06/01/2023

Jadikan yang Terdepan

Konten Negatif Mewabah saat Generasi Hilang Arah

Oleh: Uqie Nai

Member AMK4

Pandemi Covid-19 yang masih saja bertahan hampir dua tahun lamanya, rupanya meninggalkan jejak lain yang tak kalah mengkhawatirkan. Banyaknya aktivitas di dalam rumah semisal bekerja dan belajar daring, telah membuka celah lain dengan kemudahan akses internet. Salah satunya adalah konten negatif.

Konten ini dikatakan cukup berbahaya meski tak menyebabkan kematian secara langsung seperti Covid-19. Namun, bagi siapapun yang terpapar oleh konten ini, tanpa memiliki kejernihan berpikir serta landasan keimanan kuat, akan berakibat jangka panjang. Tergerusnya akidah, rusaknya akhlak, serta interaksi sosial yang rendah memunculkan tindakan tak terpuji di kemudian hari. Bahkan untuk kemajuan bangsa dan generasi itu sendiri.

Upaya Pemerintah Meredam Konten Negatif

Kabarnya, pemerintah melalui Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah menghapus berbagai konten seperti konten pornografi anak sebanyak 214 kasus, konten terorisme 22.103, konten misinformasi Covid-19 1.895 kasus, serta 319 konten misinformasi vaksin Covid-19. Akan tetapi, pasca peralihan aktivitas dari offline menjadi online, luring menjadi daring, konten negatif masih saja berseliweran di jagat maya, termasuk media sosial.

Dikutip dari laman viva.co.id (18/9), pemerintah tengah berupaya meredam konten tersebut dengan beberapa tahap pendekatan yang melibatkan berbagai komunitas, yaitu tingkat hulu, menengah, dan hilir. Untuk hulu contohnya, Kominfo telah menggandeng 108 komunitas, akademisi, lembaga pemerintah, hingga lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk memberikan literasi digital ke masyarakat.

Langkah tersebut dilakukan pemerintah melalui Kominfo untuk membantu masyarakat memahami informasi yang akurat, positif, hingga menghentikan penyebaran konten negatif seperti hoax, misinformasi, disinformasi, serta malinformasi. Di tingkat menengah, Kominfo juga mengambil langkah preventif dengan menghapus akses konten negatif yang diunggah ke situs web atau platform digital, terlebih jika ditemukan akun yang mendistibusikan berita bohong seperti vaksinasi.

Sementara di tingkat hilir, Kominfo mengambil tindakan pencegahan dari penyebaran informasi yang salah dan menyesatkan di ruang digital. Upaya ini melibatkan instansi pemerintah, komunitas akar rumput, media konvensional dan sosial, hingga akademisi.

Kapitalisme Sekuler sebagai Pangkal Masalah

Apa yang dilakukan pemerintah di atas tentu sudah sesuai prosedur yang ada bersama instansi terkaitnya. Namun, jika menganggap bahwa upaya tersebut sebagai solusi, setidaknya terlalu dini untuk dikatakan berhasil. Sebab, pemerintah hanya berusaha meredam, bukan menghilangkan akar masalahnya.

Konten-konten yang ‘dianggap negatif’ oleh pemerintah, muncul dan tidak terbendung jumlahnya saat negeri ini mengadopsi paham kapitalisme sekuler. Satu paham yang mendewakan materi di atas segalanya dan menjauhkan agama dalam aktivitasnya. Dari sini kemudian muncul kebebasan berekspresi, berperilaku, berpendapat, beragama serta kebebasan kepemilikan. Masyarakat baik secara individu, kelompok dan lembaga, berlomba mencurahkan ide dan kreatifitas tanpa batas, bablas tanpa mengindahkan norma yang datang dari syariat. Tak terkecuali media, yang juga ikut andil menyemarakkan kebebasan demi keuntungan duniawi.

Maka, wajar kiranya paparan konten negatif begitu mudah menyasar masyarakat, terlebih generasi milenial. Kejenuhan karena tidak keluar rumah mendorong mereka mengakses hiburan melalui media di dekatnya, yaitu gadget dan komputer. Tinggal ketik lalu klik, beragam informasi, gambar, dan video muncul sesuai keinginan.

Jika yang diaksesnya konten yang bersifat pornografi, sedangkan kematangan secara emosional dan sosial belum ada, yang terjadi adalah rangsangan secara biologis yang butuh penyaluran. Baik yang sudah memiliki pasangan sah maupun yang belum, pengaruh konten pornografi bisa memicu penyimpangan moral dan seksual meningkat. Akhirnya, pelaku kemaksiatan tetap eksis, meski pandemi masih kronis.

Begitu pula jika masyarakat mengakses berita tanpa sumber yang valid dan terpercaya, postingan terkategori hoax mudah terjadi, tayangan unfaedah pun ramai diminati. Hal ini akan semakin menarik kaum kapitalis membuat aplikasi hedonis dan menghasilkan duit tanpa peduli memikirkan dampak setelahnya. Mirisnya, pemerintah tak menganggap aplikasi ini ancaman bagi masa depan bangsa dan generasi. Selama mereka happy,  negara dapat fee, why not?

Kembali pada Syariat, Konten Negatif Minggat

Kegagalan negara membendung berita dan konten-konten tak mendidik saat ini, berkaitan erat dengan  ideologi yang diembannya. Ideologi yang lahir dari hawa nafsu manusia seperti kapitalisme tak bisa diandalkan membawa generasi ke arah perubahan gemilang. Semakin dipertahankan, semakin banyak keburukan yang datang. Berbeda halnya jika yang diadopsi itu ideologi sahih, bersumber dari kesempurnaan Sang Pencipta, yakni Islam. Aturan dan arahannya sangat sesuai dengan fitrah manusia hingga layak untuk dijadikan peta jalan perubahan.

Negara yang berlandaskan ideologi Islam, memiliki cara yang efektif mencegah munculnya konten negatif. Tanggung jawabnya memberikan kenyamanan akan ia sosialisasikan melalui program penanaman iman dan ketakwaaan secara individu, masyarakat, dan negara. Bisa melalui pendidikan, sosial, ekonomi, atau hukum (penegakan sanksi). Sehingga upayanya ini mewujudkan pribadi-pribadi islami di tengah kehidupan bermasyarakat. Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Imam itu adalah raa’in (pemelihara/pengembala). Ia bertanggung jawab atas apa yang menjadi tanggungannya (rakyat).” (HR. al-Bukhari)

Ketika individu telah menjadi seorang berkepribadian Islam (pola pikir dan pola sikap Islam), ketakwaannya akan mendorong   memprioritaskan amal sesuai arahan syariat. Bagaimana agar dirinya bisa bermanfaat untuk umat dengan memperbanyak amal salih, menjauhi perbuatan unfaedah, dan selaras dengan sabda Rasulullah: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni. Dihasankan oleh al-Albani)

Sementara itu, ketakwaan masyarakat (kelompok) berkontribusi sebagai kontrol sosial dengan saling menasehati atau amar makruf nahyi munkar. Kelalaian individu atau bahkan kemaksiatannya akan tercegah pada akibat yang lebih besar, termasuk aktivitasnya muhasabah lil hukkam (kritik pada penguasa) jika kelalaian yang disebabkan oleh negara/pemerintah membawa kemadaratan.

Selanjutnya adalah media. Dalam sistem pemerintahan Islam, lembaga ini ada dalam kontrol negara. Apa yang ditayangkan atau diberitakan harus sesuai dengan rambu syariat. Tidak boleh mengandung unsur kekerasan, kemaksiatan, propaganda negatif, hoax, malinformasi, misinformasi, dan lain sebagainya. Media penyiaran dalam sistem negara Islam berfungsi menyampaikan serta menayangkan hal-hal yang bersifat edukasi, meningkatkan kualitas ibadah, amal salih, sosialisasi kebijakan negara dan propaganda dakwah serta jihad.

Demikian perbedaan mendasar pengurusan negara yang berlandaskan Islam dan negara berideologi sekuler. Kenyamanan serta keamanannya tak cuma bisa dibayangkan, tapi dapat dirasakan.  Bahkan melahirkan generasi cemerlang dengan karya gemilang bukan hal mustahil terwujud, karena bukti sejarah di era keemasan Islam telah menjawabnya. Ilmuwan muslim seperti Al-Kindi, Al-Khuwairizm, Al-Farabi, Al-Jabar, Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, dll. adalah contoh generasi Islam pembawa perubahan. Jika sistem yang berideologikan Islam mampu membuat karya nyata, akankah konten negatif memiliki ruang?

Wallahu a’lam bi ash Shawwab