15/04/2025

Jadikan yang Terdepan

Data Administratif dan Realita Beda Jauh, Dewan Desak Pemkot Surabaya Sinkronisasi Angka Kemiskinan Ekstrim

Surabaya, KABARGRESS.com – Klaim Pemerintah Kota Surabaya terkait nihilnya angka kemiskinan ekstrem mendapat sorotan tajam dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Surabaya. Dalam rapat Panitia Khusus (Pansus) Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) bersama Dinas Sosial, Kamis (10/04/2025), sejumlah anggota dewan menyuarakan keprihatinan atas ketimpangan antara data administratif dan realitas keseharian warga.

Sekretaris Pansus LKPJ, Ajeng Wira Wati, menyebut bahwa data resmi yang menyatakan angka kemiskinan ekstrem di Surabaya telah mencapai nol persen masih jauh dari kenyataan. Ia menegaskan bahwa di banyak wilayah kota, masih ditemukan masyarakat miskin yang tidak tercatat secara administratif dan tidak menerima bantuan sosial sebagaimana mestinya.

“Yang kami lihat di lapangan tidak sesuai dengan klaim yang disampaikan. Banyak warga miskin yang tidak masuk data, karena kurangnya edukasi dan lemahnya sistem pendataan,” ujar Ajeng usai rapat.

Menurutnya, banyak kendala teknis dan sosial yang membuat warga miskin tercecer dari data pemerintah. Misalnya, warga yang tinggal di rumah kontrakan atau kos-kosan kerap luput dari pendataan karena domisili mereka tidak sesuai dengan alamat KTP.

“Metodologi survei yang hanya mengacu pada data KTP itu problematik. Banyak warga yang tinggal berpindah-pindah, jadi mereka tidak terdeteksi sebagai penerima manfaat,” tambahnya.

Ajeng juga mengkritik standar garis kemiskinan nasional yang dianggap terlalu rendah untuk diterapkan di kota besar seperti Surabaya. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pendapatan di bawah Rp742.000 per kapita per bulan dikategorikan sebagai miskin. Namun, Ajeng menilai angka itu tidak realistis.

“Rp742.000 itu artinya sekitar Rp25.000 per hari. Tidak mungkin cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok di kota seperti Surabaya. Bahkan penghasilan Rp1,5 juta pun masih bisa dianggap miskin,” tegasnya.

Selain itu, Ajeng menyoroti kesalahan dalam penilaian kondisi warga berkebutuhan khusus. Ia mencontohkan kasus seorang penyandang disabilitas yang hidup sendiri namun masuk dalam kategori sejahtera. Menurutnya, ini mencerminkan rendahnya kualitas SDM dalam proses pendataan.

“Kami meminta Dinas Sosial dan kelurahan melakukan cross-check ulang. Ini bukan sekadar soal data, tapi soal keadilan sosial,” ujarnya.

Ajeng pun mendorong agar musyawarah kelurahan (muskel) diaktifkan kembali sebagai mekanisme lokal yang efektif untuk validasi kondisi sosial masyarakat. Ia berharap laporan dari warga terkait lansia, anak putus sekolah, maupun yang belum mendapat bantuan permakanan dapat segera direspons tanpa menunggu lama.

Sementara itu, Ketua Pansus LKPJ DPRD Surabaya, Budi Leksono, juga menyoroti peliknya proses pengurusan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) yang dibutuhkan untuk keperluan pendidikan anak dari keluarga kurang mampu.

“Kadang warga kesulitan dapat surat keterangan karena rumahnya peninggalan, padahal secara ekonomi mereka tidak mampu. Ini sering bikin mereka kesulitan akses ke pendidikan,” ungkap Budi.

Ia juga meminta agar sekolah dan lembaga pemerintah tidak semata-mata menilai kondisi rumah secara fisik, tapi melihat kondisi pendapatan riil keluarga. Budi menyarankan agar koordinasi antara sekolah dan instansi sosial dipercepat, terutama untuk jenjang SMA dan perguruan tinggi yang kerap tidak mendapatkan bantuan otomatis.

Di sisi lain, Kepala Dinas Sosial Kota Surabaya, Anna Fajriatin, mengakui bahwa persoalan utama ada pada ketidaksesuaian data antara pusat dan daerah. Ia menyebut bahwa saat ini ada tiga sumber data utama dari pemerintah pusat: DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial), P3KE, dan Regsosek.

“Data dari pusat ini tidak bisa kami ubah semaunya, karena harus dipertanggungjawabkan. Kadang masyarakat menganggap salah sasaran, padahal kami terbatas,” jelas Anna.

Ia menambahkan bahwa saat ini Dinas Sosial tengah memperbarui data melalui DTSN (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial Nasional) bersama para pendamping PKH. Ia berharap pembaruan ini bisa menghasilkan data yang lebih akurat dan responsif terhadap kondisi riil di masyarakat.

“Penilaian status kemiskinan itu kompleks. Tidak cukup hanya lihat kondisi rumah, tapi juga pengeluaran, akses sanitasi, listrik, dan jenis pekerjaan kepala keluarga,” terangnya.

Klaim nol persen kemiskinan ekstrem di Surabaya memang terdengar menjanjikan, namun di balik angka tersebut, masih banyak warga yang hidup dalam ketidakpastian. Kritik dari DPRD menunjukkan bahwa akurasi data, validasi di lapangan, serta respons cepat terhadap laporan warga adalah kunci menuju kesejahteraan yang sebenarnya. Angka bisa dihitung, tapi kesejahteraan harus dirasakan. Maka dari itu, reformasi sistem pendataan dan percepatan respons kebijakan menjadi pekerjaan rumah besar bagi Pemerintah Kota Surabaya ke depan. (ZAK)