
Oleh Arini Faiza
Pegiat Literasi
Kedatangan Presiden Prancis Emmanuel Macron beberapa waktu lalu disambut dengan upacara penghormatan di Istana negara oleh Presiden Prabowo Subianto. Dalam Lawatan yang berlangsung selama tiga hari itu, dibahas berbagai isu strategis mulai dari peningkatan investasi, hilirisasi mineral penting untuk ekosistem kendaraan listrik, hingga kerjasama dalam penyelesaian perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif Indonesia-Uni Eropa (IEU-CEPA). Di samping untuk memperkuat hubungan bilateral kedua negara yang sudah berlangsung selama 75 tahun, juga demi menghasilkan kesepakatan strategis yang mencakup sektor energi, infrastruktur, kesehatan, hingga kebudayaan. (www.tempo.co, 30/05/2025)
Indonesia tampaknya masih menggantungkan asa kemajuan negeri ini pada negara asing. Hal ini terbukti dari banyaknya perjanjian kerjasama dengan Prancis yang diharapkan akan berdampak positif bagi negeri ini di tengah pasar global yang tidak menentu. Sekaligus mempercepat pertumbuhan ekonomi hingga 8% demi mewujudkan visi Indonesia emas di tahun 2045 mendatang.
Namun, berkaca dari banyaknya kesepakatan yang dilakukan dengan negara-negara asing sebelumnya, yang paling diuntungkan dari berbagai kerjasama politik, ekonomi, budaya, maupun pertahanan sejatinya bukanlah negeri ini. Sebab, meski hubungan yang terjalin adalah kemitraan strategis atau kerjasama, nyatanya posisi Indonesia sebagai negara berkembang yang harus tunduk pada kebijakan politik, ekonomi maupun budaya tidak setara dengan Prancis yang merupakan salah satu raksasa Eropa yang lekat dengan imperialisme.
Kunjungan Macron ke Indonesia tampaknya berhasil menancapkan pengaruh besar dalam berbagai bidang. Dalam hal politik misalnya, Prancis berhasil mempengaruhi pemerintah untuk mewacanakan kemungkinan normalisasi hubungan dengan Zioni*s dan mendukung solusi dua negara bagi rakyat Palestina. Sementara di bidang pertahanan, mereka sangat berkepentingan, sebab posisi Indonesia sangat strategis karena berada di kawasan Indo-Pasifik yang menjadi titik pertarungan negara-negara besar, seperti AS, China, dan India.
Adapun di bidang ekonomi, Perancis sangat jeli menyasar sektor-sektor strategis yang selama ini didominasi oleh Tiongkok. Atas nama investasi dan bantuan pembangunan infrastruktur, sepertinya mereka tengah berusaha menjadi pesaing negeri tirai bambu tersebut. Mereka sangat paham bahwa perekonomian Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Beban keuangan negara sangat berat akibat kebijakan populis yang menyedot anggaran fantastis tetap dipaksakan berjalan, meski berbagai lembaga telah melakukan efisiensi. Maka tidak heran, jika kedatangan Macron beserta rombongan dengan berbagai tawarannya disambut dengan sukacita, dan penghormatan luar biasa, sebab kedatangan mereka bak angin segar di tengah kegalauan pemerintah mencari tambahan modal.
Kebijakan pemerintah Indonesia yang cenderung tunduk pada kebijakan Asing merupakan cerminan dari penerapan sistem kapitalisme. Dalam paradigma ini, negara manapun yang memiliki modal dan pengaruh besar maka dia lah yang akan berkuasa dan mampu memaksa pengikutnya untuk mengikuti semua keinginannya. Ini adalah penjajahan gaya baru yang juga tidak kalah berbahayanya dengan penjajahan fisik.
Negeri ini tidak akan mampu melepaskan diri dari hegemoni Barat selama sistem demokrasi kapitalisme tetap digunakan untuk mengatur kehidupan. Sebab aturan ini sudah terbukti melahirkan pemimpin-pemimpin yang sibuk dengan pencitraan, sementara kebijakan populisnya tidak menyentuh akar permasalahan rakyat yang sebenarnya.
Sungguh berbeda dengan aturan Islam, apabila diterapkan dalam sebuah institusi negara, keberadaannya dapat memberi kesejahteraan secara paripurna. Sebab, pemimpin yang tercipta dari sistem ini adalah orang-orang yang jujur, amanah, dan takut kepada Allah Swt. Karena menyadari bahwa kekuasaan yang ia miliki akan dimintai pertanggungjawaban yang berat kelak di akhirat. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw. :
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya”. (HR Bukhari dan Muslim)
Negara yang menerapkan aturan Islam secara menyeluruh memiliki divisi politik luar negeri yang akan menyebarkan risalah Islam ke seluruh dunia agar dapat menjadi Rahmat bagi seluruh alam. Memetakan mana saja yang berkategori negeri kufur tetapi boleh bekerja sama, dan yang harus diperangi baik secara de jure (hukman) maupun de facto (fi’lan).
Negara seperti Inggris, Prancis, Amerika Serikat sudah jelas sebagai negeri kufur muhariban fi’lan karena secara langsung maupun tidak langsung telah memerangi kaum muslimin. Dengan cara terang-terangan membantu Israel dalam genosida warga Gaza. Oleh sebab itu negara Islam tidak akan melakukan kerjasama apapun dengan negara-negara tersebut, apalagi bergandengan tangan, karena itu adalah wujud pengkhianatan terhadap Allah Swt. dan Rasulullah saw. juga saudara seiman yang sedang tertindas.
Pemimpin Islam tidak akan sudi berjabat tangan dengan mereka yang tangannya berlumuran darah saudaranya. Sebaliknya, mereka akan menjadi garda terdepan dalam membela umat Islam yang diperangi, dengan cara mengerahkan tentara dan senjata hingga penjajahan benar-benar musnah dan kemuliaan kembali kepada kaum muslimin.
Sedangkan untuk mengentaskan permasalahan ekonomi, penguasa Islam tidak memerlukan uluran tangan asing yang jelas-jelas mencari untung besar. Melainkan memaksimalkan pengelolaan sumber daya alam secara mandiri, dan hasilnya digunakan untuk menjamin berbagai kebutuhan pokok rakyat seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, keamanan dan lain sebagainya.
Penerapan syariat Islam secara total telah terbukti berhasil mewujudkan kesejahteraan umat selama 13 abad. Sebaliknya, ketika kapitalisme dijadikan landasan kehidupan kesengsaraan, penindasan, ketidakadilan dan berbagai kezaliman yang senantiasa dirasakan. Lalu masihkah kita berharap pada sistem kufur ini? Wallahu alam bishawab.
More Stories
Haji dan Pancasila: Menyatukan Nilai Keagamaan dan Kebangsaan
KPK sedang Mainkan Jurus Apa? Ketika Geledah Rumah La Nyalla
Antara DPD RI dan Mosi Integral Natsir