06/01/2023

Jadikan yang Terdepan

Derita Tiada Akhir saat Perlindungan Tersingkir Sistem

Oleh Uqie Nai

Member AMK4

Berita memilukan yang menimpa kaum perempuan tak pernah hengkang dari negeri ini ataupun negeri lain di belahan dunia. Baik berupa kekerasan fisik, nonfisik, pemerkosaan atau pelecehan disertai kekerasan. Sepanjang tahun 2019-2021 kasusnya bukan lagi menurun tapi meningkat hingga diiringi kehebohan yang luar biasa dan membuat siapapun geram. Di antaranya kasus guru tahfiz di Bandung yang mencabuli 21 santriwati hingga hamil dan melahirkan. Di Bekasi ada guru ngaji melakukan pelecehan seksual pada muridnya yang berusia 12 tahun, lalu ada pegawai KPI mengalami perundungan dan pelecehan dari tahun 2012-2014. Sementara di Jakarta Barat seorang wanita berinisial NP mendapat pelecehan seksual dan pemukulan oleh sopir taksi online (grab) yang dinaikinya bersama sang kakak.

Fakta-fakta kekerasan terhadap perempuan dan anak sepertinya tak sejalan dengan mekanisme pencegahan dari negara, terbukti  dari tahun ke tahun kasusnya terus meningkat dan pelakunya semakin sadis dan menggila. Terutama di tiga tahun terakhir (2019-2021). Menurut Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak (KemenPPPA), Pribudiarta N. Sitepu menyebut dalam tiga tahun terakhir ada 26.200 kasus kekerasan yang menimpa pada perempuan. Sementara pada anak, kasus terbanyak adalah kekerasan seksual sebesar 45 persen, psikis 19 persen, dan fisik 18 persen. (Cnnindonesia.com, Kamis, 9/12/2021)

Kapitalisme Sekuler, Neraka bagi Kaum Perempuan

Tak mungkin ada asap jika tak ada api. Tak mungkin ada kekerasan jika negara punya solusi hakiki. Artinya, Pemerintah dan lembaga perlindungan semisal Komnas Perempuan dan KPAI tak cukup hanya membuat program dan undang-undang jika kekerasan itu muncul secara sistemik. Ada masalah dari A sampai Z yang saling berkaitan, sementara konsentrasi pemerintah ada pada penyelesaian masalah cabang yang bersifat parsial.

Data dan fakta yang terungkap  merupakan fenomena gunung es, yang nampak hanya bagian kecilnya sementara situasi yang sebenarnya kondisi perempuan Indonesia mengalami kehidupan yang tidak aman. Ribuan atau bahkan jutaan kasus serupa bisa lebih menggemparkan jika para korban berani melapor, masyarakat peka terhadap lingkungan sekitar, dan negara beserta aparatnya sigap mengusut tuntas hingga ke akar.

Para korban dengan kondisi trauma, tak berdaya, takut, malu, atau di bawah ancaman lebih memilih bungkam dalam kepedihan. Mereka tak punya pelindung atau tempat mengadu yang bisa memberinya keadilan. Sebab, keadilan hari kemarin, saat ini atau selanjutnya  adalah milik penguasa dan mereka yang dekat dengan penguasa.

Masyarakat yang diharapkan menjadi kontrol sosial pun tak lebih baik dari para korban. Sikap individualis, kurang empati, dan memilih hidup di zona aman menjadikan fenomena kekerasan seksual semakin memprihatinkan. Hal ini disebabkan oleh cara pandang hidup sistem kapitalisme sekuler yang menjadikan agama jauh dari kehidupan, baik dalam bidang pendidikan, pergaulan, ekonomi, sanksi, dan sebagainya. Maka tak heran jika para pelaku kejahatan dan kekerasan seksual  terus meningkat dan masyarakat dalam sistem ini menjadi media penyebaran kemaksiatan atau kerusakan semisal poronografi, pornoaksi, penyimpangan perilaku, aborsi, NAPZA, bisnis prostitusi dan sejenisnya menjadi hal yang lumrah bahkan sebagiannya legal di bawah payung hukum negara.

Oleh karena itu selama sistem kapitalisme sekuler masih ada,  nasib perempuan akan terus menjadi target pelecehan dan kejahatan. Sistem ini tak ubahnya neraka dunia bagi para korban yang menjadi pangkal kejahatan tak pernah padam. Terlebih berharap pada hukum yang juga lahir dari sistem yang sama, menjadikan keadilan hanya ilusi. Penegak hukum mudah dibeli dan para pelaku semakin berani karena tak ada efek jera atas sanksi yang membuatnya berhenti.

Hanya Islam yang Memiliki Mekanisme Tepat Melindungi Perempuan

Islam dengan seperangkat aturannya adalah jawaban atas permasalahan yang menimpa kaum perempuan khususnya, dan kaum muslim secara umum yang disebabkan sistem kufur berbasis sekularisme. Islam memiliki mekanisme secara preventif dan kuratif, karena Islam merupakan ideologi sahih yang mampu mewujudkan maksud-maksud syariat (al maqasid as syariah) di tengah umat.

Pertama, menerapkan sistem pergaulan yang mengatur interaksi antara laki-laki dan perempuan. Baik ranah khusus ataupun umum. Dari Umar bin Khattab ra., bahwasannya Rasulullah saw. telah melarang seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita, kecuali ada mahramnya. Dan beliau juga melarang seorang wanita bepergian kecuali bersama mahramnya. (HR. Bukhari dan Muslim)

Kedua, memerintahkan menutup aurat atau segala hal yang bisa memicu rangsangan sensualitas, karena umumnya kejahatan seksual dipicu oleh rangsangan dari luar. Allah Swt. telah menegaskan dalam firman-Nya:

“Maka janganlah kalian melembut-lembutkan dalam berbicara sehingga berkeinginan orang yang ada penyakit (syahwat) dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (TQS. Al-Ahzab [33]: 32)

Ketiga, menghidupkan aktivitas amar makruf nahi mungkar antar individu dan elemen masyarakat. Sebab, setiap individu muslim terkena taklif hukum untuk mencegah terjadinya kemungkaran sesuai tingkat kemampuannya, baik dengan tangannya, lisannya, atau hatinya. Inilah pentingnya aktivitas dakwah sebagai amal tertinggi dalam mewujudkan maqasid syariah.

Keempat, memberlakukan sanksi secara tegas yang berfungsi sebagai zawajir (jera) dan jawabir (penebus dosa). Terdapat ketetapan Allah Swt. terkait had (hukum) yang diperuntukkan bagi pelaku pemerkosaan dan perzinaan. Hukumannya berbentuk  jilid (cambuk) seratus kali dan diasingkan, jika pelaku kejahatan seksual belum menikah. Sementara bagi pelaku yang sudah menikah hukumannya adalah rajam hingga mati.

Untuk pelaku pelecehan diiringi  kekerasan fisik atau ancaman, maka tindakannya terkategori hirabah. Sanksinya bisa dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kakinya secara menyilang, atau diasingkan.

Penerapan sanksi ini adalah bentuk ketegasan Islam setelah tahapan preventif dilakukan. Sanksi ini tidak saja membuat pelaku jera, terhindar dari hukuman akhirat, juga dapat melindungi kehormatan perempuan dan penjagaan keturunan (an-nasl) umat muslim, sebab gharizah na’u (hasrat seksual) meski itu adalah fitrah atas diri manusia tapi dalam penyalurannya harus sesuai arahan syariat Islam, yakni melalui pernikahan. Penerapan ini akan berwujud nyata jika sistem pemerintahan Islamnya ada dan diperjuangkan melalui thariqul ummah. Negara akan berperan sesuai fungsinya yaitu sebagai raai’n dan junnah. Bukan hanya mengatur dan melayani urusan publik kepala per kepala tapi juga menyelesaikan segala persoalan yang terjadi di tengah mereka.

Dengan ketaatan pemimpin negara terhadap syariat,  ketenangan, ketentraman, kesejahteraan, serta keamanan bukan lagi perkara yang mahal ataupun  ilusi belaka bagi kaum perempuan. Dalam pandangan Islam ketaatan dan kekufuran masing-masing memiliki konsekuensi, sebagaimana firman Allah Swt. dalam surat Al-A’raf: 96,

 “Dan sekiranya para penduduk negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami limpahkan atas mereka keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”

Wallahu a’lam bi ash Shawwab.