28/09/2024

Jadikan yang Terdepan

Rumah Semakin Mahal, Kebutuhan Papan Kian Tak Terjangkau

Oleh Ine Wulansari

Pendidik Generasi

Kebutuhan akan tempat tinggal atau rumah adalah salah satu kebutuhan pokok bagi setiap manusia. Rumah merupakan tempat bernaung sebuah keluarga. Rumah merupakan tempat memulainya aktivitas dalam kehidupan, tempat anggota keluarga berlindung dari panas dan hujan, serta menjadi tempat istirahat setelah melakukan rutinitas harian setiap anggota keluarga. Namun, keinginan memiliki rumah yang layak saat ini sulit diwujudkan sebagian orang.

Harga rumah di berbagai daerah yang terus merangkak naik, menyebabkan masyarakat berpenghasilan rendah tidak mampu menjangkaunya. Meskipun di sisi lain pemerintah mengadakan rumah murah, akan tetapi faktanya tidak berhasil memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat. Salah satu program yang diusung Presiden Joko Widodo yakni program rumah murah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang berada di Villa Kencana, Cikarang, Bekasi, Jawa Barat.

Pembangunan Villa Kencana Cikarang sudah dimulai sejak tahun 2016, dan pada tahun 2017 area perumahan subsidi ini sudah diresmikan langsung oleh presiden. Sayangnya, kawasan ini cukup banyak rumah yang tak berpenghuni alias kosong. Sehingga rumah-rumah yang merupakan subsidi tersebut terbengkalai tak terawat. Meski demikian, nyatanya rumah murah tersebut habis terjual sejak lama dan dijadikan sebagai investasi bukan untuk ditempati. (finance.detik.com, 02 Mei 2024)

Faktor yang menyebabkan banyak rumah murah atau rumah subsidi tidak ditempati, menurut Ali Tranghanda CEO Indonesia Property Watch mengatakan bahwa lokasinya yang jauh dari tempat kerja dan akses transportasi umum. Sulitnya akses ini bisa membuat pengeluaran pemilik rumah murah meningkat.

Tentunya hal tersebut akan memberatkannya karena harus mengeluarkan uang lebih untuk transportasi dan cicilan rumah. Apalagi jika tempat kerjanya di tengah kota misalnya, sehingga mereka tidak menempati rumah tersebut dan pindah ke tempat yang lebih dekat dengan area perkantoran. (detik.com 03 Mei 2024)

Kapitalisme Merampas Hak Rakyat

Program rumah murah yang menjadi agenda pemerintah ini, seharusnya benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat terutama tingkat menengah ke bawah. Melihat fakta di atas, justru program rumah murah tersebut tidak tepat sasaran. Bahkan pembangunan rusun untuk relokasi korban penggusuran pun tak banyak diminati masyarakat, selain kurang layak dan kurang nyaman, keberadaan rusun tak lepas dari kapitalisasi, yang seharusnya murni menjadi hak rakyat dengan segala fasilitas dan kenyamanan.

Menyediakan rumah murah dan layak tinggal adalah kewajiban pemerintah akan tetapi standar harga rumah subsidi justru tak masuk dikantong mereka. Bahkan per tanggal 1 Januari pemerintah baru saja menerbitkan Keputusan Menteri (Kepmen) PUPR Nomor 689/KPTS/M/2023 sebagai acuan baru dari penetapan batas harga rumah subsidi. Dalam Kepmen tersebut, batasan harga rumah terbaru yang dikelompokkan berdasarkan daerahnya di kisaran awal Rp150,5-219 juta menjadi Rp162-234 juta untuk 2023 ini. (detik.com, 02 Januari 2024)

Melihat standar harga rumah subsidi yang ditawarkan negara bagi masyarakat berpenghasilan rendah, nampak jelas begitu memberatkan. Sebab menurut Badan Pusat Statistik mencatat, rata-rata rumah tangga miskin di Indonesia berpenghasilan Rp2,3 juta per bulan.

Dengan data ini kemungkinan besar masyarakat tak akan mampu mendapatkan rumah subsidi mengingat stndar hargar harga yang ditetapkan jauh dari penghasilan yang diperoleh.

Ujung-ujungnya yang menikmati rumah subsidi adalah orang yang memiliki penghasilan lebih, termasuk mereka yang sebelumnya sudah memiliki tempat tinggal. Negara dan pengembang tentu saja menjadi pihak yang diuntungkan, karena sejatinya program apapun dalam sistem sekarang tidak benar-benar untuk kepentingan rakyat apalagi diberikan dengan harga murah atau bahkan gratis.

Fakta lainnya, kalangan MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah) sangat sulit mengakses rumah tersebut lantaran rumitnya persyaratan yang harus dipenuhi. Jangankan untuk membeli rumah, mencukupi kebutuhan sehari-hari saja susah.

Fenomena ini akan terus terjadi selama tata kelola perumahan rakyat diatur sistem kapitalisme. Di mana posisi negara bukan sebagai pelayan yang menyediakan perumahan bagi rakyat, melainkan kepanjangan tangan para korporat yang menjadi mitra pemerintah.

Negara tidak melihat pembelinya sesuai target yakni rakyat miskin atau tidak. Justru rumah-rumah tersebut sudah habis terjual dan menghasilkan keuntungan bagi korporasi. Akhirnya, pelayanan pemerintah kepada rakyat tak lebih sebagai aktivitas transaksional, ada untung yang diberikan, jika merugikan tak dihiraukan meski itu kebutuhan vital sekalipun.

Inilah wajah buram sistem yang diterapkan saat ini yakni kapitalisme, pelayanan negara yang mengukur untung rugi menyebabkan program yang dibuat tidak sampai kepada rakyat secara merata. Kebutuhan-kebutuhan dasar rakyat diabaikan dan justru diserahkan kepengurusannya pada pihak lain (swasta lokal dan asing).

Padahal korporat ini sekadar meraih keuntungan yang sebesar-besarnya bukan menyediakan secara cuma-cuma, apalagi bagi yang tidak punya uang alias miskin.

Negara Pelayan Rakyat

Islam sebagai agama yang sempurna dan paripurna, mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, alam semesta, dan kehidupan, termasuk di dalamnya tata Kelola perumahan bagi rakyat. Di mana, negara secara langsung melaksanakan tata kelolanya, mengurusi rakyat yang membutuhkan tempat tinggal tanpa melalui perantara.

Sehingga, tidak akan ada rumah-rumah kosong tanpa penghuni apalagi sekadar jadi tempat investasi. Negara memposisikan diri sebagai pelayan rakyat bukan perantara. Sebagaimana sabda Nabi saw.: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggung jawabannya atas yang dipimpin. Penguasa adalah pemimpin bagi rakyatnya, dan kelak akan dimintai pertanggung jawabannya atas yang dipimpinnya…” (HR. bukhari).

Negara dalam sistem Islam memperhatikan tempat tinggal masyarakat melalui mekanisme yang sesuai syariat.s Salah satunya ketersediaan lahan untuk masyarakat yang membutuhkan baik untuk tempat tinggal maupun ditanami, baiak diperoleh dengan jual beli, iqta’ (pemberian negara) atau ihya_ul_mawaat (menghidupkan tanah mati).

Khalifah akan menyediakan dan mengatur penggunaan lahan sehingga perumahan sinkron dengan fasilitas lainnya seperti jalan, sekolah, tempat kerja, dan lainnya. Hal ini dilakukan, untuk memastikan bahwa perumahan tersebut akan ditempati oleh masyarakat.

Sehingga tidak kosong dan terbengkalai. Tanah-tanah yang mati alias dibiarkan selama tiga tahun berturut-turut, negara akan mengambil alih dan diserahkan kepada masyarakat yang mampu dan siap untuk menggarapnya.

Dengan demikian, rakyat secara mudah akan memperoleh tempat tinggal sekaligus lahan yang bisa digarap untuk lahan pertanian yang bisa menambah pendapatan.

Negara secara penuh bertanggung jawab memenuhi berbagai macam kebutuhan hak asasi rakyat baik itu primer, sekunder, dan tersier melalui penerapan ekonomi Islam berbasis syariah.

Pengelolaan sumber daya alam secara mandiri dan langsung dikendalikan oleh negara. Sehingga, Ketika pengelolaan ini dilakukan dengan benar, hasilnya pun akan sampai dan dirasakan oleh rakyat seluruhnya.

Hal ini pun memungkinkan negara untuk memberikan rumah dengan harga murah bahkan gratis bagi rakyat miskin yang membutuhkan. Semua ini akan terwujud nyata, ketika sistem Islam menerapkan syariat secara menyeluruh di tengah-tengah kehidupan.

Wallahua’lam bish shawab.