Oleh: Hj. Nida Saadah, S.E., M.E.I., Ak.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan bahwa perekonomian Indonesia di kuartal III-2020 kemungkinan besar masih negatif. Perekonomian di kuartal III ini diramal akan berada di kisaran -2% hingga 0%. Jika perekonomian di kuartal III negatif maka Indonesia akan resmi masuk jurang resesi. Sebab, perekonomian di kuartal II-2020 juga negatif 5,34%. “Kalau secara teknikal kuartal III ini kita di zona negatif maka resesi terjadi.” ujarnya di gedung DPR RI, Senin (7/9/2020).
Adapun bantuan atau stimulus yang diberikan pemerintah melalui program pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) akan tetap digenjot, dengan tujuan konsumsi hingga investasi bisa kembali tumbuh setidaknya ke arah netral.
Namun berbagai data tersebut semakin memberi konfirmasi bahwa konsumsi rumah tangga sedang bermasalah. Wabah virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) yang coba diredam dengan pembatasan sosial (social distancing) membuat aktivitas ekonomi seolah mati suri, baik di sisi produksi maupun permintaan.
Konsumsi rumah tangga adalah kontributor terbesar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) dari sisi pengeluaran dengan sumbangan lebih dari 50%. Jadi kalau konsumsi rumah tangga sangat lemah, susah berharap ekonomi bisa tumbuh, yang ada malah kontraksi seperti pada kuartal II-2020. Dalam pertumbuhan ekonomi negara, kontribusi dari konsumsi pun mencapai 58% dan investasi sekitar 30%.
Dampak lanjutan dari pandemi Covid-19 adalah gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Kondisi ini akan menghasilkan banyak pengangguran baru karena para perusahaan sudah kehilangan amunisi. Begitu juga dengan UMKM, mereka kehabisan modal karena permintaan menurun. Belum lagi, ada dampak dari realisasi stimulus fiskal yang masih minim di program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Prediksi korban PHK bisa mencapai 20 juta pekerja pada tahun ini. Jumlah ini utamanya akan disumbang para pekerja berkategori penduduk kelas bawah dan calon kelas menengah (aspiring middle income class). Pengangguran dan korban PHK utamanya akan muncul dari industri padat karya atau yang jumlah pekerjanya banyak. Misalnya garmen, tekstil, hingga manufaktur.
Dampak resesi ekonomi yang paling terasa oleh masyarakat adalah pelemahan daya beli. Hal ini akan melahirkan banyak penduduk miskin baru dan tingkat kemiskinan pun bertambah.
Namun, terlalu fokus pada upaya meningkatkan aktivitas ekonomi tanpa menyelesaikan pandeminya terlebih dahulu, membuat situasi makin tak terkendali. Wabah makin meluas, korban makin meningkat, bermunculan klaster baru penyebaran wabah. Situasi ini memukul faktor produksi utama dalam ekonomi, yakni manusia.
Apalagi Pemerintah Indonesia terkesan tidak memiliki strategi jitu dalam menggerakkan produksi. Yang menonjol adalah pemberian berbagai bantuan, yang artinya hanya fokus pada satu sisi, yakni peningkatan demand (permintaan) masyarakat. Tidak ada fokus strategi untuk peningkatan supply (penawaran) barang dan jasa. Bisa jadi karena tidak memiliki strategi yang jelas dalam penyelesaian wabah. Karena supply tidak mungkin ditingkatkan tanpa menyelesaikan pandeminya terlebih dahulu.
Menggenjot peningkatan demand dengan menggelontorkan berbagai bantuan, apalagi jika sumber perolehannya adalah berutang ribawi kepada negara luar atau lembaga keuangan internasional, akan berdampak buruk pada situasi ekonomi ke depan.
Tanpa pandemi pun, utang luar negeri berdampak pada jatuhnya sistem moneter negara pengutang dan kacaunya APBN negara. Apalagi dalam situasi pandemi yang supply dan demand tidak berjalan normal.
Situasi makin rumit karena alat ukur yang dipakai dalam mengetahui adanya masalah atau tidak dalam situasi ekonomi yang sulit adalah angka-angka dalam neraca pertumbuhan. Sesuatu yang sebetulnya bisa diketahui dengan cepat dengan melihat per individu manusia, siapa yang miskin, siapa yang menganggur, menjadi rumit dengan menunggu angka hasil perhitungan neraca pertumbuhan.
Neraca pertumbuhan ekonomi yang dihitung dengan berbagai komponen seperti tingkat ekspor, impor, tingkat konsumsi, tingkat pendapatan, ditengarai justru memberikan informasi untuk kepentingan negara/lembaga donatur pemberi utang. Bukan dalam rangka memantau tingkat kemakmuran dan kesejahteraan per individu rakyat. Neraca pertumbuhan ini bersandar pada utang-utang asing. Padahal, utang asing tidak diberikan kecuali disertai syarat pengawasan pada pengeluaran dan bagian-bagiannya.
Pandemi Covid-19 semestinya membukakan mata hati dan pikiran umat manusia; betapa tidak adil, egois, tamak, dan serakahnya peradaban kapitalisme sekuler hari ini. Seluruh sifat buruk itu berpadu dengan kelemahan konsep, gagasan, mekanisme dalam pembangunan ekonomi yang dijalankan semua negara hari ini.
Dunia membutuhkan syariat Islam, dan umat Islam adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam pelaksanaan hal itu. Membangun kembali peradaban Islam dalam institusi negara Khilafah adalah jawaban dari situasi ekonomi yang rumit dan membingungkan saat pandemi global hari ini.
Kebijakan yang diprioritaskan pada upaya penyelesaian wabah terlebih dahulu, lalu di saat yang sama menerapkan berbagai konsep, gagasan, mekanisme makro dan mikro ekonomi Islam dengan menerapkan sistem moneter dinar-dirham, sistem APBN baitulmal, dll., adalah solusi tepat dan jitu. [MNews]. MuslimahNews.com https://www.muslimahnews.com/2020/09/12/pandemi-covid-19-menguak-kesalahan-fatal-ekonomi-sekuler/
More Stories
Dampak Pemidanaan Guru oleh Ortu Siswa Terhadap Keberlangsungan Pendidikan Masa Depan
Sumber Daya Alam Melimpah, Mengapa Rakyat Susah?
KURSUS ALKITAB GRATIS YANG MENGUBAH KEHIDUPAN