Oleh Irma Faryanti
Member Akademi Menulis Kreatif
Kepercayaan, adalah sesuatu yang harus ada dalam jalinan sebuah hubungan, entah dalam persahabatan, keluarga bahkan dalam tatanan kenegaraan membutuhkan adanya rasa percaya. Namun apa yang terjadi jika keberadaannya terkikis hingga perlahan sirna tak tersisa? Tentu ada sesuatu yang salah. Sayangnya, hal inilah yang saat ini terjadi di tengah masyarakat.
Sebuah Survei Indikator Politik Indonesia mencatat sejumlah angka tentang tren kepercayaan publik terhadap sembilan lembaga yang ada di negeri ini. Hasilnya, dua terendah diantaranya adalah pada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang hanya sebesar 68,5 persen dan partai politik yaitu sekitar 65,3 %. (Republika.co.id, Ahad 2 juli 2022)
Menanggapi hal tersebut, Habiburokhman selaku Wakil Ketua Umum Partai Gerindra yang juga merupakan anggota komisi III DPR menyatakan bahwa lembaga ini lebih dilihat dari kinerja orang per orang. Dari 575 anggota, mereka bekerja secara independen satu dengan yang lainnya, sekalipun produknya sama. Ia juga berpendapat bahwa rendahnya rasa percaya itu justru merupakan gambaran akan tingginya ekspektasi masyarakat. Khususnya terkait fungsi utamanya yaitu legislasi, pengawasan dan anggaran.
Arsul Sani yang menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sekaligus anggota DPR komisi III, menganggap bahwa rendahnya kepercayaan publik tersebut sebagai hal lumrah dan biasa terjadi di berbagai negara. Bahkan dari 34 diantara yang menjadi anggota OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) tingkat rasa percayanya ada di kisaran 30-40 persen.
Sementara itu, Burhanuddin Muhtadi selaku Peneliti Utama Indikator Politik Indonesia menyatakan bahwa meski perolehan kepercayaan publik terhadap DPR dan partai politik masih dinilai rendah, namun angka yang tertera saat ini meningkat dibanding tahun 2017 yang sempat mencapai 39,2 persen. Menurutnya, yang harus dilakukan kedua lembaga itu adalah bagaimana caranya dapat meningkatkan trust (kepercayaan) minimal 70%.
Jika ditelaah lebih lanjut, adalah wajar jika rakyat minim percaya terhadap DPR, karena lembaga ini sering menetapkan kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat. Sebagai contoh, ditetapkannya UU Omnibus Law Cipta Kerja yang kental dengan kepentingan para oligarki, sekalipun mendapat protes keras dari penduduk Indonesia karena memiliki kecacatan secara fisik dan materil, juga membawa dampak buruk bagi kesejahteraan hidup mereka. Namun tetap saja diberlakukan. Begitu pula dengan penetapan UU IKN (Ibu Kota Negara) yang tetap disahkan sekalipun harus menguras dana yang tidak sedikit, sementara kondisi rakyat tengah mengalami keterpurukan dalam berbagai aspek kehidupan. Belum lagi praktik korupsi yang sering terjadi di kalangan anggota dewan semakin memperparah tingkat kekecewaan.
Adapun rendahnya kepercayaan terhadap parpol karena lembaga ini sering dijadikan sebagai kendaraan untuk meraih kekuasaan. Namun setelah berhasil menjadi pejabat, mereka melupakan janji-janji dan sibuk memenuhi tuntutan partainya. Visi yang dimiliki hanya dinisbatkan pada perolehan materi, bagaimana caranya bisa membalas budi pada pihak yang telah mendukungnya meraih tampuk kepemimpinan. Tidak heran jika banyak yang terlibat kasus korupsi.
Inilah yang terjadi saat kapitalisme dijadikan sebagai aturan hidup. Politik demokrasi yang dianut telah melahirkan individu yang tidak amanah. Ia dipilih bukan karena kemampuannya, melainkan karena kuatnya dana yang telah mendukungnya. Besarnya biaya pemilihan itulah yang mendorongnya untuk menetapkan kebijakan sesuai keinginan para pemilik modal, sekalipun harus mengorbankan kepentingan masyarakat.
Dalam sistem demokrasi, tugas utama parlemen adalah memproduksi hukum dan kebijakan yang tidak merujuk pada nilai-nilai agama. Karena kapitalisme menjadikan sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) sebagai landasan dan asas manfaat sebagai tolok ukur bagi segala sesuatu.
Lain halnya dengan Islam, berdirinya parpol dilandasi oleh perintah Allah Swt. yang tercantum dalam QS al Imran ayat 104, yang artinya:
“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa aktivitas parpol adalah melakukan amar makruf nahi mungkar, bukan sibuk memperkaya diri setelah berhasil memangku jabatan. Seorang wakil rakyat akan menjalankan amanah secara totalitas, mendudukkan diri sebagai pelayan umat. Menetapkan kebijakan dengan berlandaskan al Qur’an dan as Sunnah, mencintai masyarakat dengan sepenuh hati sehingga ia pun akan dicintai atas kepemimpinannya. Jika demikian, kepercayaan pun akan tumbuh kuat dengan sendirinya.
Sayangnya, sosok wakil rakyat seperti itu hanya bisa dijumpai saat islam diterapkan sebagai sebuah sistem kepemimpinan. Di mana akan terjalin hubungan yang sangat harmonis antara penguasa dan umat, dengan dilandasi oleh kasih sayang dan saling percaya. Wallahu a’lam Bishawwab
More Stories
Dampak Pemidanaan Guru oleh Ortu Siswa Terhadap Keberlangsungan Pendidikan Masa Depan
Sumber Daya Alam Melimpah, Mengapa Rakyat Susah?
KURSUS ALKITAB GRATIS YANG MENGUBAH KEHIDUPAN