25/04/2024

Jadikan yang Terdepan

Akibat Utang yang Melilit, Bulog Terancam Pailit

Oleh: Irma Faryanti
Ibu Rumah Tangga & Member Akademi Menulis Kreatif

Bulog merugi, itulah prediksi yang akan terjadi jika utang yang dimiliki tidak segera ditunaikan. Hal ini diungkapkan oleh Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso (Buwas). Adapun nominal utang itu sendiri telah mencapai Rp. 13 triliun yang digunakan untuk pembiayaan penyediaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang berjumlah 1 juta ton. (Kumparan.com 29 Desember 2021)

Lebih lanjut Buwas menyatakan bahwa utang tersebut kian hari kian menggunung karena pemerintah sendiri masih memiliki tunggakan kepada Bulog sebesar Rp. 4,5 triliun yang digunakan untuk penyediaan bantuan beras PPKM dan bansos rastra. Hingga kini pembayarannya masih terkendala oleh adanya Peraturan Kementerian Sosial. Ada poin aturan yang harus diubah terlebih dahulu, walaupun pihak Kemenkeu sudah bersiap untuk membayar. Itu sebab, pihak Bulog berharap akan ada perubahan dari sisi mekanisme dan regulasi agar pembayaran bisa segera ditunaikan.

Sebagai lembaga yang berfungsi untuk menstabilkan harga pangan dan penyimpan cadangan beras pemerintah, nyatanya Bulog belum mampu menjalankan perannya dengan maksimal. Alih-alih hadir untuk membantu mencukupi kebutuhan masyarakat miskin, justru lembaga ini muncul dengan masalah utang yang tidak sedikit jumlahnya dengan bunga yang kian membengkak. Kinerjanya yang buruk membuat pencapaian ketahanan pangan seolah panggang jauh dari api, karena kehadirannya secara riil tidak dirasakan oleh rakyat. Khususnya pada saat produksi panen melimpah sementara harga anjlok, Bulog tidak menjalankan perannya sebagai stabilisator dalam menyerap hasil panen. Justru yang dilakukan hanyalah menurunkan harga sesaat. Fungsinya sebagai penyimpan CBP tidak murni hadir demi kepentingan rakyat melainkan telah bercampur dengan tujuan bisnis.

Posisi Indonesia sebagai anggota dari Agreement of Agriculture (AoA) yang dibentuk oleh WTO sejak tahun 1995 membuat sektor pertanian semakin liberal. Negeri ini dipaksa untuk membuka seluruh pasar pertanian bagi dunia internasional dengan memberi izin masuk bagi transnational corporation (TNCs) yang berdampak pada munculnya persaingan bebas antara petani dengan para korporasi. Hal ini berimbas juga pada dicabutnya kewenangan Bulog dalam mengatur dan menjaga kestabilan harga pangan ataupun menentukan provisi subsidi. Lembaga ini justru disibukkan dengan kompetisi dengan berbagai korporasi asing. Maka tidak heran jika mayoritas stok bahan pangan secara mayoritas dikuasai oleh lembaga swasta, sisanya yang hanya 6-8% dikuasai oleh Bulog.

Inilah konsep dari Good Governance atau Reinventing Government (ReGom) yang merupakan turunan dari pandangan Neoliberal Kapitalis. Keberadaannya telah berhasil menghilangkan peran pemerintah dalam mengurusi urusan rakyatnya yang mana telah beralih peran menjadi regulator dan fasilitator dalam memberi kemudahan bagi asing untuk bisa berinvestasi dan terus melakukan hegemoni.

Indonesia digiring menjadi negara yang menjalankan pemerintahan seperti menjalankan bisnis. Negeri ini dipaksa menjadi pelaku pasar yang diarahkan tak ubahnya seperti pengusaha yang memutar modal yang ada berupa aset, menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan rakyat demi meraup keuntungan. Inilah gambaran asli Bulog dalam sebuah sistem kapitalis liberal yang orientasinya sudah mengarah pada profit namun minim akan pelayanan publik.

Tidak mustahil jika suatu saat nanti peran Bulog akan ditiadakan dan pengelolaan kebutuhan pangan diserahkan 100% kepada korporasi swasta dan asing. Selama negeri ini masih bercokol pada Neoliberal yang diarahkan Kapitalis, keberadaan lembaga pangan tidak akan ada artinya.

Untuk itulah dibutuhkan adanya sebuah konsep pengelolaan yang mampu mewujudkan ketahanan pangan. Dalam hal ini, hanya Islam lah yang bisa diandalkan karena politik pangan Islam sangat jauh berbeda dengan Kapitalis. Sistem Islam akan memandangnya sebagai pengurusan kebutuhan pangan seluruh rakyat baik dalam mencukupi konsumsi harian ataupun menjaga ketersediaannya dalam situasi bencana maupun paceklik. Bukan untuk pertumbuhan ekonomi apalagi mengejar surplus dalam sebuah neraca perdagangan.

Dalam sebuah sistem Islam, badan urusan logistik berperan sebagai pelaksana teknis dalam mewujudkan kedaulatan dan ketahanan pangan rakyat, sebagai penyimpan cadangan makanan untuk kebutuhan pada saat terjadinya bencana ataupun peperangan (jihad). Lembaga ini harus dijalankan dengan landasan yang shahih yaitu akidah Islam dan dijauhkan dari hal-hal berbau komersial. Karena Bulog adalah perpanjangan tangan pemerintah yang berfungsi sebagai raa’in (pelayan) dan junnah (pelindung). Sebagaimana sabda Rasulullah saw. dalam HR Muslim dan Ahmad :
“Imam adalah raa’in (pengurus hajat hidup rakyat dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.”
Juga dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
“Pemimpin itu laksana. Perisai tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.”

Dalam sebuah sistem pemerintahan Islam, pengelolaan seluruh harta yang masuk ataupun yang keluar diserahkan pada Baitul mal. Pemasukannya bisa berasal dari harta milik umum, jizyah, fa’i, kharaj dan lain sebagainya. Kedaulatan pangan ini bersifat mutlak harus dipenuhi baik ada atau tidaknya kas negara. Islam memiliki sebuah konsep antisipasi berupa pajak (dharibah) yang dipungut dari orang-orang kaya. Jadi badan ketahanan pangan tersebut tidak akan sibuk menjadikan lahan pengurusannya sebagai ajang bisnis atau harus melibatkan diri dengan utang berbunga hanya demi untuk modal pembelian bahan pangan.

Karena di dalam Islam telah dengan gamblang ditetapkan kedudukan utang luar negeri yang berbasis riba adalah haram hukumnya. Selain itu, ketergantungan pada utang asing juga bisa menjerumuskannya pada penguasaan negara kafir atas negeri kaum muslim. Padahal di dalam QS an Nisa ayat 141 telah ditetapkan dengan gamblang bahwa Allah Swt. telah melarang memberikan peluang atau jalan apapun bagi orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.

Oleh karena itu, jelas sudah bahwa dengan pengelolaan yang benar sesuai tuntunan syariat Islam akan membawa pada terwujudnya ketahanan dan kedaulatan pangan dan kesejahteraan masyarakat pun akan tercapai. Maka menjadikan aturan Islam sebagai sistem hidup merupakan hal mutlak yang tidak bisa ditawar lagi. Hal ini hanya bisa terjadi dalam sebuah naungan kepemimpinan yang akan menerapkan syariat Islam secara kaffah.

Wallahu a’lam Bishawwab