Oleh: Irma Faryanti
Ibu Rumah Tangga & Member Akademi Menulis Kreatif
Kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) yang beberapa waktu sempat jadi bahan perbincangan, kini bukan sebatas wacana. Presiden Joko Widodo beserta komisi VII DPR telah menyetujui penentuan harga baru listrik untuk pelanggan golongan mampu 3000 Volt Ampere (VA).
Dalam sebuah rapat bersama Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa presiden telah menyetujui keputusan tersebut sebagai upaya untuk berbagi beban atas kesulitan yang selama ini dialami pemerintah. (Jpnn.com Minggu 22 Mei 2022)
Senada dengan Menkeu, Sugeng Suparwoto selaku Ketua Komisi VII DPR mendukung langkah yang diambil pemerintah tersebut. Menurutnya, keputusan tersebut merupakan aspek keadilan bagi masyarakat, negara khususnya juga bagi PT PLN. Namun ia berharap hal ini tidak diberlakukan pada golongan miskin berdaya 450, 900 dan 1200 VA yang dianggapnya masih sangat rentan. Adapun mengenai kapan ketetapan ini diberlakukan, Sugeng menyarankan tiga bulan setelah hari raya yaitu Agustus.
Piter Abdullah selaku ekonom juga Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) berpendapat bahwa keputusan tersebut berpeluang menimbulkan inflasi. Akhirnya, yang akan menerima dampak tidak langsung dari kenaikan tarif tersebut adalah masyarakat miskin juga.
Kebijakan menaikan harga listrik bukan pertama kali, bahkan seolah telah menjadi tabiat yang sulit dihilangkan. Selalu saja ada perbedaan antara pihak yang layak menerima subsidi dan yang tidak berhak. Padahal sejatinya tarif listrik pasti membebani masyarakat, baik bersubsidi ataupun tidak. Terlebih jika harga naik, dipastikan akan berpengaruh pula pada beban hidup rakyat. Karena jika hal ini diberlakukan walaupun sebagian, maka biaya produksi barang yang biasa dikonsumsi masyarakat pun akan ikut melonjak. Akhirnya semua masyarakat terkena akibatnya.
Inilah konsekuensi hidup dalam naungan kapitalis, tidak ada yang gratis dalam sistem ini. Pengayoman penguasa terhadap rakyatnya diartikan tak ubahnya seperti penjual dan pembeli. Untuk bisa menikmati listrik saja masyarakat harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Dengan kata lain, tidak akan ada layanan jika tidak sanggup membayar. Dianggap sebagai aspek keadilan, nyatanya tidak memperhitungkan dan mempertimbangkan dampak.
Demikianlah Kapitalisme, standar materi yang menjadi tolok ukur segala sesuatu telah menyamarkan makna hak dan kewajiban. Pelayanan listrik yang seharusnya menjadi hak rakyat yang wajib ditunaikan pemerintah, tidak akan bisa didapatkan masyarakat tanpa adanya kompensasi. Sebagai hak rakyat, listrik seharusnya bisa dinikmati dengan mudah dan murah, tapi watak penguasa kapitalis memupus itu semua. Karena faktanya mereka masih main hitung-hitungan untung dan rugi, tanpa mengutamakan prioritas masyarakat.
Padahal negeri ini dikenal dengan kekayaan batubara yang cadangannya saat ini mencapai 38,84 miliar ton, dengan rata-rata produksinya 600 juta ton per tahun dan umur cadangannya masih sekitar 65 tahun. Dengan berlimpahnya bahan baku tersebut, seharusnya mampu mencukupi kebutuhan listrik rakyat. Namun di bawah pengelolaan ala kapitalisme, rakyat harus membayar mahal.
Konsep liberalisasi energi yang digerakkan sistem kapitalisme terbukti telah menghilangkan fungsi negara sebagai pemegang tanggung jawab. Negara telah memberikan pengelolaan kekayaan milik rakyat kepada pihak swasta yang jelas hanya mementingkan keuntungan bisnis mereka.
Kesempurnaan pengayoman sejatinya hanya bisa didapatkan dalam naungan kepemimpinan Islam. Sistem ini memiliki aturan yang mampu menyolusikan seluruh permasalahan manusia, termasuk masalah pengelolaan energi yang bisa dinikmati oleh seluruh umat. Di dalam Islam, kekayaan alam yang berlimpah merupakan milik umum yang tidak boleh diserahkan kepada swasta. Sebagaimana sabda Rasulullah dalam HR. Ahmad dan Abu Dawud:
“Kaum Muslimin berserikat dalam tiga perkara: padang rumput, air dan api.”
Listrik terkategori jenis api yang disebutkan dalam hadis, sementara batubara yang menjadi bahan bakar pembangkitnya merupakan barang tambang yang jumlahnya besar yang tidak boleh diserahkan pengelolaannya kepada individu, swasta ataupun asing. Karena negara lah yang berkewajiban dalam pengurusannya, untuk kemudian dikembalikan manfaatnya kepada rakyat.
Adapun untuk terpenuhinya pasokan listrik bagi masyarakat, pemerintahan Islam akan menempuh beberapa kebijakan, diantaranya: Pertama, membangun sarana dan fasilitas pembangkit yang memadai. Kedua, melakukan eksplorasi bahan bakar secara mandiri. Ketiga, mendistribusikan pasokan listrik dengan harga yang murah. Keempat, mengambil keuntungan pengelolaan sumber energi listrik untuk memenuhi kebutuhan rakyat lainnya seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan.
Seluruh biaya pembangunan pembangkit hingga distribusi aliran listrik diambil dari Baitul mal pos kepemilikan umum. Contoh terpenuhinya pasokan listrik di masa keemasan Islam bisa kita jumpai pada masa pemerintahan Bani Umayah, di mana Cordoba yang menjadi ibukota Andalusia di malam harinya diterangi cahaya lampu-lampu yang menerangi sepanjang 10 mil tanpa terputus. Bahkan ada masjid yang diterangi oleh 4.700 buah lampu dan setiap tahunnya menghabiskan 24.000 liter minyak.
Demikianlah, ketika pengelolaan listrik dilakukan berdasarkan syariat Islam, maka kebutuhan rakyat pun akan terpenuhi dengan biaya yang murah bahkan gratis. Untuk itu, sudah saatnya menanggalkan sistem kapitalisme yang menyengsarakan dan beralih pada Islam sebagai sistem hidup yang akan membawa keberkahan bagi alam semesta.
Wallahu a’lam Bishawwab
More Stories
Dampak Pemidanaan Guru oleh Ortu Siswa Terhadap Keberlangsungan Pendidikan Masa Depan
Sumber Daya Alam Melimpah, Mengapa Rakyat Susah?
KURSUS ALKITAB GRATIS YANG MENGUBAH KEHIDUPAN