21/11/2024

Jadikan yang Terdepan

Omicron, Varian Baru Covid-19: Bukti Kapitalisme Gagal Menangani Wabah

Oleh Nuni Toid
Pegiat Literasi dan Member AMK

Dunia masih belum baik-baik saja. Hampir 2 tahun virus Corona menghantuinya. Kini kembali dunia digemparkan dengan munculnya varian baru, yakni Omicron yang konon lebih dahsyat penularannya dibandingkan dengan varian virus sebelumnya.

Dilansir dari cnbcindonesia.com (28/11/2021), pada Kamis, 25 November, pemerintah Afrika Selatan mengumumkan varian baru, yakni Omicron. Varian tersebut mengandung 50 mutasi dengan penularan yang lebih cepat dan telah menyebar di 13 negara. Saat ini Omicron sudah dalam pantauan ketat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Maka untuk mengantisipasi varian baru tersebut masuk ke Indonesia, pemerintah diharapkan untuk segera mengambil kebijakan agar tidak terlambat seperti sebelumnya.

Tak dapat dipungkiri munculnya varian baru ini karena dalam penanganan pandemi Covid-19 sampai sekarang masih terkesan lamban. Bahkan terkesan lebih menimbang pada aspek untung-rugi saja. Sedangkan keselamatan dan nyawa rakyat jauh dari pertimbangan. Itu membuktikan bila kepentingan rakyat tidak diutamakan.

Kenyataan ini sungguh nyata. Banyak masyarakat yang menjadi korban akibat kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Di antara kebijakannya adalah dengan memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Dampak dari kebijakan itu tentu saja berimbas pada kehidupan rakyat. Seperti aspek ekonomi skala mikro mengalami kemerosotan, khususnya para pedagang, begitupun dengan alat tranportasi umum, sepi dari penumpang dan sebagainya. Semua itu jelas merugikan masyarakat walaupun dengan tujuan untuk memutuskan penularan virus Covid-19. Mengapa?

Karena ketika rakyat disuruh berdiam di rumah demi mengurangi penularan virus Covid-19 oleh pemerintah. Sedangkan kebutuhan hidup mereka tidak terpenuhi. Sekali ada bantuan, itu pun tak memadai dan tidak merata semua rakyat mendapatkan. Bahkan sebagian dari dana bantuan tersebut tega dikorupsi oleh yang mengaku pelindung rakyat. Sungguh ini adalah kebijakan yang zalim.

Kini, dengan munculnya kembali varian baru Covid-19 yang lebih berbahaya dari varian sebelumnya, apakah mampu negara menanganinya? Sedangkan dampak dari pandemi sebelumnya saja masih menyisakan kesengsaraan.

Maka terjadilah kesengsaraan multidimensi. Lihat saja bagaimana kehidupan rakyat, mereka hidup dalam kepayahan karena himpitan ekonomi yang morat-marit. Kesehatan dan nyawa tak terlindungi, pendidikan generasi yang kian liberal dan terancam terperosok pada lost learning. Begitupun dengan dampak sosial, bermunculan problem ketahanan keluarga yang kian rapuh, meningkatnya kriminalitas, dan masih banyak lagi fenomena miris di negeri ini tersebab arah kebijakan pemerintah yang setengah hati dalam menyolusikan problem pandemi.

Semua itu karena negara masih berpegang pada sistem Kapitalisme-sekuler. Dimana sistem ini berasaskan pada keuntungan materi. Sehingga kebijakan yang diterapkan lebih menitikberatkan pada nilai sektor perekonomian saja. Sedangkan nilai keselamatan nyawa manusia dan kesehatan tidak diutamakan.

Begitulah penanganan negara Kapitalisme-sekuler dalam mengendalikan pandemi hanya terpaku pada 3T, yaitu testing, tracing, dan treatment. Juga pada 5M: memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, menghindari kerumunan, dan mengurangi mobilitas. Sehingga waktu penanganan semakin lama, tak berujung.

Andalan lainnya adalah ketika teknologi vaksin mulai diterapkan oleh rezim, dalam hal ini sebagai ketundukannya pada otoritas kesehatan dunia (WHO). Padahal vaksin hanyalah untuk mencegah orang terinfeksi, tidak mudah sakit, bila pun sakit tidaklah parah. Bukan untuk memutus rantai penularan Covid-19. Itulah sistem buruk ini dalam menanggulangi pandemi, hingga pada akhirnya bukan menyelesaikan masalah, namun menambah masalah dengan kemunculan varian baru, Omicron.

Diperparah juga dengan Sekularisme yang semakin menggurita. Yaitu aturan agama dijauhkan dari kehidupan. Semua kebijakan yang diambil tidak bersandar halal-haram. Hanya mengikuti hawa nafsu. Selama itu menguntungkan maka akan diambil walaupun harus melanggar larangan Allah Swt. dan berpotensi menzalimi rakyat.

Berbeda dengan Islam. Rasulullah saw. mengajarkan kepada umatnya bahwa pandemi merupakan ujian dan teguran bagi seluruh umat manusia. Ujian bagi kaum muslimin untuk selalu bersabar dalam menghadapinya. Sebaliknya teguran untuk mereka yang lalai agar kembali kepada aturan Allah Swt. yakni Islam. Selain diperintahkan bersikap sabar, Islam pun mengamanatkan pada penguasa agar menetapkan kebijakan-kebijakan yang tepat dalam menangani musibah agar segera berakhir.

Kebijaksanaan yang diterapkan Islam dalam menghadapi wabah adalah dengan melakukan karantina total (lockdown). Dalam sebuah hadis, “Dari Abdullah bin Amir bin Rabi’ah, Umar bin Khaththab menempuh perjalanan menuju Syam. Ketika sampai di Sargh, Umar mendapat kabar bahwa wabah sedang menimpa wilayah Syam. Abdurrahman bin ‘Auf mengatakan kepada Umar bahwa Rasulullah bersabda: “Bila kamu mendengar wabah di suatu daerah, maka kalian jangan memasukinya. Tetapi jika wabah terjadi di daerah kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu,” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis tersebut pernah dipraktikkan para sahabat pada masa pemerintahan Umar bin Khaththab. Ketika Khalifah Umar hendak pergi ke negeri Syam, ternyata di sana tengah terjadi wabah. Maka Sang Khalifah menghentikan niatnya karena teringat nasehat Rasulullah saw.. Begitupun dengan penduduk di negeri Syam tetap menetap di daerahnya. Mereka berusaha bersabar dan berobat untuk menghadapi wabah tersebut. Akhirnya atas ijin Allah Swt. wabah itu pun sirna dari negeri Syam.

Begitupun saat diterapkannya karantina total (lockdown), negara Islam tetap akan memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya. Rakyat tidak akan kekurangan makanan, kesehatan terjamin, keamanan terlindungi, sehingga merasa nyaman saat menjalani karantina tersebut.

Begitulah keberhasilan Islam dalam mengatasi pandemi pada saat itu. Karena ketaatannya pada Nabinya. Kaum muslimin menjadikan Islam sebagai solusinya bukan yang lain. Mereka juga bersikap sabar dan senantiasa berdoa kepada Allah Swt.. Tak sedikitpun terbesit di hati merasa gelisah atau memikirkan dunia (ekonomi).

Maka dengan berpegang teguh pada syariat Islam segala masalah, termasuk wabah bisa dikendalikan. Bukan seperti saat ini, dimana negara masih bertahan dengan sistem Kapitalisme sekuler. Sampai kapanpun sistem kehidupan yang berasal dari buah pikir manusia yang bersifat lemah dan serba terbatas itu tidak akan mampu memberikan jalan keluar dari setiap permasalahan yang terjadi. Akhirnya agar dunia, khususnya negeri tercinta ini mampu menanggulangi setiap masalah, hanya ada satu solusi, yaitu kembali kepada syariat-Nya, yakni Islam.

Wallahu a’lam bish shawab.