25/11/2024

Jadikan yang Terdepan

Efek Jera Sistem Persanksian Islam Bagi Para Pembegal

Oleh: Irma Faryanti
Ibu Rumah Tangga & Member Akademi Menulis Kreatif

Aneh, itulah yang terlintas dalam benak ketika mendapati fakta seorang korban dijadikan tersangka. Namun demikianlah adanya yang terjadi di Lombok Tengah, Murtede atau yang biasa dikenal Amaq Santi harus menerima keputusan dirinya dijadikan tersangka atas kasus tewasnya begal yang menghadangnya.

Murtede adalah warga Desa Ganti, Kecamatan Praya Timur, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Saat ia akan mengantarkan makanan dan air panas pada ibunya di daerah Lombok Timur, ia dihadang oleh kawanan begal bersenjata di jalan raya Desa Ganti. Kontan ia pun melakukan perlawanan dengan sebilah pisau yang dibawanya hingga menewaskan dua pelaku begal. Namun sayang tindakannya mengantarkannya pada jeruji besi. Polres Lombok Tengah menetapkan dia sebagai tersangka, dengan alasan bahwa perbuatannya itu telah mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain, yaitu menusuk kedua pembegal dengan senjata tajam miliknya sendiri. (jpnn.com Sabtu 16 April 2022)

Pasca penetapan sebagai tersangka, ia sempat ditahan di rutan sebelum pihak keluarga memohon penangguhan penahanan dan menjamin akan kooperatif dengan pihak kepolisian. Amaq Sinta akhirnya bebas dan bisa berkumpul kembali dengan keluarganya.

Kasus ini pun menjadi viral di seantero negeri. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo berharap korban segera mendapatkan kepastian hukum. Begitu juga dengan Kabareskrim Komjen Andrianto, ia meminta kasus tersebut dihentikan agar masyarakat tidak menjadi apatis dan takut melawan kejahatan.

Polda NTB akhirnya menghentikan kasus tersebut setelah melakukan gelar perkara bersama para pakar hukum. Dari penyelidikan itu diperoleh kesimpulan bahwa perbuatan pembelaan dilakukan secara terpaksa tidak mengandung unsur melawan hukum baik secara formil maupun materiil. Hal tersebut tidak menyalahi ketentuan sebagaimana ditetapkan pada pasal 49 ayat (1) tentang pembelaan terpaksa. Alhasil, Amaq Sinta pun dapat terbebas dari tuntutan.

Sungguh sangat disayangkan, kejelasan hukum baru diproses ketika permasalahan mulai menyeruak ke permukaan. Penghentian kasus dilakukan bukan semata demi penegakan keadilan melainkan adanya kekhawatiran akan munculnya vigilantisme di tengah masyarakat. Yaitu gerakan main hakim sendiri yang dilakukan oleh individu ataupun kelompok, akibat ketidakpuasan penegakan hukum yang dianggap diskriminatif terhadap rakyat kecil.

Inilah realita hukum dalam sistem kapitalis, keadilan menjadi hal yang sulit terwujud, yang benar bisa dianggap salah dan yang salah bisa seketika menjadi benar. Hukum sering disesuaikan dengan kepentingan dan jauh dari nilai keadilan, bahkan cenderung tumpul ke atas dan tajam ke bawah.

Inilah cacat hukum sanksi dalam sistem sekuler demokrasi. Alih-alih menimbulkan efek jera justru menimbulkan kegaduhan lainnya. Jangankan menjadi solusi, yang ada malah semakin memperumit situasi. Tidak ada yang bisa diharapkan dari sistem rusak kapitalis, keberadaannya hanya mengantarkan pada kesesatan dan kehancuran, bukan menuntaskan permasalahan.

Adapun syariat Islam, memiliki sudut pandang tersendiri terkait masalah pembegal. Sanksi yang ditetapkan kepada mereka disesuaikan dengan dosa yang dilanggarnya. Yaitu terbatas pada tiga perkara: pembunuhan, merampas harta benda dan melakukan teror di jalanan. Hal ini dijelaskan dalam kitab Nizhamul Uqubat dan Ahkamul Bayyinat karya Abdurrahman al Maliki dan Ahmad ad-Da’ur.

Jika terjadi pembunuhan maka sanksi yang dikenakan adalah hukum bunuh saja (Qishas). Jika membunuh disertai merampas maka mereka dikenai hukum dibunuh dan disalib. Adapun jika hanya merampas harta saja, mereka akan dikenai hukum potong tangan kanan dan kaki kirinya secara bersilangan. Dan apabila yang dilakukan sebatas teror di jalan raya, maka mereka dikenai sanksi pengusiran ke negeri yang jauh.

Namun akan lain ketentuannya jika para pembegal bertaubat sebelum tertangkap oleh negara, sanksi yang berlaku bagi pelaku begal akan gugur padanya. Jika perbuatannya dimaafkan oleh korban maka sanksi hukum akan gugur. Hal ini berdasarkan firman Allah Swt. dalam QS.al Maidah ayat 34 yang artinya:
“Kecuali orang-orang yang bertaubat (diantara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka. Maka ketahuilah, bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Demikianlah sistem Islam, keadilan yang ditegakkan bisa membawa pada perubahan yang revolusioner, serta mampu menjadi pencegah (zawajir) dan penebus dosa di akhirat kelak (jawabir). Melalui pelaksanaan persanksian dalam Islam, berbagai jenis kemaksiatan akan mampu dicegah dan diminimalisir.

Berbagai ketentuan tersebut akan terlaksana sempurna bersamaan dengan penerapan sistem ekonomi, sosial dan yang lainnya. Semua berada di bawah naungan sistem pemerintahan Islam. Syariat akan diterapkan secara menyeluruh dan menjadi solusi bagi setiap permasalahan manusia. Kehadirannya menjadi janji Allah yang pasti dan tidak bisa ditawar lagi.

Wallahu a’lam Bishawwab