Oleh Irma Faryanti
Member Akademi Menulis Kreatif
Kemarau kali ini dirasa sangat terik, kekeringan pun terjadi dimana-mana, sehingga berdampak pada sulitnya masyarakat dalam memperoleh air bersih. Seperti yang dialami warga Pangasinan RT 1 RW 13, Dusun Girimulya, Desa. binangun, Kota Banjar, Jawa barat. Lebih dari 20 tahun sumur-sumur mereka tidak bisa digunakan untuk minum dan masak karena terasa asin. Sayangnya, tidak ada pasokan dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) setempat untuk membantu kesulitan ini. Penduduk pernah mendapat bantuan dari pemerintah berupa penggalian sumur bor sedalam 100 meter, tapi hasilnya masih kotor dan tidak layak untuk dikonsumsi. (tvOnenews.com, Senin 7 Agustus 2023)
Warga hanya bisa mengandalkan bantuan air bersih dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Banjar atau merogoh kocek lebih dalam lagi untuk mendapatkannya. Menurut Kusnadi selaku Kepala Pelaksana BPBD setempat, krisis tersebut bisa ditangani dengan dua alternatif yaitu: pemasangan jalur pipa PDAM atau memasang mesin penyulingan. Pihaknya akan tetap memberikan bantuan selama masyarakat masih kesulitan mendapat pasokan, beberapa toren pun sudah dipasang untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Krisis serupa juga dialami warga di Kabupaten Bogor, bahkan telah berdampak pada kesehatan. Dinkes setempat mencatat adanya peningkatan kasus penyakit diare yang dialami masyarakat, walaupun angkanya masih fluktuatif. Diduga hal itu merupakan dampak dari kemarau sehingga penduduk kekurangan air bersih, tapi bisa juga karena faktor higienitas sanitasi yang belum optimal. Untuk itu diperlukan kesadaran untuk menjalankan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), misalnya dengan mencuci tangan memakai sabun sebelum makan dan sesudah buang air kecil/besar, memasak air minum sampai mendidih, dan tidak mencuci perabotan di sungai.
Hal tersebut disampaikan oleh Adang Mulyana selaku Kepala Bidang Pelayanan dan Pengendalian Penyakit (P2P). Lebih lanjut ia menyarankan agar masyarakat melaksanakan PHBS di rumahnya masing-masing untuk meminimalisasi masalah kesehatan. Di Kabupaten Bogor sendiri, krisis air bersih baru terjadi akhir-akhir ini khususnya di Desa Weninggalih, Kecamatan Jonggol Kabupaten Bogor. Kepala desa setempat, Mamat Rahmat, membenarkan bahwa warganya mengalami kekeringan dan kesulitan air bersih untuk minum, memasak, mencuci dan mandi. Selain akibat kemarau, hal tersebut juga dipengaruhi oleh kontur tanah yang merupakan cadas putih dan hitam, seperti batu bara muda tanpa serat air.
Menurut Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, musim kemarau dan kekeringan di Indonesia masih belum separah Korea Selatan. Sebelumnya, gelombang panas telah terjadi di wilayah tersebut dan menewaskan sedikitnya 25 orang dan mengakibatkan pelaksanaan Jambore Pramuka Dunia di Area Reklamasi Saemangeum terganggu. Sekitar 1.569 orang dari Kontingen Indonesia pun pulang sebelum kegiatan berakhir karena suhu di sana bisa mencapai 38-40 derajat celcius pada siang hari. Diduga bencana ini dipicu oleh fenomena El Nino, di mana puncaknya akan terjadi pada minggu terakhir bulan Agustus 2023. Fenomena ini juga berpotensi mengganggu ketahanan pangan nasional, karena ada kemungkinan terjadinya ancaman gagal panen pada lahan pertanian tadah hujan.
Sangat miris, sebagai negara dengan peringkat ke-5 yang memiliki kekayaan persediaan air tawar, yaitu mencapai 2,83 triliun meter kubik per tahunnya, Indonesia baru memanfaatkan sepertiganya saja. Sayangnya, akibat konsep tata kelola yang buruk menyebabkan sumber yang berlimpah ini tidak kunjung mendatangkan manfaat bagi masyarakat.
Aturan kapitalisme sekuler yang saat ini digunakan dalam mengelola sumber daya alam, telah melahirkan kebijakan politik demokrasi neoliberal yang menjadikan air sebagai komoditas ekonomi. Sebagai ajang bisnis yang dapat dikelola para pemodal untuk meraup keuntungan. Dengan mudahnya pengelolaan tersebut diserahkan kepada para korporat dengan mengatasnamakan privatisasi. Akibatnya rakyat harus membayar mahal untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Liberalisasi yang terjadi menunjukkan bahwa dalam hal ini peran negara hanya sebagai regulator dan fasilitator, karena kendali berada di tangan korporasi yang telah diberi wewenang dalam pengadaan berbagai infrastruktur penyediaan air bersih. Komersialisasi yang dilakukan semakin menambah derita dan beban hidup rakyat. Abainya pengayoman pemerintah juga nampak dari tidak tegasnya penguasa dalam menindak pelaku perusakan lingkungan sumber air seperti sungai, danau dan waduk, karena limbah industri, deforestasi juga perubahan tata guna lahan. Pengelolaan ala kapitalisme dilakukan untuk mendukung kepentingan para pemilik modal untuk meraih keuntungan.
Dalam kendali kapitalisme, krisis air dipastikan akan senantiasa terulang, bahkan semakin memburuk. Ketika tidak ada yang bisa diandalkan dari sistem ini, tentu diperlukan solusi lain yang dapat memberi penyelesaian bagi seluruh permasalahan yang terjadi. Hal ini hanya akan kita dapatkan dalam Islam, yang memiliki konsep unggul melalui syariat yang Allah Swt. turunkan kepada Rasulullah saw.
Terkait penyelesaian krisis air bersih ini, syariat telah menetapkan bahwa negara sebagai pengayom dan pelindung, bertanggung jawab penuh atas urusan rakyatnya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. dalam HR Bukhari dan Muslim:
“Imam itu laksana penggembala dan hanya ia lah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya.”
Seorang penguasa berkewajiban memenuhi kebutuhan rakyatnya, termasuk dalam hal penyediaan air bersih. Negara bisa melakukan mitigasi dengan membiayai risetnya, pengembangan teknologi hingga pengimplementasian, sehingga masalah mampu dikendalikan. Proses ini tentu tidak boleh diberikan kepada pihak lain seperti korporasi, harus dikelola langsung oleh pemerintah Islam.
Berbagai tindak perusakan lingkungan yang mengatasnamakan pembangunan dan proyek strategis juga akan dihentikan. Karena dalam Islam pembangunan harus berpijak pada prinsip yang sesuai dengan syariat, tetap memperhatikan karakter alam agar tetap terjaga dan dapat memberi kemaslahatan bagi umat.
Sistem ekonomi yang diterapkan pun akan berbasis Islam, di mana konsep pengelolaan harta diatur dengan sangat rinci. Syariat menetapkan bahwa air termasuk harta milik publik sebagaimana energi, laut, hutan, sungai dan lain sebagainya. Dan pengelolaannya wajib dilakukan oleh negara, untuk memanfaatkan hasilnya demi kepentingan rakyat. Dengan begitu tidak akan pernah terjadi adanya krisis yang berulang karena kebutuhan masyarakat terpenuhi.
Tentunya hal ini hanya akan bisa terjadi dalam sebuah sistem pemerintahan Islam, di mana syariat Allah Swt. diterapkan pada setiap aspek kehidupan dan membawa keberkahan bagi seluruh alam semesta.
Wallahualam bissawab
More Stories
Dampak Pemidanaan Guru oleh Ortu Siswa Terhadap Keberlangsungan Pendidikan Masa Depan
Sumber Daya Alam Melimpah, Mengapa Rakyat Susah?
KURSUS ALKITAB GRATIS YANG MENGUBAH KEHIDUPAN