22/11/2024

Jadikan yang Terdepan

Zina Mewabah, Produk Kapitalisme Membuat Resah

Oleh Ine Wulansari

Pendidik Generasi

Masyarakat dibuat kaget bukan kepalang, pasalnya beredar luas di jagat maya terkait kasus seorang mahasiswi melakukan tindakan bunuh diri. Diketahui bahwa yang menjadi penyebabnya yakni mahasiswi ini sudah melakukan tindak aborsi sebanyak dua kali. Hal ini tentu membuatnya berada di puncak depresi.

Seperti yang disampaikan Brigjen Pol Slamet Hadi Supraptoyo, bahwa mahasiswi Universitas  Barawijaya Malang ini bernama Novita Widyasari. Selama berpacaran, ia melakukan hubungan seks dan mengandung hingga dua kali. Kemudian atas desakan dari kekasihnya, ia pun  melakukan aborsi dan tak mendapat pertanggung jawaban dari sang kekasih. Akibatnya, dia nekat melakukan tindakan bunuh diri. Hal ini terungkap setelah kepolisian melakukan pemeriksaan kepada pelaku yang juga mantan kekasihnya. (Okezone.com, 5 Desember 2021)

Menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, mengenai kasus Novi yang menenggak  racun karena diduga ada pemaksaan untuk melakukan tindak aborsi dari sang kekasih. Menurutnya, hal ini masuk pada kategori kekerasan dalam berpacaran atau dating violence. Dimana kekerasan dalam berpacaran dapat menimbulkan penderitaan secara fisik dan seksual. (detiknews.com, 5 Desember 2021)

Sebenarnya istilah kekerasan dalam berpacaran atau dating violence, bukanlah hal yang baru. Istilah ini berawal dari pengusung feminis yang bertujuan untuk menyatakan bahwa kaum laki-laki tidak boleh mendominasi perempuan. Harus ada kesetaraan. Jadi, ketika berpacaran maka laki-laki tidak boleh membatasi pasangannya.

Di saat kasus ini terus bergulir di tengah masyarakat dan menjadi perbincangan, tak sedikit yang bersuara dan memberi dukungan moral pada korban. Di antaranya  para pegiat gender, yang seakan mendapat angin segar untuk menarasikannya sebagai bentuk kekerasan seksual pada perempuan. Pada akhirnya kesetaraan genderlah yang menjadi tuntutannya.

Pandangan mereka hanya terpusat pada tindakan pemaksaan aborsi oleh pelaku sebagai bentuk budaya patriarki yang menjadi penyebab kekerasan seksual. Tentu, solusi yang ditawarkan tak lain adalah gender equality dan memberikan kebebasan pada perempuan untuk menentukan yang boleh dan tidak boleh mereka lakukan terhadap perempuan. Menurut mereka, dimana  perempuan menjadi pihak yang tertuduh, mudah depresi, juga mendapat label buruk di mata masyarakat ketika berhubungan seks di luar nikah dan hamil. Perempuanlah yang menanggung beban, akibatnya dapat menimbulkan tindakan yang sebetulnya merugikan perempuan itu sendiri. Jadi, mereka terus menggencarkan pemahaman kepada masyarakat akan pentingnya gender equality. Dengan kata lain, agar perempuan yang berhubungan seks di luar nikah tidak dicap negatif. Pegiat gender mengatakan, posisinya hanya sebagai korban.

Secara kasat mata, pernyataan kaum feminis ini seakan benar. Melindungi dan mendukung kaum perempuan. Namun jika dicermati lebih mendalam,  itu merupakan suatu kebahayaan yang dapat menghancurkan generasi. Karena  pernyataan kaum feminis ini tak mempermasalahkan  laki-laki dan perempuan berhubungan seks di luar nikah, asalkan keduanya bertanggung jawab dan atas dasar suka sama suka. Astaghfirullah.

Begitu juga dengan tindak aborsi, bukan lagi dianggap sesuatu yang mengerikan jika dilakukan dengan kesadaran karena itu  merupakan hak seseorang. Masyarakat pun kian abai, ketika hubungan seks di luar nikah dilakukan dianggap hal biasa. Seolah-olah ini memang sudah zamannya. Nauzubillah.  Inilah perangkap kaum feminis yang mengusung kesetaraan gender, padahal di balik  itu mengandung pemikiran liberal yang merusak.

Jika ditelusuri lebih dalam, kasus ini mencuat seiring dengan momen dikeluarkannya Permendikbud No.30 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di Perguruan Tinggi yang telah disahkan. Juga para aktivis feminis tengah gencar-gencarnya menyuarakan RUU PKS. Hal ini tentu menimbulkan kecurigaan, bahwa ada unsur kesengajaan berita ini diangkat seiring mencuatnya Permen. Seolah Permendikbud ini menjadi satu-satunya solusi yang bisa menuntaskan kasus kekerasan seksual pada perempuan.

Berbicara kasus kematian seorang mahasiswi ini, tak hanya cukup sampai pada penangkapan mantan kekasihnya. Justru hal ini harus mendorong perbaikan tata pergaulan dan penghapusan berbagai pemikiran liberal. Bukan malah  menggencarkan ide kesetaraan gender, yang justru kian memperumit masalah yang terjadi pada perempuan. Tentu saja hal ini terjadi karena tata pergaulan bebas yang diusung, boleh berpacaran, boleh berzina, asalkan kesepakatan bersama dan tanpa ada unsur pemaksaan. Akibatnya, penderitaan pada perempuan kian bertambah.

Inilah produk yang dihasilkan kapitalisme sekuler liberal, ide kesetaraan gender yang mengusung kebebasan individu dan menjauhkan agama dalam kehidupan, tentu akan merusak dan menghancurkan generasi muda.  Agama hanya sebatas pajangan yang tak boleh mengatur sendi-sendi kehidupan. Walhasil, tak sedikit berita miris kita saksikan terjadi pada kaum perempuan. Tindak kekerasan, baik fisik maupun seksual terus berulang. Sebab solusi yang mereka tawarkan tak  mampu menyelesaikan problematika yang tengah dihadapi hingga tuntas.

Sangat berbeda dengan Islam yang memiliki seperangkat aturan sempurna dan paripurna. Pintu-pintu maksiat akan ditutup karena diatur oleh syariat Islam yang dapat memberi perlindungan secara maksimal. Menjauhkan masyarakat dari tindakan keji dan mungkar, dengan  memberlakukan sanksi tegas dan aturan yang bersifat preventif.

Begitu juga dengan pelecehan seksual, Islam memberi solusi tuntas dan menerapkan peraturan dalam tata pergaulan di masyarakat. Pertama, Islam memerintahkan lelaki dan perempuan untuk menutup aurat dan menjaga kemaluan. Perempuan dalam Islam, diwajibkan menutup auratnya sesuai syariat. Kedua, Islam melarang lelaki dan perempuan berdua-duaan atau berkhalwat. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.: “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah sekali-kali bersepi-sepi dengan seorang perempuan yang bukan mahram karena yang ketiganya adalah setan.” (HR. Ahmad)

Ketiga, Islam melarang perempuan berdandan berlebihan (tabarruj) yang merangsang naluri seks laki-laki. Sebagaimana firman Allah Swt.: “Janganlah mereka memukul-mukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (TQS. An-Nur: 31)

Sangat berbeda dengan logika kaum feminis yang membebaskan perempuan berpakaian sesuka hati. Mereka menyebutkan “tubuhku adalah milikku”. Padahal tubuh kita adalah amanah dari Allah yang harus dijaga sesuai aturan Islam, bukan aturan kapitalisme liberalisme.

Keempat, dalam mencegah kekerasan seksual negara wajib hadir untuk mengontrol secara ketat seluruh tayangan media. Baik media cetak, maupun elektronik. Sehingga, masyarakat mendapatkan tontonan yang layak dan jauh dari hal-hal bersifat negatif.

Selain menjaga tata pergaulan, Islam juga memberikan sanksi yang memberikan efek jera bagi para pelaku kejahatan. Sistem hukum Islam yang berasal dari wahyu, mampu menjabarkan perbuatan apa saja yang masuk dalam kategori kejahatan (jarimah). Sekaligus menetapkan berbagai jenis sanksinya. Untuk pelanggaran berupa zina, akan dikenakan sanksi rajam bagi pelaku yang sudah pernah menikah, cambuk dan diasingkan bagi pelaku yang masih lajang. Tujuan sanksi ini diberlakukan, untuk mencegah seseorang terjerumus ke dalam tindakan maksiat yang serupa.

Begitulah indahnya Islam dan seluruh aturannya, menjaga dan memberi perlindungan bagi seluruh manusia. Islam sesungguhnya memuliakan perempuan, bukan mengekang. Sehingga perempuan dalam Islam, mendapatkan tempat yang sesungguhnya sebagaimana fitrahnya, menjadi ibu yang mendidik generasi berprestasi dan menjadi pengemban risalah Islam. Sejatinya kemuliaan perempuan akan terwujud nyata, manakala sistem yang diterapkan adalah Islam dan syariat-Nya diberlakukan. Semua akan menjadi nyata ketika institusi Islam yang menerapkannya.

Wallahu a’alam bish shawab.