Oleh: Evrita Febri
Di tengah pandemi Covid-19, penduduk kaya dan superkaya di Indonesia dikabarkan mengalami peningkatan.
Berdasar data dari lembaga keuangan Credit Suisse, jumlah penduduk dengan kekayaan bersih 1 juta dollar AS atau lebih di Indonesia mencapai 171.740 orang pada tahun 2020.
Angka tersebut melonjak 61,69 persen year on year (yoy) dari jumlah pada tahun 2019 yang berjumlah 106.215 orang.
Lembaga tersebut juga mencatat, jumlah orang Indonesia sangat kaya atau dengan kekayaan tercatat lebih dari 100 juta dollar AS pada tahun 2020 mencapai 417 orang atau naik 22,29 persen dari tahun sebelumnya. (Kompas.com)
Berbeda dengan kondisi orang miskin per Maret 2020 sebesar 26,42 juta orang, meningkat menjadi 27,54 juta orang pada Maret 2021 seperti yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS).
Laporan Credit Suisse dan data BPS nampaknya memberikan bukti bahwa kesenjangan antara si kaya dan si miskin melebar.
Penyebab pelebaran kesenjangan tersebut akibat kebijakan pemerintah yang tak berimbang. Sebagai contoh kebijakan pembatasan sosial yang diterapkan telah membatasi mobilitas warga miskin.
Padahal, perputaran roda ekonomi rakyat miskin tergantung mobilitas harian. Hasil kerja hari ini adalah untuk makan besok. Jika hari ini tak bisa kerja karena mobilitas dibatasi, otomatis besok dapur tak bisa ngebul.
Memang pemerintah telah menggelontorkan bantuan sosial selama pandemi ini. Namun jumlah yang kurang signifikan, distribusi yang tidak merata, serta banyak salah sasaran menjadikan bantuan ini tidak efektif untuk mengurangi efek ekonomi pandemi.
Sementara itu, disisi lain selama pandemi orang-orang kaya tetap bisa menikmati berbagai kemudahan dari pemerintah seperti tax holiday. Pemerintah juga memberi kelonggaran terhadap berbagai proyek infrastruktur yang tidak terkait dengan penanganan pandemi.
Dari sini tampak bahwa kebijakan pemerintah memang pro pada orang kaya. Di saat rakyat kecil harus berjuang melawan pandemi dan mengais nafkah harian, proyek triliunan Rupiah dikejar demi keuntungan segelintir pemilik korporasi.
Inilah buah diterapkannya sistem kapitalisme yang menjadikan si kaya makin kaya, si miskin makin miskin, sehingga mewujudkan kemiskinan massal pada individu, keluarga, dan negara.
Sistem ini memasilitasi kerakusan pemilik modal untuk melipatgandakan kekayaan pribadinya, hingga membuat kesenjangan permanen.
Agar keluar dari masalah ketimpangan tersebut dibutuhkan aturan yang tegas atas kepemilikan. Islam membagi kepemilikan menjadi tiga hal: kepemilikan umum, individu, dan negara.
Kepemilikan umum meliputi fasilitas umum, barang tambang yang tak terbatas, serta benda-benda yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki individu seperti lautan, sungai, udara, dan semisal hal itu.
Sedangkan kepemilikan negara adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum muslim, sementara pengelolaannya menjadi wewenang Negara. Yang termasuk harta negara adalah fai, kharaj, jizyah, dan sebagainya.
Jadi, kepemilikan umum dan negara ini nantinya dikelola oleh negara dan didistribusikan kepada rakyat secara merata hingga mampu memenuhi kebutuhan pokoknya.
Perbedaannya harta kepemilikan umum tidak dapat di berikan negara kepada individu untuk memilikinya. Sedang harta kepemilikan negara dapat di berikan kepada individu sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati.
Jadi, dengan aturan kepemilikan tersebut akan mampu mensejahterakan rakyat sekaligus dapat digunakan untuk penanganan pandemi.
Selain itu, Islam juga memotivasi orang-orang kaya agar berinfaq untuk membantu mengatasi berbagai kesulitan ketika ekonomi negara terguncang.
Dengan konsep kepemilikan yang tegas seperti inilah dapat mencegah rakusnya para kapital yang ingin menguasai dan mencengkeram kekayaan milik umum.
Maka, hanya Islamlah yang mampu mewujudkan kesejahteraan dan menghilangkan ketimpangan antara si kaya dan si miskin. Wallahu’alam bi shawab
More Stories
Pemberdayaan Ekonomi Jadi Siasat, Peran Ibu Tengah Dibajak
Membangun Infrastruktur Negeri tanpa Bergantung pada Investasi
Pernikahan Megah Anak Pejabat, di Tengah Kesusahan Rakyat