Oleh: Ragil Rahayu, S.E.
ERA layanan kesehatan tanpa kelas akan segera datang di Indonesia. Kebijakan kelas standar bagi peserta BPJS Kesehatan bakal berlaku pada awal 2021 mendatang. Penerapannya akan dilakukan bertahap hingga akhir 2022. Kelas standar akan menggantikan sistem kelas 1, 2 dan 3 untuk peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) atau Bukan Pekerja (BP). Dengan demikian, seluruh peserta nantinya akan tergabung menjadi hanya satu kelas (cnbcindonesia, 20/9/2020).
Alasan pemerintah melebur kelas BPJS menjadi satu kelas standar adalah karena amanat UU SJSN. Pasal 19 UU SJSN menyatakan Jaminan Kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan ekuitas.nDalam hal ini, prinsip ekuitas berarti kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai kebutuhan medis yang tidak terikat besaran iuran yang telah dibayarkan.
Namun, benarkah demikian?
Nyatanya, selama ini ketika terjadi kenaikan iuran BPJS Kesehatan, peserta ramai-ramai turun kelas, demi menyelamatkan kantong yang sudah terkikis inflasi dan digebuk pagebluk. Opsi turun kelas menjadi pilihan paling realistis. Saat nantinya kelas dijadikan tunggal, tak ada lagi opsi turun kelas ketika penguasa menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Rakyat terkunci, tak bisa mencari solusi.
Menolak ikut BPJS? Itu melanggar Undang-undang. Karena dengan program Universal Health Coverage (UHC), semua warga negara Indonesia wajib menjadi peserta BPJS Kesehatan. Jika menolak, sanksi kependudukan siap menanti.
Bagaimana dengan opsi tidak membayar iuran BPJS atau keluar dari kepesertaan? Sayangnya, tunggakan iuran BPJS Kesehatan akan terus terakumulasi bak gunung nan menjulang. Sementara kepesertaan BPJS Kesehatan bersifat seumur hidup.
Jadi, tak ada opsi turun kelas, menunggak, keluar dari kepesertaan, atau yang lain. Hanya ada satu opsi, yaitu taat patuh pada penguasa. Meski semena-mena. Rakyat harus terus membayar iuran BPJS Kesehatan. Meski tak sakit. Meski tarifnya sering dinaikkan penguasa. Rakyat disuruh menganggapnya sedekah. Oh, sedekah yang diancam. Padahal, kantong rakyat sebenarnya sudah jebol dihajar pandemi. Namun, sekali lagi, rakyat tak punya opsi.
Apalagi aturan kelas tunggal nyatanya tak serta-merta mewujudkan kesehatan tanpa kelas. Ada pembedaan ruang rawat inap menjadi dua, yakni untuk peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan non-PBI. Berarti, layanan kesehatan tetap dibedakan berdasarkan kelas, yakni kelas iuran dan kelas gratisan. Jika termasuk yang gratisan (dan ini jumlahnya minoritas), siap-siap menerima layanan di bawah standar yang bayar iuran. Akhirnya jargon “ada uang, ada barang” dan “rega nggawa rupa” (harga menentukan kualitas) tetap ada di dunia kesehatan. Ada uang, rakyat dilayani standar. Tak ada uang, rakyat dilayani tak standar. Sungguh tak manusiawi.
Inilah layanan kesehatan sistem kapitalisme. Hitung-hitungan uang selalu digunakan acuan. Nyawa manusia seolah kalah berharga. Sayangnya, mengapa sistem tak punya hati seperti ini masih saja dipertahankan, padahal ada sistem Islam yang memanusiakan manusia?
Islam Memuliakan Nyawa Manusia
Dalam sistem Islam, hilangnya nyawa seorang muslim lebih besar perkaranya daripada hilangnya dunia. Dari al-Barra’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan disahihkan al-Albani).
Jangankan manusia, hewan pun dijamin keselamatannya dalam sistem Islam. Khalifah Umar Bin Khaththab Ra. pernah berkata, “Seandainya ada keledai yang mati karena terperosok di jalanan Madinah, tentu Umar akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak.” Khilafah menjamin kesehatan bagi seluruh rakyat tanpa melihat status ekonomi, sosial, agama, maupun yang lainnya. Semua dilayani dengan layanan kesehatan terbaik level dunia.
Begitu bagusnya rumah sakit dalam Khilafah, hingga menjadi favorit para pelancong asing yang ingin mencicipi sedikit kemewahan tanpa biaya, karena seluruh rumah sakit di Daulah Khilafah bebas biaya. Namun, pada hari keempat, bila terbukti mereka tidak sakit, mereka akan disuruh pergi, karena kewajiban menjamu musafir hanya tiga hari. (Alwaie, Februari 2020)
Layanan kesehatan dalam Khilafah bukan sekadar tanpa kelas, tapi juga gratis dan berkualitas. Dalam kapitalisme, gratis dan berkualitas laksana air dan minyak yang tak mungkin menyatu. Utopis. Dalam kapitalisme, ada uang pasien disayang, tak ada uang pasien “ditendang”.
Dalam Khilafah, layanan kesehatan gratis berkualitas untuk semua orang terwujud nyata. Bukan lagi utopia. Jejak sejarahnya terus ada tak tergerus masa, meski berlalu berabad-abad lamanya. Pada zaman pertengahan misalnya, hampir semua kota besar Khilafah memiliki rumah sakit. Di Kairo, rumah sakit Qalaqun dapat menampung hingga 8.000 pasien. Rumah sakit ini juga sudah digunakan untuk pendidikan universitas serta untuk riset. Rumah sakit ini tidak hanya untuk yang sakit fisik, namun juga sakit jiwa. Di Eropa, rumah sakit semacam ini baru didirikan veteran Perang Salib yang menyaksikan kehebatan sistem kesehatan di Timur Tengah.
Semua rumah sakit di dunia Islam dilengkapi tes-tes kompetensi bagi setiap dokter dan perawatnya, aturan kemurnian obat, kebersihan, dan kesegaran udara, sampai pemisahan pasien penyakit-penyakit tertentu. (Fahmi Amhar, Februari 2020). Ajaibnya, kecanggihan rumah sakit Khilafah ini bisa dinikmati semua orang secara gratis. Obat yang dibawa pulang pun cuma-cuma.
Rakyat yang berobat ke rumah sakit Khilafah tidak akan ditanya status kepesertaan BPJS Kesehatan. Semua langsung dilayani berdasarkan level kedaruratan. Ketika pasien pulang, tak perlu menebus obat yang mahal, karena obat tersebut digratiskan negara. Sungguh layanan kesehatan yang paripurna. Membuat bahagia warga negara. Semoga segera mewujud nyata. Aamiin. Wallahu a’lam bishshawab. [MNews]
Layanan Kesehatan Berkualitas, Bukan Sekadar Tanpa Kelas
More Stories
Dampak Pemidanaan Guru oleh Ortu Siswa Terhadap Keberlangsungan Pendidikan Masa Depan
Sumber Daya Alam Melimpah, Mengapa Rakyat Susah?
KURSUS ALKITAB GRATIS YANG MENGUBAH KEHIDUPAN