Oleh Ummu Kholda
Komunitas Rindu Surga, Pegiat Literasi
Money loundering atau Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) adalah istilah yang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Bahkan belum lama ini berita terkait money loundering begitu santer berseliweran di media, baik elektronik maupun media lainnya. Sebut saja kasus tertangkapnya salah seorang mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak Rafael Alun Trisambodo.
Kasus Rafael ini berbuntut pada terseretnya salah seorang artis yang berinisial ‘R’. Ia diduga terlibat dalam kasus yang menjerat mantan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) atas tindak pidana pencucian uang. Untuk hal ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih mendalami kasusnya. Namun, pihak Rafael justru mengaku tidak tahu dan tak mengenal artis berinisial ‘R’ yang kabarnya termasuk orang kaya baru, dan berdomisili di Jakarta. (Liputan6.com, 1 April 2023)
Menurut Indonesian Audit Watch (IAW) selain artis berinisial ‘R’ ada 25 artis lainnya yang diduga turut terlibat, termasuk pula 3 band besar. Namun pihaknya tidak mau terburu-buru untuk mengatakan secara gamblang siapa saja artis tersebut. (Hot.detik.com, 2/4/2023)
Istilah money loundering semakin ramai dibicarakan lagi setelah Ketua Komite Nasional Koordinator Pencegahan dan Pemberantasan TPPU (KNK-PP-TPPU) Mahfud MD, membahas adanya dugaan TPPU yang melibatkan 491 ASN dan 25 artis pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III DPR, Rabu, 29 Februari lalu. Mahfud juga menjelaskan bahwa jumlah total transaksi mencapai 349 triliun.
Sejatinya, kejahatan pencucian uang bukanlah kejahatan tunggal, melainkan kejahatan ganda. Artinya ada dua kelompok yang terlibat dalam kasus TPPU ini. Ada kelompok yang berkaitan langsung dalam kejahatan dan ada pula kelompok yang tidak berkaitan langsung dengan kejahatan. Seperti penyedia jasa keuangan. Baik lembaga perbankan maupun non-perbankan. Oleh karenanya, tindak pencucian uang termasuk kejahatan yang terorganisir dan sangat berbahaya. Karena hal itu dapat merongrong keuangan rakyat sebagai akibat dari besarnya jumlah uang yang masuk dalam kejahatan tersebut.
Selain itu, dampak yang ditimbulkan dari pencucian uang adalah praktik korupsi yang akan semakin marak karena banyaknya uang haram yang beredar. Karena itu, patut dipertanyakan terkait keseriusan negara dalam menyelesaikan masalah TPPU. Mengingat dugaan TPPU sudah ada sejak tahun 2003. Namun masalahnya tidak juga dapat diselesaikan. Yang ada tindak kejahatan semakin bervariasi, bahkan negara seolah kalah melawan para koruptor yang semakin canggih dalam melakukan pencucian uang.
Inilah gambaran negara yang menerapkan sistem Kapitalisme sekuler. Sistem Kapitalisme yang mendewakan materi atau dalam hal ini uang, membuat para penganut paham ini akan berusaha meraih kebahagiaannya dengan memperoleh uang sebanyak-banyaknya. Meskipun dengan cara yang licik dan merugikan orang lain, terutama rakyat.
Ditambah lagi sekularisme (paham memisahkan agama dari kehidupan) yang menjadi asas dalam perbuatan manusia, semakin menjauhkan umat dari aturan agama. Manusia akan berbuat semaunya, tanpa memedulikan halal haram bahkan dosa. Sanksi yang ada juga tidak memberi efek jera bagi pelaku kejahatan. Mereka tidak takut dipenjara karena hukum saat ini begitu lemah, bahkan bisa dibeli. Sehingga peluang untuk lepas dari jeratan hukum begitu terbuka. Mereka lebih takut miskin dan kehilangan apa yang menjadi kebahagiaannya.
Selain itu, dalam negara sekuler, pengawasan negara lemah terhadap sesama manusia. Sebab orientasinya hanya pada materi yang membuat penguasa tak segan-segan untuk memanfaatkan dan mempertahankan jabatannya, demi eksistensi dirinya, kelompok maupun partai politiknya. Alhasil, kerjasama dalam hal kejahatan pun kerap terjadi. Jika sudah demikian, sungguh tidak ada yang bisa diharapkan dari negara yang mengemban ideologi sekuler.
Sangat berbeda dengan sistem Islam yang menjadikan akidah sebagai landasan perbuatan seseorang. Keyakinannya terhadap Allah Swt. sebagai Sang Pencipta, membuat manusia tunduk dan patuh akan perintah-Nya termasuk para pejabat. Mereka sangat menjaga dirinya dan juga harta milik umat. Ia sangat memahami konsekuensinya ketika melanggar apalagi menyalahgunakan jabatan untuk bersikap rakus terhadap harta umat. Sebagaimana firman Allah Swt. di dalam surat Al-Baqarah ayat 188 yang artinya:
“Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.”
Dalam Islam, orientasi yang ingin dicapai hanyalah ridha Allah Swt.. Sehingga tidak akan terpikir bagi rakyat maupun pejabat negara untuk menumpuk harta apalagi dengan cara yang batil.
Di samping itu, hadirnya sistem sanksi dalam Islam pun sangat menjerakan. Hukuman untuk para koruptor termasuk takzir, yang bentuk dan kadarnya ditentukan oleh khalifah. Hukuman tersebut dapat berupa penjara, bahkan hukuman mati jika terbukti menyebabkan dharar (bahaya). Dengan hukuman seperti ini maka dapat menghentikan manusia dari tindak kejahatan korupsi.
Sungguh, sejatinya money loundering adalah persoalan sistemik yang hanya dapat diselesaikan dengan perubahan sistem. Tidak cukup hanya para penguasanya yang diubah, akan tetapi sistemnya juga harus diubah. Karena pejabat yang taat kepada aturan Allah dan bersih dari tindak kejahatan mustahil lahir dari sistem Kapitalis sekuler saat ini. Namun hanya akan lahir dari sistem yang shahih (benar) yang datang dari Allah Ta’ala, yaitu sistem Islam yang paripurna sebagai solusi permasalahan umat. Wallahu a’lam bi ash-shawwab.
More Stories
Dampak Pemidanaan Guru oleh Ortu Siswa Terhadap Keberlangsungan Pendidikan Masa Depan
Sumber Daya Alam Melimpah, Mengapa Rakyat Susah?
KURSUS ALKITAB GRATIS YANG MENGUBAH KEHIDUPAN