24/11/2024

Jadikan yang Terdepan

Pupuk Sulit Dicari, Subsidi Tak Jadi Solusi

Oleh Uqie Nai

Member Menulis Kreatif

Salah satu keluhan yang kerap dilontarkan petani adalah sulitnya mendapatkan pupuk. Jangankan yang gratis, yang bersubsidi pun tidak mudah didapat. Kesulitan itu diduga karena prosedur yang rumit seperti harus memiliki Kartu Tani dan terdaftar dalam kelompok Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) atau karena lokasi keberadaan pupuk sangat jauh.

Hal inilah yang dirasakan oleh  petani di Nusa Tenggara Timur (NTT) tepatnya di Kabupaten Manggarai dan Manggarai Barat. Mereka harus menempuh jarak sekitar puluhan kilometer untuk mendapatkan pupuk bersubsudi.

Fakta itu terungkap saat tim Satgassus Pencegahan Korupsi Polri memantau penyaluran pupuk subsidi di NTT pada 18-22 Juni 2024. Disebutkan oleh anggota Satgassus Yudi Purnomo Harahap, kios penyedia pupuk di wilayah tersebut belum merata, bahkan ada petani yang harus menebus pupuk subsidi dengan jarak lebih kurang 80 km.

Yudi menyarankan pada Kementerian Pertanian (Kementan) untuk mengatur dalam petunjuk teknis (juknis) jarak maksimum keberadaan kios dari petani dan mempertimbangkan BUMDes dan koperasi unit desa (KUD) menjadi kios sehingga dekat dengan lokasi petani. (Beritasatu.com, Minggu, 23/06/2024)

Pengaruh Kapitalisme Terhadap Peran Negara dan Pertanian

Distribusi pupuk dan hal lainnya yang dibutuhkan petani harus menjadi perhatian pemerintah. Terlebih jika itu menyangkut program pemerintah mewujudkan ketahanan pangan nasional. Hal ini bisa dimulai dengan:

1) Pemberian pupuk gratis, sebab subsidi pupuk yang digelontorkan pemerintah saat ini belum efektif, selain pemberian tidak merata, tidak tepat sasaran, dan petani masih dibebankan biaya sekitar Rp8000 per kilo saat menebusnya. Harga yang cukup besar jika dikalikan dengan kebutuhan petani per luas lahan;

2) Akses mendapat Kartu Tani dipermudah. Karena salah satu kendala petani sulit menerima subsidi pupuk adalah kartu tani yang belum disalurkan pihak bank. Padahal kartu ini menjadi alat tukar mendapatkan pupuk;

3) Penambahan stok produksi agar ketersediaan pupuk kian terjangkau;

4) Membangun kios-kios penyedia pupuk yang dekat dengan petani;

5) Pemerintah bisa menunjuk petugas dengan kewenangan khusus, baik dari jajaran kementerian maupun pemerintah daerah. Sehingga tidak terjadi lempar tanggung jawab antara dua lembaga pemerintah semisal Kementan dan Kemendag. Tugasnya bukan sekedar memantau dan melaporkan, tapi memastikan distribusi kebutuhan petani (bukan hanya pupuk) itu sampai ke tangan yang berhak dan bisa langsung dimanfaatkan. Petugas ini bisa dibantu oleh aparat keamanan sebagai bentuk pengawalan pendistribusian ke petani dan mengamankan oknum-oknum yang tidak berkepentingan.

Langkah berikutnya adalah menindak tegas para mafia pupuk dan ‘kapitalis berdasi.’ Karena adanya peluang dan lemahnya kontrol pemerintah menjadikan mereka leluasa berbuat curang apalagi jika sanksi yang diberikan cukup ringan dan tidak berefek jera. Yang dirugikan tentu bukan hanya negara tapi juga petani.

Hal ini sangat penting dilakukan oleh pemerintah mengingat kapitalisasi di negeri ini sangat terbuka bagi siapa saja yang memiliki cuan bahkan pelaku korupsi kian hari kian bertambah akibat penyelewengan wewenang dan lemahnya keimanan. Baik dari dalam pemerintahan maupun warga sipil.

Semua upaya-upaya di atas belumlah final karena sifatnya masih parsial. Satu upaya dengan upaya lainnya masih terbuka terjadinya kapitalisasi dan penguasaan hak publik oleh individu maupun lembaga.

Karena permasalahan distribusi serta kesulitan petani dalam meningkatkan hasil produksinya berpangkal pada penerapan kapitalisme sekuler oleh negara. Meski negara berkewajiban mengurus dan memenuhi kebutuhan masyarakat khususnya petani, tapi tidak demikian dengan paham kapitalisme.

Negara justru harus memberikan kebebasan pada para kapital mencari keuntungan, meski dalam  program subsidi sekalipun. Ini karena negara dalam sudut pandang kapitalisme hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator pihak pemodal, bukan untuk mengayomi kepentingan masyarakat secara umum.

Oleh karena itu selama negeri ini masih menganut paham kapitalisme, jaminan serta terpenuhinya kebutuhan petani akan sulit terealisasi. Beragam program yang digulirkan pun hanya berakhir di tangan kapital tanpa mampu menyejahterakan petani.

Petani Sejahtera Hanya dengan Sistem Islam

Dalam pandangan Islam, kegiatan bertani adalah aktivitas mulia dari aspek produktivitas pangan untuk kehidupan manusia, lingkungan, dan makhluk hidup lainnya. Termasuk menjadikan suatu negara berdaulat dari sektor pangan dan mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri tanpa harus bergantung pada negara luar.

Tumbuhan yang ditanam petani bisa menjadi jariyah karena menjadi sumber makanan dan dapat menjadi amal salih untuk umat Islam ketika sumber makanan tersebut digunakan dalam kebaikan. Hewan seperti burung, semut, kupu-kupu, cacing  yang turut serta menikmatinya adalah bentuk sedekah dan tentu saja bernilai pahala bagi penanamnya.

Hal ini selaras dengan sabda Rasulullah saw: “Tidaklah seorang muslim menanam sebatang pohon atau menanam sebutir biji lalu sebagian hasilnya dimakan oleh burung, manusia atau binatang, melainkan baginya ada pahala sedekah.” (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmizi dan Ahmad)

Karena urgensi itulah negara dalam Islam akan mengerahkan upaya dan perhatiannya untuk memenuhi kebutuhan petani berikut fasilitasnya seperti menyediakan lahan pertanian, memberikan benih dan pupuk, membuatkan alat produksi, mesin industri hingga pemanfaatan teknologi modern.

Kemajuan pertanian telah lama diperlihatkan oleh peradaban Islam dan diakui oleh ilmuwan Barat terutama masa kekhilafahan. Kemajuan itu tidak diperoleh begitu saja, tetapi ada peran negara di dalamnya.

Yakni negara yang berperan sebagai pengurus dan pelaksana syariat. Di antara peran dan kebijakannya adalah melakukan intensifikasi, ekstensifikasi, pembangunan infrastruktur pertanian, litbang dan dukungan kepada petani.

Varietas tanaman yang sebelumnya tak dikenal berhasil dikembangkan dan diperkenalkan. Contohnya, jeruk ‘sour orange’ dan lemon. Buah asli Asia ini dibawa umat Islam dari India ke Arab sebelum abad ke-10 dan dikembangkan hingga akhirnya juga dikenal di Suriah, Asia Kecil, Palestina, Mesir dan Spanyol. Dari Spanyol lalu menyebar ke seluruh Eropa Selatan dan dikenal sebagai Seville Orange.

Begitupun infrastruktur irigasi. Islamlah yang pertama kali membangunnya, tepatnya masa Khilafah Umayyah. Di masa ini jaringan irigasi yang dibuat sudah terkategori canggih yang terkenal di wilayah Irak.

Sistem jaringan irigasi ini lalu diintroduksi ke Spanyol pada masa pemerintahan Islam di sana. Pompa-pompa juga dikembangkan untuk mendukung irigasi itu. Awalnya masih berupa pompa ungkit. Berikutnya dikembangkan pompa Saqiya yang digerakkan dengan tenaga hewan.

Dan yang paling fenomenal adalah dikembangkannya kincir air sejak abad ke-3H (9M) untuk mengangkat air sungai dan diintegrasikan dengan penggilingan.

Itu baru sebagian kecil saja contoh kemajuan di sektor pertanian ketika Islam menjadi mercusuar dunia. Masih banyak bukti sejarah yang tidak diketahui umat Islam.

Bahkan hasil penemuan Islam bukan saja bermanfaat bagi dunia tapi banyak diikuti ilmuwan Barat dan terus mengalami pengembangan hingga kini.

Perbedaannya, peradaban Islam maju karena landasan akidah, hingga membawa berkah untuk seluruh umat. Sementara Barat, maju karena kerakusannya, zalim kepada kaum muslim.

Wallahu ‘alam bissawwab.