24/11/2024

Jadikan yang Terdepan

Solusi Islam Berantas Rasuah

Oleh Uqie Nai

Member AMK4

Sepanjang tahun 2021 kasus-kasus pelanggaran hukum kerap menjadi trending topik pemberitaan di jagad pertelevisian ataupun media sosial. Salah satunya adalah tindak penggelapan dana masyarakat dan penyelewengan kekuasaan (korupsi)  yang dilakukan beberapa pejabat publik yang bernaung dalam institusi pemerintah, belum termasuk ratusan kepala daerah yang juga turut serta menjadi tersangka korupsi.

Bagi para koruptor, Indonesia seolah surga meraup kemewahan dan ketenaran dengan cara instan dan jalan curang, hingga menginisiasi  sebuah organisasi internasional melakukan survei di beberapa negara Asia. Hasil survei lembaga Transparency Internastional yang digelar sejak Juni hingga September 2020 dengan 20 ribu responden di 17 negara Asia, menyatakan bahwa Indonesia menempati peringkat ketiga sebagai negara terkorup di Asia. (rmol.id, Senin, 30/11/2020)

Sehingga tak heran jika tahun 2021 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku telah menangani 101 perkara korupsi dengan menjerat sebanyak 116 tersangka. Penanganan ini menurut Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yaitu  91 perkara dengan total pelaku 110 orang. (Liputan6.com, 20/12/2021)

Koruptor Menggurita, Sistem Batil Sumber Pidana

Tertangkapnya pelaku korupsi oleh KPK hingga 116 orang, bukanlah sebuah keberhasilan yang patut diacungi jempol. Terlebih lagi jika Indonesia menyandang peringkat ketiga Asia kasus korupsi tertinggi. Adalah hal yang memalukan yang semestinya menjadikan Indonesia bisa introspeksi atas kinerja para pejabat dan bagaimana kontrol negara terhadap mereka agar korupsi tidak lagi menjadi budaya dari hulu hingga hilir.

Tindakan memperkaya diri dengan menyelewengkan wewenang, jabatan, serta kekuasaan  tak serta muncul begitu saja tanpa faktor-faktor yang mempengaruhinya, baik dari internal ataupun eksternal.

Dari faktor internal, seseorang yang memiliki sikap tamak, konsumtif, haus kekuasaan, dan cara pandang atas kebahagiaan diukur materi bukan agama, bisa dengan mudah melakukan tindak korupsi, dengan ataupun tidak adanya peluang. Sementara faktor eksternal datang dari sistem yang menaunginya. Jika sistemnya benar, seseorang dengan bawaan negatif bisa diluruskan dengan pemahaman dan sanksi tegas.

Namun sebaliknya, bila sistemnya salah, faktor internal seseorang yang negatif akan muncul tak terkendali karena merasa diberi ruang. Ditambah lagi sikap masyarakat yang seolah tidak merasa dirugikan, padahal terpampang nyata hak mendapat fasilitas umum misalnya, harus terganti dengan jalanan rusak, pelayanan minimal, dan dana bantuan yang tidak utuh, karena disunat sana sini dengan alasan administrasi. Alhasil, praktik korupsi terus berkembang dan sulit terelakkan.

Sistem yang disebutkan terakhir adalah sistem yang ada saat ini, bukan hanya Indonesia tapi juga seluruh negara di dunia mengadopsinya, termasuk tindak korupsi yang mewarnainya. Sistem ini memiliki akidah menjauhkan agama dari tatanan kehidupan, baik bermasyarakat atau bernegara. Begitu pula dalam sistem ekonominya, menghalalkan segala cara. Siapapun bisa melakukan sekehendak hatinya tanpa pertimbangan halal dan haram, tanpa mempedulikan nasib  orang lain selain dirinya. Inilah sistem kapitalisme sekuler yang menjadi sumber koruptor terus menggurita. Kejahatannya menimbulkan kerugian di level negara serta kesengsaraan di level masyarakat secara luas.

Syariat Islam Diterapkan, Praktik Korupsi Tak Punya Tempat

Islam memiliki aturan berupa perintah dan larangan yang bertujuan terpenuhinya hak-hak yang berkaitan dengan Allah, dengan diri  individu itu sendiri, atau antar sesama manusia. Islam juga memiliki mekanisme kepemilikan harta dengan cara bekerja, mewarisi, hadiah, hibah, dan lain sebagainya yang dibolehkan syariat. Sementara cara-cara kepemilikan dengan cara menipu, curang, mencuri, korupsi terdapat kosekuensi hukum yang menjerat pelakunya.

Berkaitan dengan hal tersebut, Allah Swt. telah menegaskan dalam firman-Nya: “Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain di antara kalian dengan jalan yang batil, dan janganlah kalian membawa (urusan) hartamu itu kepada hakim, supaya kalian dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain dengan dosa, padahal kalian mengetahui.” (TQS. Al-Baqarah: 188)

Pencegahan korupsi dalam sistem pemerintahan Islam dimulai sejak pemilihan pejabat. Kriteria pertama, negara memastikan para calon pejabat memiliki ketakwaan. Kriteria ini akan menjadi benteng penghalang individu calon pejabat melakukan korupsi. Rasulullah saw. pernah memperingatkan Muadz bin Jabal saat beliau mengutusnya menjadi Amil di Yaman, “Janganlah engkau mengambil sesuatu tanpa seizinku karena hal itu adalah ghulul (khianat).”

Kriteria kedua adalah mengecek dan menghitung kekayaan pejabat sebelum dan sesudah menjabat. Jika diakhir jabatannya terbukti hartanya (selain gaji) bertambah, maka negara akan mrngambilnya dan memasukkan dalam baitul maal.  Adapun hukuman atasnya adalah ta’zir, bergantung pada kewenangan qadhi (hakim) atas berat dan ringannya kerugian yang ditimbulkan akibat korupsi yang dilakukan. Mulai dari pewartaan (diekspos/tasyhir), denda, penjara, hingga hukuman mati.

Langkah-langkah pencegahan ini adalah solusi hakiki yang bisa menyingkirkan praktik korupsi berkembang. Individu, masyarakat, dan negara memiliki cara pandang atas kebahagiaan adalah rida Allah Swt.

Rasulullah saw. telah bersabda: “Barangsiaoa berpisah ruh dari jasadnya dalam keadaan terbebas dari tiga perkara, maka ia (dijamin) masuk surga. Yakni, kesombongan, ghulul (khianat), dan utang.”  (HR. Ibnu Majah)

Sementara pemahaman terkait jabatan dan kekuasaan adalah amanah yang nanti akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat, bukan ajang meraup harta dan kenyamanan dunia. Fakta ini tentu saja lahir dari ketakwaan yang tercermin dari keimanan yang berpayung sistem nan sahih, sekaligus menjadi keniscayaan bahwa sistem ini satu-satunya yang bisa mengatasi permasalahan korupsi.

Wallahu a’lam bi ash Shawwab.