02/07/2024

Jadikan yang Terdepan

Marak Gratifikasi, Zonasi Urung Memberi Solusi

Oleh Irma Faryanti

Pegiat Literasi

Tahun ajaran baru telah tiba, para orang tua tengah harap-harap cemas dengan nasib anak-anak mereka. Apakah bisa masuk ke sekolah yang diharapkan ataukah tidak. Pasalnya persaingan begitu ketat dengan sistem zonasi yang diterapkan, ditambah dengan adanya praktik kecurangan yang marak terjadi.

Ubaid Matraji selaku Koordinator Nasional (Koornas) Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) berpandangan bahwa kecurangan yang terjadi saat Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) akan senantiasa terulang pada tahun-tahun berikutnya selama tidak ada perubahan sistem zonasi yang dianggapnya telah menyimpang dari visi yang seharusnya yaitu pemerataan. (TEMPO.CO, Selasa 11 Juni 2024)

Kecurangan itu bisa berbentuk gratifikasi pada semua jalur seperti: jual beli kursi, manipulasi kartu keluarga, sertifikat abal-abal untuk jalur prestasi, pemalsuan kemiskinan untuk jalur afirmasi, titipan dinas dan lain sebagainya. Bisa melalui kepala sekolah, jasa titipan lewat guru, komite, broker, atau pihak lainnya.

Menurut Ubaid, praktik koruptif tersebut terjadi karena tidak ada jaminan dari negara agar setiap anak mendapatkan haknya untuk bersekolah. Selain itu, menurutnya sistem zonasi yang saat ini diberlakukan menyebabkan terjadinya ketimpangan mutu dan terjaminnya kepastian.

Terkait masalah PPDB, sebanyak 30 aduan diterima oleh Ombudsman Jawa Tengah sejak pembukaan tanggal 11 Juni 2024. Umumnya mempertanyakan terkait data siswa tidak mampu, masalah zonasi, kendala aplikasi juga seragam sekolah. Jenjangnya pun merata mulai dari SD, SMP dan SMA/SMK.

Masyarakat yang merasa menjadi korban disarankan untuk melaporkan tindak kecurangan yang dialami agar pengawasan bisa lebih diperketat sehingga proses penerimaan siswa baru bisa berjalan akuntabel, berintegritas dan berkeadilan.

Miris memang, pendidikan yang berperan besar dalam menjamin kelangsungan hidup dan menjadi wahana untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia, justru tidak bisa dinikmati secara merata.

Keberadaannya menjadi hak warga yang wajib dipenuhi oleh negara. Kewajiban ini tertuang dalam pasal 31 ayat (1) dan (2) UUD 1945, juga pasal 11 ayat (1) UU no 20 tahun 2003 tentang sisdiknas, di mana dipertegas bahwa pemerintah pusat dan daerah harus memberikan layanan dan kemudahan juga jaminan bagi penyelenggaraannya dengan kualitas yang bermutu tanpa adanya diskriminasi.

Zonasi diberlakukan berdasarkan Permendikbud No.1/2021 tentang PPDB. Sejak saat itu masyarakat kesulitan memilih sekolah sesuai keinginan dan hanya bisa masuk pada sekolah-sekolah yang dekat jaraknya. Sistem ini dianggap sebagai upaya pemerataan akses pada layanan dan kualitas pendidikan. Sehingga diharapkan bisa menghapus kesenjangan, di mana yang dianggap favorit memiliki fasilitas terbaik dan hanya bisa dinikmati oleh orang-orang tertentu.

Namun alih-alih memberi gebrakan, sistem ini justru menimbulkan masalah baru, di mana kecurangan terus bermunculan karena masyarakat rela melakukan apapun agar anaknya bisa sekolah dengan fasilitas yang memadai. Zonasi pun seolah menjadi kompetisi rebutan kursi, karena jumlah pendaftar tidak seimbang dengan kuota yang disediakan. Inilah yang terjadi ketika solusi yang ditetapkan bersifat pragmatis.

Padahal masalah pendidikan bukanlah sekedar masalah murid semata, masih ada problema lain yang belum kunjung tersolusikan, misalnya: penyediaan sarana dan fasilitas yang sangat minim, kurangnya tenaga pendidik yang kompeten, kesejahteraan guru yang terabaikan, juga kurikulum yang hanya fokus pada pembentukan output yang berorientasi pada materi semata.

Kegiatan pembelajaran tidak lebih hanya sekedar transfer ilmu yang bukan dipelajari untuk diamalkan, melainkan sekedar diingat ketika ulangan. Inilah realita dunia keilmuan dalam naungan negara yang menganut kapitalisme liberal yang sekuler, yaitu sistem yang menjauhkan peran agama dari kehidupan dunia.

Pendidikan diarahkan agar semua elemen yang terlibat di dalamnya berorientasi pada uang. Apapun akan dilakukan walau harus menghalalkan segala cara untuk meraih apa yang diharapkan. Seperti dalam masalah menyekolahkan anak, suap atau sogok pun rela dilakukan asal bisa masuk ke sekolah favorit.

Sangat jauh berbeda dengan Islam, pendidikan dipandang sebagai bagian dari layanan publik yang berhak dinikmati oleh masyarakat. Negara wajib memenuhi dan menjamin kualitasnya, karena semua itu merupakan bagian dari tugas penguasa yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban.

Rasulullah saw. bersabda dalam HR Bukhari:“Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpin,”

Adapun langkah yang akan dilakukan negara untuk menyolusikan masalah pendidikan adalah: Pertama, membangun berbagai fasilitas pendukung seperti gedung, perpustakaan atau laboratorium. Biaya pembangunannya diambil dari baitulmal yang pendapatannya berasal dari kharaj, jizyah, fai, ganimah dan pengelolaan SDA. Kedua, menyediakan guru-guru berkualitas, yang tidak hanya mumpuni dari sisi akademik, tapi juga memiliki kepribadian Islami. Kesejahteraan mereka juga terjamin dengan upah yang memadai. Sehingga mereka bisa fokus mendidik tanpa harus terbagi perhatian dengan mencari tambahan. Ketiga, menerapkan sistem pendidikan berbasis aqidah Islam yang bertujuan mencetak generasi unggul yang berkepribadian Islam, menguasai tsaqofah Islam beserta ilmu-ilmu kehidupan. Pembentukan kepribadian ini sangat diperlukan supaya mereka dapat menggunakan ilmunya untuk kemaslahatan orang banyak, bukan sekedar untuk mengejar materi semata.

Demikianlah cara Islam menangani masalah yang terjadi di dunia pendidikan. Semua itu hanya akan terwujud sempurna ketika hukum Allah diterapkan di setiap aspek kehidupan, dalam naungan sebuah sistem pemerintahan. Wallahu alam Bissawab