Oleh: Chusnatul Jannah
(Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)
“Saya putuskan bahwa saya akan demonstrasi. Karena mendiamkan kesalahan adalah kejahatan”, Soe Hok Gie.
Gelombang penolakan publik terhadap UU Omnibus Law Ciptaker yang menggema beberapa hari terakhir masih menyisakan polemik. Delapan orang aktivis KAMI ditangkap. Tiga diantaranya adalah petinggi KAMI, yaitu Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, dan Anton Permana. Tak lama setelah ditangkap, mereka ditahan dengan status tersangka karena melanggar UU ITE. Berawal dari pesan grup Whatsapp yang diduga isinya menghasut massa dan mengandung SARA. Bagaimana isi pesannya juga masih kabur.
Bukan hanya aktivis KAMI, Sebanyak 10 kader Pelajar Islam Indonesia (PII) dan 6 kader Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) ditangkap aparat kepolisian di Polda Metro Jaya. Hal itu terjadi usai oknum polisi melakukan perusakan hingga penganiayaan terhadap orang-orang yang berada di Kompleks kantor GPII dan PII yang berlokasi di Jalan Menteng Raya Nomor 58, Jakarta Pusat, Selasa (13/10/2020) kemarin. (Suara[dot]com, 14/10/2020)
Sungguh reaksi berlebihan untuk ukuran kritik kepada penguasa. Mestinya penguasa itu lebih bisa berpikir jernih. Mengapa banyak terjadi demo? Mengapa pemerintah kerap dikritik hampir semua kalangan masyarakat? Tidakkah mencoba untuk evaluasi diri? Sadar diri. Tak akan ada reaksi bila tak dimulai dengan aksi. Semua ini berpangkal dari kekecewaan masyarakat akibat keputusan gegabah dan nafsu kepentingan yang menggebu.
Kebijakan yang selama ini lebih prokapitalis membuat kemarahan publik memuncak. Lebih parah lagi, penguasa menjawab kemarahan itu dengan ‘pukulan sakti’. Ya, UU ITE menjadi senjata ampuh membungkam lawan. Suara rakyat dipersekusi dengan tuduhan ujaran kebencian, merongrong perdamaian, mengancam NKRI, dll.
Menjawab kritik publik dengan jeratan UU ITE bukanlah hal baru di rezim hari ini. Hal ini sudah terjadi berulang kali. Tatkala oposisi mengkritik, kasus cepat ditangani. Manakala pihak pr penguasa melakukan ujaran kebencian terhadap kelompok masyarakat yang kontra rezim, kasus itu menguap begitu saja.
Jika kritik dijawab dengan tuduhan atau bahkan fitnah, mau jadi apa negeri ini? Mau belajar otoriter ala Korea Utara? Atau mencoba represif seperti Cina? Bukankah negeri ini mengklaim sebagai negara hukum? Kok hukum dipakai suka-suka sesuai kepentingan tertentu? Di mana wajah keadilan hukum bagi rakyat Indonesia?
Kritik itu terjadi karena ada sebabnya. Kalau kritik tanpa sebab, itu namanya nggosip. Jika rakyat mengkritik, harusnya penguasa bersyukur. Sebab, kebijakan salah masih ada yang meluruskan. Bila rakyat mengkritik, mestinya penguasa senang. Oh, rupanya rakyatku perhatian. Setiap kebijakan yang kukeluarkan, ada yang mengevaluasi. Itulah negarawan sejati.
Jadi teringat perkataan Adolf Hitler (1889-1845), politikus asal Jerman. Ia pernah mengatakan, “Alangkah beruntungnya penguasa bila rakyatnya tidak bisa berpikir.” Bagi Hitler, memiliki rakyat bodoh itu suatu keberuntungan. Sebab, rakyat bodoh tidak akan mengkritik penguasanya. Kebijakannya selalu diiyakan. Kekuasaannya aman, tenang, dan tenteram. Sayangnya, rakyat Indonesia tidak semuanya bodoh. Masih banyak yang mau berpikir waras.
Kebijakan tidak masuk akal penguasa membuat rakyat lebih awal sadar dan paham. Kecuali mereka yang biasa menjilat sana-sini, tak akan menyadari kezaliman itu nampak telanjang. Blak-blakan dan keterlaluan.
Tidak perlu cerdas untuk tahu keculasan penguasa. Tak perlu hati bersih untuk tahu kepemimpinan represif hari ini. Anda hanya butuh sisi manusiawi melihat semua ini. Di luar istana sang raja, banyak rakyatnya meronta. Di bawah jabatan dan kuasa tirani, rakyat melawan demi sesuap nasi.
Tulisan ini untuk membela mereka yang dinista haknya. Mewakili mereka yang tak bisa bersuara. Tulisan ini hanya untuk mengingatkan para pemegang kuasa. Kekuasaan akan selalu dipergilirkan. Jangan angkuh dan merasa paling benar.
Hubungan penguasa dan rakyat bukan seperti majikan dan bawahan. Ikatan antara penguasa dan rakyat adalah pengurus dan yang diurus. Bagai ayah dan anak. Jika penguasanya lalim, akankah rakyat bisa alim? Bila penguasanya zalim, mungkinkah rakyat bisa hormat? Semua ini bermula lantaran kekuasaan disalahgunakan. Memanfaatkan kekuasaan hanya untuk menyenangkan para borjuis dan kapitalis.
Seandainya negeri ini diurus dengan cara Islam memimpin ,tentu keberkahan itu tercipta. Sebab, musuh Islam adalah kezaliman dan segala bentuk kemungkaran.
Pemimpin dalam sistem Islam tidak anti kritik. Justru ia senang dikritik. Sebagaimana keteladanan Khalifah Umar bin Khaththab ra. Beliau pernah berkata, “Orang yang paling aku sukai adalah orang yang mau menunjukkan kesalahanku.” Kewajiban mengoreksi penguasa zalim terdapat dalam sabda Rasulullah Saw, “Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar kepada pemimpin yang zhalim.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, Abu Dawud, al-Nasa’i, al-Hakim dan lainnya)
Sejatinya kritik itu mengandung kebaikan asal disampaikan sesuai fakta, lugas, dan benar. Pujian setinggi langit tanpa melihat benar-salah hanya akan menghancurkan kekuasaan itu sendiri. Tidak ada yang meluruskan, membenarkan, dan mengingatkan. Dosa bertumpuk, makin jauh dari kebenaran.
Halle Berry, seorang artis Hollywood yang meraih Razzie Award di ajang Oscar paling bergengsi, pernah berkata seperti ini: “Anda tidak berhak dipuji jika tidak bisa menerima kritikan.”
More Stories
Dampak Pemidanaan Guru oleh Ortu Siswa Terhadap Keberlangsungan Pendidikan Masa Depan
Sumber Daya Alam Melimpah, Mengapa Rakyat Susah?
KURSUS ALKITAB GRATIS YANG MENGUBAH KEHIDUPAN