22/11/2024

Jadikan yang Terdepan

Murtadin Lantang Menggugat Penghapusan Ayat Suci

Oleh: Ummi Nissa

Penulis dan Member Komunitas Muslimah Rindu Surga

Pernyataan seorang pendeta yang bernama Saifuddin Ibrahim viral di dunia maya. Pasalnya  ia berani meminta Menteri Agama untuk menghapus 300 ayat Al-Qur’an. Pria yang sebelumnya pernah memeluk agama Islam ini, menuduh ayat-ayat tersebut sebagai pemicu adanya intoleransi dalam kehidupan antar umat beragama. Pernyataannya ini diunggah melalui video di kanal youtube pribadinya pada Sabtu, 5 Maret 2022. Sontak saja hal tersebut menuai kontroversi di tengah-tengah masyarakat termasuk pejabat.

Berawal dari Murtad sampai Penistaan

Menanggapi unggahan video tersebut Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD, meminta Polri untuk segera menyelidikinya. Sebab hal tersebut menimbulkan kegaduhan dan memicu perpecahan umat beragama. Bahkan menurutnya, pernyataan Saifuddin Ibrahim terkait permintaannya menghapus ayat al-Qur’an termasuk penistaan agama. Hal tersebut merupakan tindak pidana dengan ancaman hukuman penjara lebih dari 5 tahun. (Liputan6.com, 17/3/2022)

Sesungguhnya Pendeta Saifuddin Ibrahim yang kini bernama Abraham Ben Moses awalnya seorang muslim. Pada tahun 2006 dirinya berpindah keyakinan dari Islam menjadi kristen (murtad). Setelah itu ia beberapa kali mengunggah pernyataan-pernyataan yang kontroversi. Dihimpun dari Warta Ekonomi (jaringan Suara.com), Pendeta Saifuddin Ibrahim pernah tersandung kasus penistaan agama karena menghina Nabi Muhammad saw. Ia pun divonis empat tahun penjara pada Mei 2018.

Meskipun ia pernah hidup di balik jeruji karena berani menghina Nabi Muhammad saw., namun ia tidak jera dengan apa yang dilakukannya. Bahkan dengan lantang dirinya menggugat ayat suci. Pertanyaannya kenapa ia begitu berani menyatakan hal-hal yang mengandung unsur menistakan agama?

Demokrasi Sekuler Menyebabkan Pelaku Penista Agama Tidak Jera

Saat ini kita sering menyaksikan mudahnya seseorang berpindah keyakinan dari Islam menjadi nonmuslim (murtad). Hal ini disebabkan sistem kehidupan yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat kita berdasarkan pandangan Demokrasi Sekuler. Dalam sistem ini agama dipisahkan dari kehidupan. Sehingga keyakinan beragama sifatnya menjadi urusan pribadi atau individu.

Lebih jauhnya bahwa dalam sistem kehidupan Demokrasi Sekuler menjamin kebebasan setiap individu, baik dalam masalah agama, berpendapat, bertingkah laku, dan berekonomi. Dalam kebebasan beragama setiap individu berhak memeluk agama apapun yang ia yakini. Bahkan berpindah-pindah keyakinan pun tidak ada jeratan hukum bagi pelakunya. Karena dianggap urusan pribadi, dimana negara tidak dapat ikut campur.

Jika seseorang berpindah keyakinan dari agama Islam ke agama yang lain (murtad) tidak mendapatkan sanksi apapun, maka wajar jika banyak orang mudah berganti keyakinan. Padahal kondisi ini justru membahayakan, ibarat virus yang dapat menularkan penyakit kepada siapapun. Pendeta Saifuddin Ibrahim menjadi bukti kebahayaan dari orang yang murtad. Ia menebarkan virusnya berupa pernyataan-pernyataan provokatif yang dapat memancing kemarahan umat.

Selain itu jeratan hukum  terhadap kasus penistaan agama dengan sanksi yang tidak tegas menjadikan perkara serupa terus terulang. Bahkan para pelaku penistaan agama tidak mendapatkan efek jera. Salah satunya murtadin Saifuddin Ibrahim awalnya ia berani menghina nabi Muhamad saw., setelah keluar dari penjara malah lebih lancang meminta Menag menghapus ratusan ayat suci.

Dengan demikian dibutuhkan sebuah sistem kehidupan yang sistemik yang dapat menjamin hak beragama namun terjaga keyakinannya sehingga tidak mudah untuk berpindah-pindah. Selain itu adanya supremasi hukum dengan sanksi yang tegas bagi siapa saja yang melakukan penistaan terhadap agama.

Islam Solusi yang Menjamin Kasus Penistaan Agama Tidak Terulang

Sebagai agama yang sempurna Islam memiliki seperangkat aturan yang komprehensif sehingga mampu menjadi solusi terhadap semua persoalan hidup manusia. Termasuk menjaga kaum muslimin agar keyakinan (akidah) mereka tidak goyah apalagi murtad. Sebab akidah merupakan bagian terpenting dalam diri seorang muslim. Ia laksana akar dalam sebuah pohon yang menguatkan dahan dan ranting yang tumbuh di atasnya sehingga menghasilkan buah.

Selain itu dalam Islam tidak boleh memaksakan agama kepada orang lain, artinya setiap orang diberikan hak untuk memilih agamanya sesuai keyakinan. Namun demikian bagi seseorang yang telah memilih sebagai muslim maka dilarang untuk keluar dari keyakinannya. Sebagaimana firman Allah Swt.: “… Mereka tidak henti-hentinya memerangi kalian sampai mereka (dapat) mengembalikan kalian dari agama kalian (kepada kekafiran), seadainya mereka sanggup. Siapa saja yang murtad di antara kalian dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat. Dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 217)

Berdasarkan nash yang ada, salah seorang imam Madzhab yang terkenal yaitu imam Syafi’i, menjabarkan hukuman bagi pelaku riddah (murtad) dalam kitab Al-Umm. Beliau mengatakan bahwa seseorang yang berpindah dari keimanan menuju kesyirikan (kekafiran), maka jika dia adalah orang dewasa baik laki-laki maupun perempuan diminta taubat agar kembali kepada keimanan. Apabila ia melakukannya maka taubatnya itu diterima. Namun bila tidak melakukan hal demikian, maka ia harus dihukum mati.

Begitu pula sanksi tegas wajib diterapkan bagi pelaku yang berani melakukan tindak penistaan terhadap agama. Sebab fungsi hukuman dalam Islam selain untuk menggugurkan dosa pelaku di akhirat, juga untuk memberi efek jera baik kepada pelaku maupun pihak lain, sehingga mencegah kasus serupa berulang.

Maka untuk menjaga agar keimanan seseorang tetap kokoh serta mencegah terjadinya kemaksiatan, Islam mendorong individu untuk senantiasa bertakwa kepada Allah Swt. dalam keadaan apapun. Selain itu diperlukan pula adanya kontrol dari masyarakat dalam bentuk aktivitas amar makruf nahi mungkar. Sehingga tercipta suasana ruhiyah (kesadalan terhadap Allah) dalam setiap aspek kehidupan. Kemudian penerapan supremasi hukum oleh negara bagi pelaku maksiat pun wajib ditegakkan.

Dengan demikian semua komponen dalam masyarakat semuanya berupaya agar akidah Islam tetap terjaga, tidak mudah berpindah keyakinan. Selain itu upaya tersebut dapat mencegah kemaksiatan merajalela. Semua ini akan tercipta hanya dengan menerapkan aturan Islam secara sempurna dalam semua aspek kehidupan tanpa kecuali.

Wallahu a’lam bi ash shawab.