25/11/2024

Jadikan yang Terdepan

Konsumsi Hewan Sakit, Potret Kemiskinan Kian Mencekik

Oleh Ine Wulansari

Ibu Rumah Tangga

Penyebaran antraks di Gunungkidul menggegerkan publik. Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi menyebut, berdasarkan data Kemenkes terdapat tiga orang yang meninggal karena antraks. Mereka berasal dari Dusun Jati, Desa Candirejo, dengan riwayat menyembelih hewan yang sudah mati. Kementerian Pertanian mencatat 12 ekor hewan ternak mati, di antaranya enam ekor sapi dan enam ekor kambing.

Kejadian tersebut disinyalir berkaitan erat dengan tradisi brandu, di mana masyarakat menyembelih hewan yang sudah mati atau sakit. Kemudian hasil sembelihan tersebut dibagi-bagikan. Hal inilah yang diduga menjadi faktor pemicu yang dapat meningkatkan risiko terjadinya kasus antraks. (tribunnews.com, 8 Juli 2023)

Penyebaran antraks di Gunungkidul bukan pertama kalinya. Pada Mei dan Desember 2019, Januari 2020, Januari 2021, dan Juni 2023 antraks pernah muncul. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Gunungkidul, Dewi Irawati mengirim catatan dinas kepada Pemkab Gunungkidul, ia menyatakan bahwa antraks sudah terkategori Kejadian Luar Biasa (KLB). Kondisi demikian itu mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan No.1501 tahun 2010. Sayangnya, Pemerintah Kabupaten Gunungkidul tidak segera menetapkan KLB. (cnnindonesia.com, 7 Juli 2023)

Lambatnya dalam penetapan status KLB tentu sangat membahayakan. Apalagi jika kasus tersebut terus berulang dan memakan korban. Penularan virus antraks biasanya menjangkiti sapi saat makan rumput pada tanah yang diduga terdapat antraks. Sebab virusnya bertahan lama di dalam tanah, tidak gampang mati. Tentu saja jika sapi-sapi ternak sudah terinfeksi secara otomatis akan menular kepada manusia yang mengonsumsi. Cipratan darah hewan dan spora bakteri tersebar, sedangkan spora ini dapat bertahan di tanah selama 40-80 tahun. Maka tak heran, berulangnya kejadian tersebut di Gunungkidul akibat kurang cepatnya pemerintah dalam mengantisipasinya.

Selain itu, budaya brandu yang sudah dilakukan secara turun-menurun, jelas menunjukkan rendahnya tingkat literasi dan pemahaman agama masyarakat. Sehingga mereka sangat terbiasa mengonsumsi hewan sakit atau sekarat. Ditambah lagi tidak adanya edukasi kesehatan yang menjelaskan pada masyarakat bahwa budaya brandu itu sangat berbahaya dan tentunya haram bagi seorang muslim mengkonsumsi dagingnya.

Akibat Diterapkan Kapitalisme

Faktor kemiskinan parah yang dialami masyarakat Gunungkidul mendorong mereka untuk memakan makanan yang sudah terkena virus yang dapat mematikan siapa saja yang mengonsumsinya Al-Qur’an telah menjelaskan mengonsumsi bangkai atau hewan yang sudah mati haram dilakukan. Allah Ta’ala berfirman: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih. Dan (diharamkan) pula yang disembelih untuk berhala.” (QS Al-Maidah : 3).

Kemiskinan di Gunungkidul sendiri sedikitnya meliputi tujuh wilayah kecamatan, di antaranya Saptosari, Palyen, Gendangsari, Nglipar, Kecamatan Ponjong, Tepus, dan Karangmojo. Tentu saja, kemiskinan ini sangat berdampak pada banyak hal, termasuk adanya tradisi brandu yang masih dilakukan hingga saat ini.

Inilah efek kemiskinan yang terjadi di negeri yang memiliki kekayaan alam luar biasa berlimpah. Nyawa manusia melayang tak ada harganya. Potret buram kebiasaan yang berulang menegaskan lemahnya perlindungan negara kepada rakyatnya. Hal tersebut menunjukkan gagalnya negara menyejahterakan rakyat. Karena kemiskinan saat ini akibat diterapkannya sistem ekononi Kapitalisme.

Kapitalisme telah menghasilkan penguasaan sumber daya alam sebagai kekayaan milik rakyat oleh segelintir orang. Akibatnya, kemiskinan bertambah semakin parah dan tak mampu terselesaikan hingga tuntas. Negara juga membiarkan penguasaan kekayaan milik umum melalui kebijakan yang menyengsarakan rakyat. Walhasil, sumber kekayaan yang seharusnya dikelola dan dikembalikan hasilnya untuk kepentingan rakyat, justru diserahkan pengelolaannya kepada swasta asing maupun pribumi untuk dikomersialisasi. Negara nampak sebagai kepanjangan tangan para korporat. Beginilah gambaran hidup dalam sistem Kapitalisme. Kemiskinan dipelihara dan rakyat dibiarkan merana.

Islam sebagai rahmat dan mampu menyejahterakan

Islam sebagai agama yang membawa rahmat bagi manusia, kehidupan, dan alam semesta, memberi panduan berupa aturan yang kaffah agar manusia tidak salah arah. Juga termasuk mengatur urusan makanan yang boleh dikonsumsi. Secara tegas Allah mengharamkan manusia memakan hewan yang telah mati. Sebab hal tersebut akan membawa dampak buruk bagi kesehatan manusia.

Pemerintahan yang tegak atas aturan Islam mempunyai tugas sebagai pelindung rakyat bukan sekadar melarang dan mengharamkan. Negara akan menyosialisasikan bahaya dari mengkonsumsi makanan yang tidak sehat atau yang diharamkan serta memberi imbauan bahkan larangan untuk mengantipasi penyebaran penyakit yang berbahaya. Namun jika negara telah berupaya melarang akan tetapi masih tetap ada yang melanggar, maka negara akan bertindak tegas. Karena semua itu menyangkut keselamatan dan nyawa manusia.

Negara sebagai penanggung jawab utama atas keberlangsungan kehidupan rakyat, akan menjamin seluruh kebutuhan asasi mulai dari sandang, pangan, papan, kesehatan, keamanan, dan pendidikan. Jaminan tersebut akan diberikan dengan mekanisme langsung dan tidak langsung. Tentunya semua diberikan dengan prinsip secara mudah, murah bahkan gratis. Negara juga akan mengelola sumber daya alam secara mandiri dan hasilnya diperuntukkan bagi kesejahteraan masyarakat. Semua ini karena negara menerapkan sistem ekonomi Islam yang mewujudkan keadilan ekonomi secara merata. Sehingga harta tidak akan berputar di kalangan orang kaya saja. Oleh karena itu, mustahil akan ada rakyat yang memakan bangkai disebabkan faktor kemiskinan.

Selain menjamin seluruh kebutuhan hidup warganya, negara akan memberikan pendidikan berbasis akidah Islam. Mulai dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi, akan diperoleh tanpa khawatir biaya yang mahal. Sebab negara menyelenggarakan pendidikan ini dengan biaya murah, terlebih diberikan cuma-cuma. Dengan demikian, ketika negara membuka kesempatan pendidikan seluas-luasnya maka seluruh rakyat akan teredukasi dengan baik. Termasuk di dalamnya perihal kesehatan dan kehalalan pangan yang dikonsumsi.

Inilah seharusnya profil negara yang memelihara urusan rakyat secara sempurna. Semua akan terlaksana dalam naungan Daulah Islam yang menerapkan syariat kaffah. Sehingga keadilan ekonomi akan merata dan kesejahteraan hidup akan diperoleh rakyat. Dengan begitu, tidak akan ada rakyat yang memakan hewan ternak sakit atas dasar tradisi menyesatkan dan efek kemiskinan yang tidak terselesaikan.

Wallahua’lam bish shawab.