19/06/2025

Jadikan yang Terdepan

Sudut Pandang Syariat Solusikan Raja Ampat

Oleh Irma Faryanti
Pegiat Literasi

Raja Ampat, wilayah yang dikenal dengan julukan “Sepenggal Surga di Bumi” ini tengah menjadi sorotan. Pasalnya daerah yang bertempat di Papua Barat Daya tersebut dicemari oleh aktivitas penambangan nikel. Keberadaannya berpotensi melanggar ketentuan pidana, masyarakat setempat pun melakukan protes keras, karena keberadaannya merusak lingkungan setempat. Selain itu aroma korupsi pun semakin kuat tercium.

Herdiansyah Hamzah, seorang peneliti Pusat Studi Anti Korupsi dari Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur mengungkapkan tentang Kepulauan Raja Ampat yang masuk ke dalam kualifikasi pulau yang dilindungi oleh undang-undang, yaitu UU no 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Yang pada pasal 35 huruf k, melarang melakukan penambangan mineral yang menimbulkan kerusakan ekologis, mencemari lingkungan dan merugikan masyarakat setempat. Bahkan sanksinya adalah hukuman penjara selama 10 tahun (ww.metrotvnews.com, Sabtu 7 Juni 2025)

Terkait hal ini, Herdiansyah juga mempertanyakan izin pertambangan yang dikeluarkan pemerintah kepada PT GAG nikel. Jika di dalamnya ada persekongkolan, maka jelas mengarah pada tindak pidana korupsi. Karena di dalamnya ada tawar menawar antara otoritas pemberi dan penerima perizinan. Sehingga berpeluang terjadinya suap dan gratifikasi.

Sebelumnya, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menemukan lima perusahaan tambang nikel yang melakukan pelanggaran serius di Raja Ampat. Mereka adalah PT GAG Nikel, Kawei Sejahtera, Anugerah Surya Pratama, Mulia Raymond Perkasa dan PT Nurham. Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq mengungkapkan bahwa dari keempatnya, satu di antaranya tidak memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP).

Seperti PT Mulia Raymond Perkasa yang didapati tidak memiliki dokumen lingkungan dan PPKH (Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan) dalam aktivitasnya di pulau Batang Pele. Begitu juga dengan PT Kawei Sejahtera Mining, mereka membuka tambang di luar perizinan, padahal total lokasi penambangan mencapai 5 hektare di pulau Kawe.

Lain halnya dengan PT Anugerah Surya Pratama, yang melakukan aktivitas pertambangan di Pulau Manuran dengan lahan seluas kurang lebih 746 hektare, namun tidak disertai dengan sistem manajemen lingkungan dan pengelolaan air limbah larian. Sementara PT GAG Nikel dianggap telah melanggar Undang-undang nomor 1 tahun 2014, tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pihak BPLH sendiri menegaskan akan mencabut izin jika terbukti merusak ekosistem.

Bahkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia secara langsung melakukan peninjauan aktivitas tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya tersebut. Setelah mendapatkan laporan bahwa kegiatan itu telah merusak kawasan perairan dan mengancam sektor pariwisata di wilayah yang terkenal dengan keeksotisannya ini.

Jika dilihat dari segi kurun waktu, kegiatan ini telah berlangsung lama. Bahkan kerusakannya telah sangat jelas, deforestasi semakin tidak terkendali, wilayah perairan mengalami sedimentasi yang berat, dan sekitar 11.700 hektare hutan primer di Raja Ampat telah hilang. Padahal wilayah ini dikenal sebagai rumah bagi 75% spesies terumbu karang dunia, dengan kekayaan ekosistem laut dan keragaman hayati. Parahnya lagi, lebih dari 50 ribu jiwa terampas ruang hidupnya, yaitu mereka yang bergantung pada kekayaan alam di sana.

Mirisnya, sekalipun negara menetapkannya sebagai kawasan konservasi dan hutan lindung, namun faktanya pemerintah lah yang memberi izin pada perusahaan-perusahaan tambang untuk terus beroperasi. Eksplorasi nikel sebetulnya telah berlangsung sejak zaman Belanda (1920-1958) yang kemudian dinasionalisasi pada masa orde baru. Setelah sempat mengalami beberapa pergantian pemilik izin perusahaan, terbitlah berbagai kontrak karya (1990), salah satunya PT GAG Nikel yang merupakan anak perusahaan PT Antam.

Inilah gambaran merajalelanya sistem oligarki di negeri ini. Para elite kekuasaan bekerjasama dengan pemilik modal untuk merampas hak rakyat dengan mengatasnamakan investasi dan pembangunan berbasis eksploitasi SDA. Juga diharapkan bisa ditujukan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Seperti yang telah diketahui bersama, hilirisasi sektor pertambangan tengah gencar dilakukan karena dianggap sebagai tulang punggung pengembangan ekosistem baterai kendaraan listrik di masa depan. Sebuah bisnis yang dianggap sangat menjanjikan walaupun harus mengorbankan banyak hal seperti: kerusakan alam, perampasan ruang hidup masyarakat juga kedaulatan rakyat atas tanah airnya.

Sayangnya, Raja Ampat hanyalah satu dari sekian banyak kasus yang terjadi dan muncul ke permukaan. Sisanya menguap begitu saja tanpa ada kejelasan karena tertutupi isu lainnya. Itupun baru dari nikel saja, masih ada kasus tambang emas, batubara, sawit dan lain sebagainya. Pemerintah bahkan telah memetakan 28 komoditas lainnya untuk dipacu proses hilirisasinya. Dengan dalih, bisa mendatangkan potensi pendapatan negara senilai ribuan miliar dolar Amerika. Sesumbar akan menyerap jutaan tenaga kerja, tapi nyatanya tidak lebih sekedar bagi-bagi kekuasaan.

Dari sini nampak jelas adanya kesalahan paradigma kepemimpinan yang sangat kental dengan ideologi kapitalisme dengan segala turunannya termasuk sekularisme dan liberalisme. Dalam sistem ini, penguasa terpilih adalah mereka yang meraih kursi kekuasaan dengan proses yang berbiaya mahal. Dengan kekuatan modal dan berbagai konflik kepentingan, akhirnya berpengaruh besar pada pembuatan kebijakan politik yang ditetapkan. Alih-alih ditujukan untuk kepentingan rakyat, para pemimpin itu justru menjadi pelayan bagi para pemodal yang mensponsori kekuasaan yanh mereka raih.

Berbeda dengan Islam, yang menjadikan hubungan antara penguasa sebagai pengurus dan pengayom dapat sejalan dengan kontribusi masyarakat dalam membangun peradaban. Keduanya bersinergi dan saling menguatkan dan berpijak di atas landasan keimanan. Syariat yang berasal dari Sang Pencipta akan diterapkan secara keseluruhan dan menjadi berkah bagi semesta alam. Allah Swt. berfirman dalam QS al A’raf ayat 96, yang artinya: “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.”

Seorang penguasa harus menjalankan fungsinya sebagai pengayom rakyat, termasuk dalam hal pengelolaan tambang, yang wajib ditujukan untuk kemaslahatan umat dan kemuliaan Islam. Bukan demi kepentingan para pemilik modal yang hanya mementingkan keuntungan materi dan abai terhadap kerusakan yang ditimbulkan.

Syariat juga telah menetapkan aturan yang menjamin kesejahteraan dan keadilan. Berbagai aspek seperti: politik, pemerintahan, dan ekonomi termasuk masalah kepemilikan juga persanksian, semua diatur di dalam Islam. Namun keberadaannya baru akan terlaksana sempurna ketika ditegakkan dalam naungan sistem kepemimpinan, yang kehadirannya menjadi janji Allah dan akan segera terwujud dalam waktu dekat.

Untuk menegakkan kepemimpinan ideal tersebut tentu memerlukan upaya keras dan bersungguh-sungguh. Yaitu dengan menggencarkan dakwah untuk memahamkan umat, sehingga terbentuk kesadaran untuk bersama-sama mewujudkannya. Wallahu alam Bissawab