25/11/2024

Jadikan yang Terdepan

Persoalan Anak Butuh Solusi Hakiki, Bukan Selebrasi

Oleh. Uqie Nai

Member AMK4

Peringatan Hari Anak Nasional (HAN) tahun 2023 adalah peringatan ke-39 sejak dikukuhkan pertama kali oleh Presiden Soeharto berdasarkan Kepres No. 44/1984. Kepres ini diinsiasi saat disahkannya UU No. 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak pada 23 Juli 1979. 

Kala itu, Presiden Soeharto menyebut anak-anak adalah aset kemajuan bangsa sehingga perlu diberi peringatan. Maka ditetapkanlah perayaan Hari Anak Nasional itu setiap tanggal 23 Juli dengan tujuan mewujudkan Indonesia sebagai negara yang ramah anak.

Tahun ini (2023), puncak Peringatan HAN diselenggarakan di Simpang Lima Semarang, Jawa Tengah dengan mengusung tema “Anak Terlindungi, Indonesia Maju.”  Penyelenggaraan dilakukan secara hybrid di ruang terbuka serta diikuti oleh anak-anak Indonesia, baik yang hadir secara offline maupun yang hadir secara online (virtual). Termasuk Presiden RI dan Ibu Iriana Joko Widodo.

Dalam kesempatan tersebut, 360 kabupaten/kota serta 14 provinsi mendapat penghargaan dari Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga sebagai Kabupaten/Kota atau Provinsi Layak Anak 2023. Penghargaan ini sebagai bentuk apresiasi atas segala komitmen dan keseriusan para pejabat daerah dan jajarannya yang telah berupaya menghadirkan wilayahnya  aman bagi anak. (News.detik.com, 18/7/2023)

Peringatan dan Penghargaan Tak Menjamin Anak Indonesia Aman dan Sejahtera

Memberikan perlindungan dan rasa aman bagi anak memang tanggung jawab negara. Namun, dengan menyelenggarakan peringatan HAN serta memberikan penghargaan kepada sejumlah kabupaten/kota serta provinsi, tapi tak sesuai realita sepertinya harus dikaji ulang. Karena sejatinya peringatan, perayaan atau penghargaan adalah cerminan atas sesuatu hal besar yang telah tercapai dengan bukti riil (data dan fakta). Kenyataannya, di sejumlah wilayah masih ditemukan kasus-kasus seperti stunting dengan angka masih 21 persen pada Februari 2023. Bahkan terdapat daerah yang mendapat predikat stunting tertinggi seperti NTT, Sulawesi Barat, Papua, NTB, dan Aceh.  Lalu ada lagi kasus bullying di kalangan pelajar yang hingga kini terus terjadi, kemudian kasus kekerasan seksual terhadap anak dengan jumlah kasus cukup mengkhawatirkan. Menurut catatan KemenPPPA, di tahun 2022 ada sebanyak 9.588 kasus kekerasan seksual yang dialami anak-anak. Kabarnya, angka ini mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yakni 4.162 kasus.

Contoh lainnya adalah kenakalan remaja yang meliputi pergaulan bebas, aborsi, geng motor; tawuran; hingga pembunuhan sadis. Para pelaku geng motor dan tawuran bahkan tak segan menggunakan senjata tajam seperti clurit, pedang, atau samurai. Dengan sejumlah fakta ini, pantaskah Indonesia memperingati HAN dan menyematkan penghargaan kepada pejabat daerah?

Jika peringatan HAN dan penghargaan itu adalah wujud apresiasi atas program dan usaha pemerintah, tentu ada hal yang lebih penting yang mampu pemerintah lakukan. Yakni mencari akar persoalan yang menimpa anak-anak negeri ini kemudian mengatasinya secara komprehensif. Sedangkan upaya yang dilakukan pemerintah (negara) saat ini hanya mengatasi cabang dengan solusi parsial, itulah mengapa persoalan yang menimpa anak tak pernah tuntas. Sebut saja misalnya penanganan stunting. Pemerintah mengatasinya dengan anjuran pemenuhan gizi ibu hamil, cek kesehatan secara rutin, imunisasi, pemberian ASI ekslusif, pemberian protein hewani, dan akses sanitasi/kesehatan yang baik.

Seharusnya, upaya yang dilakukan adalah bersifat sistemik hingga mewujudkan solusi menyeluruh yaitu negara menjalankan perannya sebagai pengurus (raa’in). Peran ini akan terlihat dalam aktivitas negara memenuhi kebutuhan pokok masyarakat kepala per kepala. Dari mulai sandang, pangan, dan papan. Selanjutnya pelayanan terhadap kebutuhan yang bersifat kolektif semisal pendidikan, kesehatan, serta terpenuhinya rasa aman. Kebutuhan kolektif ini bukan saja gratis tapi  harus berkualitas. Inilah yang tidak dijumpai dalam sistem kapitalisme demokrasi saat ini. Negara mengimbau masyarakat untuk menjaga asupan gizi, menjaga kesehatan, dan wajib belajar tapi bahan pokoknya mahal, kesehatan mahal, pendidikan mahal, dan keamanan hanya ada bagi orang berduit.

Bahkan, sejumlah aset publik dari berbagai sumber daya alam seperti tambang emas, nikel, tembaga batu bara, migas, kekayaan laut, dll. tak bisa dinikmati oleh masyarakat. Padahal aset-aset ini jika dikelola oleh negara akan sangat mencukupi kebutuhan mereka. Namun, alih-alih ingin mengelola,  negara justru menyerahkan aset publik tersebut ke tangan swasta dan asing. Alhasil, kesejahteraan hanya menjadi milik mereka yang bermodal besar beserta kroni-kroninya. Ini menjadi bukti kegagalan kapitalisme ketika diterapkan, bukan saja tak berfungsinya negara sebagai pengurus dan pelindung tapi juga kian tersingkirnya aturan agama dari kehidupan.

Anak Sejahtera hanya dalam Sistem Islam

Dalam Islam, anak adalah titipan Allah Swt. yang wajib dijaga dan diberikan hak-haknya sesuai arahan syariat. Tanggung jawab penjagaan ini berlaku untuk orang tuanya, masyarakat sebagai tempat mereka belajar kehidupan, dan negara sebagai insitusi yang mengurusi urusan rakyatnya. Sinergi ketiganya akan mewujudkan penjagaan sempurna meliputi fisik, psikis, intelektual, moral, ekonomi, dan lain sebagainya.

Rasulullah saw. bersabda: “Masing-masing dari kalian adalah pemimpin. Dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. Suami adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas istri dan keluarganya. Istri adalah pemimpin di dalam urusan rumah tangga, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rumah tangga itu….”  (HR. Bukhari)

Pemimpin dalam sistem Islam, di samping menjadi pelayan bagi rakyatnya juga akan mendidik warga negaranya dengan tsaqafah Islam. Para orang tua akan memahami peran strategis di dalam keluarganya. Ibu sebagai ummun wa rabbatul bayt akan menjadi sekolah pertama bagi anak-anaknya, dengan dimulai penanaman akidah, mengajarkan hak dan tanggung jawab, serta lainnya. Ayah sebagai kepala keluarga, akan mendidik istri dan anak-anaknya dengan ajaran Islam,  memberikan perlindungan, juga nafkah yang halal lagi thayyib untuk kebutuhan keluarganya di samping jaminan dari negara berupa ketersediaan lapangan pekerjaan. Sedangkan masyarakat dalam sistem Islam, adalah mereka yang menghidupkan budaya amar makruf nahi mungkar, menjaga anak-anak dari tidak kekerasan, pelecehan, bullying, tawuran dll. Sehingga anak-anak akan terarah aktivitasnya sesuai Islam, karena sejak dini mereka telah diajarkan aturan Islam saat mereka di rumah, di masyarakat, atau pun melalui kebijakan yang diterapkan negara.

Negara akan memastikan terpenuhinya kebutuhan anak dari mulai sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan serta keamanannya. Negara juga akan mengawasi media dari tayangan tidak mendidik atau konten yang merusak moral generasi. Selanjutnya, negara akan memberlakukan sistem sanksi bagi siapa saja yang melakukan pelanggaran.

Dengan ketiga peran strategis di atas, anak-anak akan memiliki pemahaman yang benar tentang Islam, akan terhindar dari pergaulan bebas serta  permisif seperti yang terjadi saat ini. Kehidupan anak-anak dalam naungan Islam ataupun kewajiban pemimpin mengatur urusan publik tak perlu ada seremonial yang diperingati tiap tahun dan berbagai penghargaan yang tak sesuai syariat. Cukup rida Allah Ta’ala yang menjadi tujuan segala amal. Wallahu a’lam bisshawwab.