Oleh Arini Faiza – Pegiat Literasi
Warga negara Asing asal China berinisial YH berhasil menggasak emas sebanyak 774,27 kg melalui aktivitas penambangan ilegal di Ketapang. Tak hanya itu, ia juga berhasil mengeruk cadangan perak di lokasi yang sama sekitar 937,7 kg, akibatnya Indonesia rugi 1,02 triliun.
Aktivitas penambangan ilegal juga terjadi di Nagari Sungai Abu, Kecamatan Gumanti, Kabupaten Solok Sumatera Barat. Nahas, aksi ini memakan korban karena longsor di tanah galian. Sebanyak 13 orang meninggal dunia, 25 masih tertimbun, dan 3 lainnya mengalami luka-luka. (cnn.indonesia.com, 29/9/2034)
Indonesia kaya akan berbagai sumber daya alam, termasuk emas dan perak. Peristiwa penambangan ilegal oleh WNA menunjukkan karut marutnya regulasi terkait SDA. Negara belum mampu memetakan kekayaan negeri ini, akibatnya marak terjadi penambangan liar yang berujung maut karena longsor di lokasi galian, bahkan negeri ini pun kecolongan ratusan kilo emas yang bernilai triliunan rupiah.
Negara semestinya memiliki data kekayaan atau potensi alam di wilayah tanah air dan memiliki kedaulatan dalam mengelolanya. Sehingga tambang dalam skala besar atau kecil dapat dimanfaatkan dengan baik.
Selain itu, pemerintah semestinya waspada terhadap pihak asing dan pihak lain yang berniat merugikan Indonesia, bukan malah mengobral eksploitasi SDA kepada negara lain atas nama investasi.
Selama ini kekayaan alam negeri ini seperti emas, perak, batu bara dan lain sebagainya, yang berupa barang mentah diekspor besar-besaran untuk mendukung industrialisasi negara lain. Mereka lah yang melakukan produksi, setelah menjadi produk jadi kemudian diimpor oleh Indonesia, dan masyarakat membelinya dengan harga yang tinggi.
Sungguh, hal ini tidak sesuai dengan amanat UUD 1945 yang menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kebijakan penguasa saat ini jauh dari apa yang dirumuskan oleh para pemimpin terdahulu.
Di Papua misalnya, sudah begitu lama PT Freeport mengeksploitasi emas, ratusan triliun rupiah keuntungan mereka dapatkan setiap tahunnya. Namun, hal ini tidak dirasakan oleh penduduk setempat. Jangankan sejahtera, untuk makan pun mereka kesulitan, bahkan hingga ada yang meregang nyawa akibat kelaparan.
Inilah yang terjadi dalam sistem ekonomi kapitalisme, siapa pun yang memiliki modal besar mereka lah yang berkuasa. Penguasa tidak mampu berbuat banyak, sebab di balik kekuasaan mereka ada andil besar para pengusaha.
Maka bukan hal yang mengherankan pengurusan SDA di negeri ini tidak maksimal, bahkan terkesan diobral kepada siapa saja yang memiliki uang. Penambangan ilegal pun dibiarkan terjadi berulang kali, padahal ada undang-undang yang jelas terkait hal tersebut.
Sangat berbeda dengan negara yang menerapkan aturan Islam, di mana pengelolaan sumber daya alam diatur secara jelas. Seorang penguasa adalah pengurus (raa’in) dan perisai (junnah) bagi rakyat. Kesadaran terhadap dua peran ini akan menuntun pemimpin dalam mengatur potensi kekayaan alam sesuai ketentuan Allah Swt. selaras dengan keberadaan SDA.
Rasulullah saw. telah memberikan contoh tata cara pengelolaan SDA, hal tersebut merupakan hukum syariat yang wajib untuk diadopsi oleh negara. Sesuai dengan sabda Beliau: “Ada tiga hal yang tidak boleh dilarang (orang lain dihalangi untuk memanfaatkannya): rerumputan, air, dan api.” ( HR. Ibnu Majah)
Hal ini menegaskan bahwa syariat telah mengatur kepemilikan atas kekayaan alam. Penguasa akan menetapkan dan memetakan wilayah tambang, banyak sedikitnya ditentukan oleh para ahli terkait. Mengelolanya secara mandiri tanpa campur tangan swasta, karena monopoli SDA tidak diperbolehkan.
Dengan konsep ini negara dapat menutup celah perampokan SDA oleh pihak asing. Hasil pengelolaan tambang akan dikembalikan kepada umat, secara tidak langsung dalam bentuk jaminan kebutuhan pokok rakyat, seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, keamanan dan lain sebagainya secara murah bahkan gratis, yang dibiayai oleh baitul mal.
Sementara jika jumlah barang tambangnya sedikit dan wilayah tersebut tidak membahayakan untuk dieksplorasi dan dieksploitasi, negara mengizinkan individu atau swasta mengelolanya. Dengan syarat mulai dari prosedur, alat yang digunakan serta para pekerjanya harus sesuai dengan kualifikasi yang telah ditentukan.
Jika tidak, qadhi hisbah akan mengontrol kualitas pengelolaan SDA individu secara berkala. Sehingga dalam kebijakan ini negara dapat memastikan jaminan keselamatan rakyat, dan mencegah terjadinya bencana, seperti longsor di galian tambang.
Alhasil, pengelolan tambang baik secara individu maupun oleh negara mampu memberi kesejahteraan. Terlebih, penguasa akan memastikan seluruh warganya memiliki kepribadian Islam melalui sistem pendidikan yang berbasis syariat. Sehingga mereka tidak mudah membahayakan diri, melakukan penambangan ilegal yang minim perlindungan, hanya demi mengejar keuntungan pribadi.
Demikianlah sistem Islam mengatur permasalahan umat, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam. Namun hal ini hanya akan mampu diterapkan dalam negara berlandaskan hukum syariat, bukan negeri yang mengadopsi kapitalisme sekularisme. Lalu, masihkah kita berharap pada sistem kapitalisme?
Wallahu a’lam bi ash shawab.
More Stories
KURSUS ALKITAB GRATIS YANG MENGUBAH KEHIDUPAN
Rayakan Ulang Tahun ke-11, Indonesia SIPF Gelar Bulan Perlindungan Investor
Penyediaan Alat Kontrasepsi Meresahkan, Peran Negara Dipertanyakan