Surabaya, KabarGRESS.com – Dalam rangka Dies Natalis ke-56 Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS) dengan tema “Bersama seluruh komponen bangsa, UKWMS berkomitmen untuk mewujudkan generasi Emas yang berdaya saing”. Diselenggarakan Talkshow dan Bedah Buku pada 9 September 2016 pkl. 13.00-15.00 di lokasi Auditorium Lantai 4 Gedung Benedictus Kampus UKWMS Dinoyo. Buku yang dibedah adalah sebuah otobiografi yang ditulis oleh Wu Da Ying, Ph.D dan Peilin Ngo, J.D tentang pengembaraan seorang Tionghoa-Indonesia melintasi rasisme, kebangsaan dan sains.
Baskara T. Wardaya,SJ, dalam pengantarnya untuk buku itu menyebutkan “sebagaimana jamak dikatakan, pengalaman adalah guru yang terbaik. Bagaikan seorang guru, pengalaman dapat mengajarkan banyak hal kepada “murid”-nya. Akan menjadi lebih baik jika “guru” itu tidak hanya memperluas pengetahuan satu orang murid saja, melainkan sebanyak mungkin murid. Demikian juga pengalaman pribadi dapat menjadi “guru” bagi kita yang membacanya,”.
Perjalanan Wu Da Ying memang penuh lika-liku, mulai dari lahir dan dibesarkan di daerah Lumajang yang terletak di dekat kaki Gunung Semeru, Jawa Timur hingga akhirnya menjadi ilmuwan biokimia di Kanada yang karyanya mendunia. Tragedi ’65 menantangnya untuk bangkit, membuang cara pandang lama dan menembus badai menuju hidup baru. Sepanjang hidupnya sang penulis berusaha mengatasi berbagai macam tantangan dan hambatan dalam suatu pengembaraan panjang mengatasi rasisme, tinggal di negeri orang, sekaligus mempelajari sebuah cabang ilmu pengetahuan yang sangat spesifik yakni Biokimia.
“Di sepanjang hidupku, selain kerabat, aku bertemu banyak teman baru dan orang-orang yang luar biasa. Aku bertemu mereka ketika berjuang sebagai pelajar dan seorang imigran baru yang berupaya mengukuhkan pijakan di Negara baru. Aku tidak membawa ketrampilan atau kekayaan apapun, hanya keyakinan bahwa pendidikan adalah penyelamatku.” Ungkap Wu Da Ying, Ph.D. yang menamatkan studi S3 nya tanpa melewati S2 berkat beasiswa ini.
Wu Da Ying, Ph.D. yang juga dikenal dengan That Tjien Ngo, Ph.D., ini awalnya menempuh pendidikan awalnya di sekolah Tionghoa-Indonesia di Jawa Timur. Setelah tinggal sebentar di Jakarta, ia hijrah ke Kanada memasuki Universitas Saskatchewan dan mendapat gelar B.Sc. (kehormatan) pada tahun 1970 dan menyelesaikan Ph.D. di bidang Biokimia pada tahun 1973. Ia terpilih sebagai Fellow of the American Institute of Chemists (FAIC) tahun 1991; Fellow of the National Academy of Clinical Biochemistry (FACB) tahun 2005; dan Fellow of the Royal Australian Chemical Institute (FRACI) tahun 2006.
Ia telah mempublikasi sekitar seratus empat puluh artikel Biokimia, tujuh buku teks berkaitan dengan biokimia dan empat buku masak.Penghargaan yang ia peroleh antara lain; Universitas Saskatchewan Graduate Scholarship (1970-1973), Society of Chemical Industry Merit Award (1970), Most Innovative Biotechnology Product by University of California, San Diego oleh CONNECT, tahun 1992, untuk temuannya Avid AL-Affinity Chromatographic Product.
Ia pernah menjadi dewan editorial untuk jurnal: Applied Bio-chemistry and Biotechnology (1981-2004), Journal of Immunoassay & Immunochemistry (1992-2009), Analytical Letters (1992-sekarang), Clinical Biotechnology (1992), Journal of Liquid Chromatography (1992). Ia me-review artikel-artikel yang diajukan untuk dipublikasi di Analytical Biochemistry, Journal of Chromatography, Journal of Immunological Methods, Journal of Immunoassay, Applied Biochemistry and Biotechnology, Biotechniques, Analytical Letters, Biosensors & Bioelectronics, Canadian Journal of Biochemistry, Agricultural and Food Chemistry, Research Corporation, Israeli Academy of Sciences, National Science and Engineering Research Council of Canada.
Setelah melalui berbagai pembuktian, satu persatu temuannya di bidang biokimia mendapatkan pengakuan, dipatenkan, bahkan dibeli hak produksi massalnya oleh perusahaan alat kesehatan ternama dunia. “One Touch Glucose Strip adalah sebuah alat pengukur gula darah berbentuk sebatang lembaran kertas seukuran dua ruas jari orang dewasa. Cara kerjanya adalah dengan meneteskan darah ke atas lembar kecil tersebut kemudian dimasukkan ke dalam alat pembaca hasil. Sepintas terdengar sederhana, namun berhasil menyingkat proses pengujian gula darah model konvensional yang makan waktu lama dan beresiko kurang akurat. Dalam berkarya kita harus melihat apa yang ada di sekeliling kita, karena dari situlah kita terkadang bisa menemukan solusi untuk masalah yang ada, tidak perlu muluk-muluk tapi bermanfaat bagi banyak orang,” ungkap Wu Da Ying tentang salah satu karyanya yang dipatenkan kepada peserta talkshow yang mayoritas adalah mahasiwa dan siswa dari berbagai SMA di Surabaya.
Dalam kesempatan ini, Wu Da Ying menyampaikan keprihatinannya tentang generasi muda Indonesia. Pria berusia sekitar tujuh puluh tahunan ini melihat bahwa banyak anak muda Indonesia saat ini yang menuntut orang tuanya untuk memberikan dukungan penuh dalam segala hal. “Ini rupanya juga membedakan etos kerja mereka nantinya. Saat merantau di Eropa dan Kanada, saya melihat sendiri bahwa pelajar membayar sendiri biaya sekolah mereka. Orang-orang ini belajar karena memang ingin mendapat ilmu, bukan karena disuruh oleh orang lain. Mereka memperjuangkan jalan mereka sendiri dan itu adalah hal yang umum serta wajar di sana. Saya tahu di sini mungkin akan lebih sulit dilaksanakan, atau bahkan dianggap aneh, namun budaya kemandirian seperti itu adalah salah satu bentuk kebiasaan yang patut kita contoh,” pungkasnya. (ro)
More Stories
Mampu Yakinkan Panelis, Mei Diunggulkan Jadi Rektor Unitomo
Wagub Emil, Tokoh-tokoh NU dan Muhammadiyah Hadir di Wisuda STIT Islamiyah KP Paron
FK UKWMS Melantik Dekan Baru