanan bagi pemudik, seperti rest area yang memadai yang telah diintervalkan jarak dengan kondisi pengendara dalam membawa kendaraan, agar tidak terjadi kelelahan yang berpotensi pada terjadinya kecelakaan. Sebuah tempat yang nyaman untuk beristirahat, yang didalamnya dilengkapi dengan pengisian bahan bakar, kendaraan, toilet bahkan ketersediaan makanan dan minuman,

Pembangunan infrastruktur pernah dilakukan pada masa kejayaan Islam yaitu di era kekhalifahan Sultan Abdul Hamid II. Di mana beliau membangun rel kereta api sebagai sarana untuk transportasi haji. Biaya ke tanah suci pada saat itu cukup mahal, karena harus menyewa unta dan segala bentuk perlengkapan yang harganya tidak murah dan memakan jarak tempuh 2 bulan lamanya. Akhirnya dibuatlah tempat tersebut dengan segala fasilitas yang dibutuhkan seperti makan, penginapan yang semua bisa dinikmati secara cuma-cuma

Sungguh sangat jauh berbeda dengan pelayanan di era kapitalis yang cenderung mengabaikan hak rakyat. Jika telah jelas sistem ini gagal, masihkah kita rela berada dalam pengaturannya? Bukankah lebih baik kembali pada aturan Allah Swt. yang terbukti sempurna dan mampu memberi solusi bagi seluruh permasalahan manusia? Wallahu a’lam Bishawwab,