28/11/2023

Jadikan yang Terdepan

Refleksi Suka Duka Pengabdian Tenaga Didik yang Kian Pelik

Oleh Irma Faryanti

Pegiat Literasi

25 November biasa diperingati sebagai Hari Guru Nasional (HGN). Sebuah momen yang ditujukan untuk menghormati sosok pahlawan tanpa tanda jasa yang berperan besar dalam mencerdaskan generasi. Pada peringatan kali ini, siswa tidak memperoleh libur seperti biasanya dan menggelar upacara bendera peringatan HGN.

Adapun tema yang diangkat pada hari guru kali ini adalah “Bergerak Bersama Rayakan Merdeka Belajar.” Yang sangat berkaitan erat dengan kurikulum yang tengah diterapkan saat ini, dibuat untuk mewujudkan kemunculan SDM unggul Indonesia yang memiliki profil pelajar pancasila. Para siswa dan seluruh satuan pendidikan diajak untuk bersama-sama mewujudkannya. Pada momen ini juga diluncurkan logo hari guru 2023 yang terdiri dari sejumlah elemen yaitu bapak dan ibu guru beserta siswa siswinya yang nampak bergembira dalam mempresentasikan bahagianya pembelajaran. Selain itu juga ada alat penyokong kegiatan pembelajaran, juga ada gambar hati yang melambangkan berbagai komponen yang saling bersinergi untuk menciptakan semangat belajar. (tirto.id, Selasa 13 November 2023)

Berbicara mengenai sejarah HGN, tentu tidak bisa dilepaskan dari perjuangan para pendidik di negeri ini yang dimulai sejak tahun 1851. Pada saat itu dibentuk Sekolah Guru Negeri di Surakarta hingga berlanjut pada munculnya sebuah organisasi yang didirikan untuk menjalankan pelatihan-pelatihan di Jakarta di bawah bimbingan Nippon (Jepang). Pasca kemerdekaan, mereka mengadakan Kongres Pendidik Bangsa yang diadakan pada tanggal 24-25 November 1945. Dari sinilah lahir Persatuan Guru Republik Indonesia atau PGRI.

Tanggal kelahiran organisasi ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Guru Nasional dan diresmikan melalui Keputusan Presiden nomor 78/1994. Namun, walaupun keberadaannya dianggap sebagai momen penting bersejarah, tapi tidak dinyatakan sebagai hari libur. Artinya, siswa masih tetap masuk sekolah seperti biasa.

Tidak bisa dipungkiri saat ini para guru tidak bisa menolak program yang telah diputuskan oleh penguasa. Terutama terkait kurikulum merdeka belajar, yang diharapkan dapat menghasilkan lulusan siap kerja untuk memenuhi kebutuhan industri saat ini.

Sayangnya tujuan tersebut harus dihadapkan pada kondisi generasi dengan permasalahan yang kompleks seperti terlibat narkoba, perundungan, pergaulan bebas, tawuran bahkan pembunuhan dan bundir. Problematika ini seharusnya mendapat perhatian serius dari penguasa untuk dicari jalan keluarnya. Namun, alih-alih ditelusuri penyebabnya, momen HGN justru digunakan sebagai sarana untuk memuluskan program merdeka belajar.

Jika kita perhatikan, dunia pendidikan saat ini tidak dalam keadaan baik-baik saja. Salah satu contoh adalah pergantian kurikulum yang sering dilakukan setiap kali menteri berganti. Akibatnya, proses sosialisasi dan adaptasi pun dengan susah payah harus dilakukan. Tidak hanya siswa yang mengalami kesulitan, para guru juga dibebani dengan beraneka ragam pekerjaan. Fokus pun teralihkan dan permasalahan generasi tak kunjung menemukan solusi.

Inilah salah satu resiko diterapkannya kapitalis sekuler, di mana agama dijauhkan dari urusan kehidupan salah satunya dalam urusan bernegara. Aturan berasal dari manusia yang jelas memiliki keterbatasan akal, tidak luput dari kesalahan, selalu merasa tidak puas sehingga senantiasa menjadikan hawa nafsu untuk mencapai segala keinginannya. Kurikulum yang dijadikan metode pembelajaran, justru dibuat jauh dari tuntunan aturan Penciptanya.

Jadi selama kapitalisme sekuler yang diterapkan, perbaikan sistem pendidikan bak panggang jauh dari api, akan sulit tersolusikan sekalipun kepemimpinan berganti dan kurikulum terus menerus diperbaharui. Karena yang menjadi permasalahan adalah sistem yang mendasarinya. Harus segera dilakukan pembenahan agar berbagai problematika bisa segera diselesaikan.

Berbeda dengan kapitalis yang menganggap generasi sebagai penyokong pembangunan industri, Islam justru menilainya sebagai aset besar bagi negara. Merekalah calon pemimpin masa depan yang akan menerima tongkat estafet perjuangan penyebaran Islam. Untuk itu sangat diperlukan upaya untuk menjadikan mereka penerus yang berkualitas dan memiliki kepribadian Islami.

Untuk itu, penanaman akidah menjadi hal wajib yang harus dilakukan karena keberadaannya akan menjadi landasan dalam kehidupan. Setelah itu generasi penerus akan dibentuk agar memiliki pola pikir dan sikap Islam yang akan menjadi bekal bagi mereka dalam mengarungi kerasnya perjuangan hidup yang tidak mudah.

Oleh karenanya, sistem pendidikan harus dirancang sedemikian rupa untuk mewujudkannya. Dimulai dengan pembuatan kurikulum yang harus selaras dengan pandangan Islam, bukan hanya berorientasi pada materi dan duniawi semata.

Dalam Islam, aturan pembelajarannya sangat jauh berbeda dengan sistem yang saat ini diberlakukan. Di mana metode pembelajaran dilakukan secara talqiyan fikriyan yaitu metode pemindahan ilmu kepada orang lain sebagai sebuah pemikiran dengan cara mentransfer hasil penginderaan terhadap fakta melalui panca indera ke dalam otak kemudian dihubungkan dengan informasi sebelumnya yang telah terbukti benar kepastiannya dan digunakan untuk menginterpretasi fakta tersebut.

Pembelajaran pun akan diberikan sesuai jenjang pendidikan. Misalnya di tingkat mendasar akan diperkenalkan tentang akidah, mengenal Allah sebagai al Khaliq (Maha Pencipta) dan al Mudabbir (Maha Pengatur) melalui pengamatan akan apa yang ada pada manusia, alam semesta dan kehidupan sebagai tanda kebesaran-Nya.

Dengan mengamati maka akan terbentuk keyakinan yang kuat dan keimanan yang kokoh bahwa Allah Swt. adalah pencipta alam semesta dan manusia wajib terikat dengan aturan-Nya. Dengan begitu, akan terbentuk mindset untuk menghukumi perbuatan dan mereka akan menjadi generasi yang peka terhadap umat dan permasalahan yang menimpanya. Materi ini akan terus berlanjut sesuai tahapan ke tingkat yang lebih tinggi lagi.

Adapun dari sisi penghargaan terhadap guru, Islam tidak mencukupkan dengan sekedar memperingatinya pada hari tertentu. Atau dengan menyematkan gelar kehormatan. Tapi lebih dari itu, negara memberikan gaji yang sesuai dengan kinerjanya. Upah tenaga didik pada masa Khalifah Umar bin Khaththab mencapai 15 dinar, di mana 1 dinar senilai 4,25 gram emas.

Dengan upah yang layak, para tenaga didik akan fokus menjalankan tugasnya dalam mencerdaskan generasi. Membentuk mereka agar memiliki kepribadian Islami, dengan keimanan yang kuat dan akhlak yang mulia. Syariat pun akan menjadi landasan bagi mereka untuk menghormati guru, karena adab adalah bagian dari hukum syara. Maka tidak akan terjadi adanya sikap tidak sopan seperti yang marak terjadi saat ini.

Sudah semestinya negara sebagai pengayom umat menjamin kesejahteraan para guru dan mempermudah segala sarana dalam menjalankan amanahnya. Semua menjadi tanggung jawab penguasa yang kelak akan ditanya di hadapan Allah Swt. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. dalam HR. Bukhari Muslim: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.”

Namun segala keteraturan hukum syariat itu hanya bisa terlaksana manakala Islam diterapkan di setiap aspek kehidupan dalam naungan sebuah kepemimpinan. Wallahu alam Bissawab