Oleh: Chusnatul Jannah – Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban
Premium bakal dihapus per Januari 2021. Beberapa tahun belakangan eksistensi premium tak seramai dulu. Ia tergantikan oleh Pertalite dan Pertamax. Namun, meski langka dan sulit ditemukan, masyarakat masih rela antri di depan SPBU yang menyediakan Premium. Sebab, tak semua SPBU memiliki stok Premium berlimpah.
Dengan alasan perluasan realisasi program Langit Biru Pertamina, kebijakan menghapus BBM bersubsidi ini akan diberlakukan di tiga wilayah besar, yaitu Jawa, Madura, dan Bali (Jamali). Program Langit Biru merupakan agenda Pertamina dalam rangka mengurangi kadar emisi gas buang kendaraan bermotor.
Melalui program Langit Biru, Pertamina mendorong masyarakat agar beralih ke BBM yang kadar oktannya lebih baik karena ramah lingkungan, udara lebih bersih, dan berdampak positif bagi mesin kendaraan. Sayangnya, harga Pertalite dan Pertamax yang cenderung lebih mahal membuat masyarakat enggan beralih dari Premium.
Ekonom asal Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan wacana penghapusan BBM Premium hanya satu formalitas saja. Itu karena dalam beberapa tahun terakhir stok BBM Premium sulit ditemukan di sejumlah SPBU. Dia menilai, kelangkaan ini menjadi bagian dari upaya pemerintah mengalihkan konsumsi masyarakat dari Premium ke Pertalite dan Pertamax.
Dampak Penghapusan Premium
Sepintas, program Langit Biru yang digagas Pertamina memang bagus jika tujuannya untuk mendorong penggunaan BBM ramah lingkungan. Hanya saja, penghapusan Premium yang tidak diimbangi dengan perubahan harga pada Pertalite dan Pertamax, hal itu hanya akan memberatkan rakyat terlebih di ekonomi sulit saat pandemi seperti ini.
Jika harga Pertalite dan Pertamax tidak turun, maka akan berimbas pada kebutuhan pokok yang turut naik. Sejauh ini, masyarakat sudah terbiasa menggunakan BBM Premium dengan alasan meminimalisir pengeluaran. Hampir seluruh aktivitas ekonomi masyarakat berkaitan erat dengan bahan bakar minyak. Jika harga Pertalite dan Pertamax tetap tinggi, bukankah ini akan memperparah kondisi ekonomi di masa pandemi? Daya beli masyarakat bisa semakin rendah, pedagang yang tak mampu bertahan juga terancam gulung tikar.
Pertamina selaku pemain utama penyediaan bahan bakar minyak bagi rakyat mestinya mempertimbangkan hal itu.
Liberalisasi Migas
Diketahui, Pertamina melakukan restrukturisasi, termasuk membentuk lima subholding, untuk menjawab tren permintaan energi global yang beralih dari bahan bakar fosil ke ramah lingkungan. Staf Khusus Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Arya Sinulingga mengatakan perusahaan sedang mengembangkan usahanya ke bisnis energi yang lebih luas.
Pertamina telah membentuk subholding untuk mempercepat pengambilan keputusan. “Seperti kapal besar, dia (Pertamina) tidak fleksibel, maka perlu dipecah menjadi subholding-subholding,” katanya dalam diskusi virtual, Kamis (22/10).
Pembentukan subholding sebenarnya telah masuk dalam perencanaan pada 2014. Langkah awalnya adalah melakukan integrasi dengan PT Perusahaan Gas Negara Tbk di akhir 2018. (Katadata.co.id, 22/10/2020)
Restrukturisasi yang dilakukan Menteri BUMN, Erick Thohir terhadap Pertamina membuka peluang liberalisasi sektor migas. Erick Thohir menargetkan 2 subholding yang dibawahi PT Pertamina sebagai Holding Migas harus sudah menjadi perusahaan terbuka dalam 2 tahun.
Keputusan ini diambil Erick usai melakukan perombakan pada struktur holding di dalam PT Pertamina dalam rapat umum pemegang saham tahunan (RUPST). (Tirto.id, 12/6/2020)
Apa konsekuensi upaya subholding tersebut? Pertamina akan menjadi perusahaan terbuka alias Go Public. Go Public atau sering disebut juga Penawaran Umum adalah kegiatan penawaran saham yang dilakukan oleh perusahaan kepada masyarakat (publik). Dengan menawarkan saham kepada publik, maka perusahaan tersebut akan tercatat di bursa menjadi perusahaan publik / terbuka.
Itu berarti pintu liberalisasi sektor migas terbuka lebar setelah wajah Pertamina diubah menjadi perusahaan terbuka. Siapa saja yang bermodal besar memiliki peluang menanamkan saham di Pertamina. Siapa mereka? Tentu saja para pengusaha kapitalis.
Penghapusan Premium agaknya sejalan dengan holding migas yang direncanakan Erick. Dengan begitu, Pertamina bukanlan pemain satu-satunya dalam bisnis sektor migas. Meski secara hilir, nama Pertamina masih mendominasi di sebaran SPBU yang ada di Indonesia. Namun, dalam sektor hulu, adakah jaminan Pertamina masih menjadi pemain tunggal mengelola migas?
Paradigma kapitalisme para penguasa negeri ini terlalu mengakar kuat. Untuk urusan hajat hidup masyarakat saja mereka memandangnya sebagai ceruk bisnis. Segalanya bisa dibisniskan asal menguntungkan.
Premium dianggap tidak menguntungkan. Sudahlah kualitasnya tidak bagus, mencemari lingkungan, dan berstatus subsidi. Kata ‘subsidi’ memang tidak disenangi para kapitalis. Sebab hal itu akan merugikan dan mengurangi profit mereka.
Kapitalisme membuka pasar liberalisasi migas. Didukung UU Minerba lalu diamani pejabat negara prokapitalis liberal. Lengkap sudah. Dan rakyat, hanya jadi bulan-bulanan keserakahan kepentingan kapitalis.
Migas adalah Kekayaan Milik Umum
Menurut Islam, minyak dan gas bumi adalah kekayaan alam milik umum. Pengelolaannya tidak boleh dipindahtangankan kepada individu atau swasta. Pengelolaannya harus diserahkan kepada negara agar hasilnya dikembalikan kepada rakyat sebagai pemilik atas kekayaan tersebut.
Rasulullah Saw. bersabda: “Kaum muslim itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api.” (HR. Abu Daud). Larangan penguasaan harta milik umum yang jumlahnya banyak berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Abidh bin Hamal al-Mazaniy, “Sesungguhnya dia bermaksud meminta (tambang) garam kepada Rasulullah. Maka beliau memberikannya. Tatkala beliau memberikannya, berkata salah seorang laki-laki yang ada di dalam majlis, ‘Apakah engkau mengetahui apa yang telah engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya apa yang telah engkau berikan itu laksana (memberikan) air yang mengalir’. Akhirnya beliau bersabda: ‘(Kalau begitu) tarik kembali darinya’”. (HR. Tirmidzi)
Syekh Abdul Qadim Zalum menjelaskan dalam kitab Al-Amwal fi Daulah Khilafah, tindakan Rasulullah Saw. yang meminta kembali (tambang) garam yang telah diberikan kepada Abidh bin Hamal dilakukan setelah mengetahui bahwa (tambang) garam tersebut jumlah (deposit)-nya sangat banyak dan tidak terbatas.
Tersebab migas membutuhkan tahapan proses yang panjang dan berdana besar, seperti pengeboran, penyulingan, dan pendistribusian, maka negaralah yang diserahi kewenangan tersebut untuk mengelolah dan mendistribusikannya kepada masyarakat.
Tujuan pendistribusian minyak ke rakyat bukan untuk berbisnis, namun untuk memenuhi hajat hidup masyarakat. Dengan begitu, biaya yang dikenakan atas BBM untuk masyarakat bisa murah bahkan gratis. Tidak ada tujuan komersialisasi dalam pengelolaan kekayaan milik umum dalam Islam. Semua harus dikembalikan hasilnya kepada masyarakat.
Selain itu, negara juga akan memastikan hasil penyulingan minyak benar-benar berkualitas dan ramah lingkungan. Dengan pengelolaan migas berdasarkan syariat Islam, semua aspek diperhatikan. Baik dari sisi lingkungan, pengelolaan hingga pendistribusiannya. ***
More Stories
Dampak Pemidanaan Guru oleh Ortu Siswa Terhadap Keberlangsungan Pendidikan Masa Depan
Sumber Daya Alam Melimpah, Mengapa Rakyat Susah?
KURSUS ALKITAB GRATIS YANG MENGUBAH KEHIDUPAN