25/11/2024

Jadikan yang Terdepan

Nasib Ojol Kian Terpuruk, Akibat Sistem yang Buruk

Oleh Ummu Kholda
Pegiat Literasi, Komunitas Rindu Surga

Ojek online atau kerap disebut ojol nasibnya semakin terpuruk, jauh dari kata sejahtera. Selain jam kerja yang tidak menentu dan upah yang tidak seberapa, mereka pun kerap diperlakukan tidak adil dari perusahaan tempat mereka bekerja. Terlebih ketika menggunakan motor listrik. Meskipun lebih hemat dari sisi bahan bakar, akan tetapi tidak mampu menutup biaya sewa.

Di sisi lain, Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi justru menyatakan bahwa pendapatan pengemudi ojol naik dikarenakan adanya motor listrik. Pernyataan ini pun direspon oleh Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) Lily Pujiati. Menurutnya, pernyataan tersebut tidak sesuai dengan fakta. Nyatanya para pengemudi ojol terbebani biaya sewa motor setiap harinya. Mereka harus bekerja setiap hari tanpa libur dari pagi sampai malam untuk membayar sewa motor listrik ke aplikator sebesar 40-50 ribu per hari. (Tempo.co, 29/7/2023)

Lebih lanjut Lily menyatakan, kondisi tersebut sangat memberatkan, terlebih bagi pengemudi ojol perempuan yang sedang haid atau hamil. Bukannya mendapatkan cuti, mereka terpaksa terus bekerja karena harus membayar sewa motor. Ia juga menilai, pernyataan Menhub tersebut adalah bukti ketidakhadiran serta ketidakpedulian pemerintah terhadap nasib dan kepentingan ojol.

Nasib Ojol Kian Terjepit

Nasib ojol pun kian terjepit. Tidak hanya perusahaan yang tidak berpihak kepadanya, akan tetapi pemerintah pun demikian. Buktinya Peraturan Menteri Nomor 12 Tahun 2019 yang mengatakan bahwa hubungan perusahaan aplikasi dengan pengemudi ojol adalah hubungan kemitraan. Sehingga para pengemudi ojol tidak mendapatkan hak-hak sebagai pekerja atau karyawan pada umumnya. Sementara, menurut Ketua SPAI, Pujiati, kenyataannya hubungan yang terjalin adalah hubungan kerja. (Tempo.co, 1/8/2023)

Namun tampaknya pemerintah belum berani untuk menetapkan ojol sebagai pekerja, bukan mitra. Padahal sesuai Undang-Undang Ketenagakerjaan, pengemudi ojol berhak atas status pekerja. Dengan berstatus pekerja, pengemudi ojol bisa mendapatkan upah minimum setiap bulannya, upah lembur, jam kerja 8 jam, waktu istirahat, jaminan sosial, dan sebagainya termasuk membentuk serikat pekerja. Sayangnya yang terjadi justru sebaliknya, para pengemudi ojol dieksploitasi dan dimanfaatkan, baik oleh aplikator, pengusaha motor listrik maupun pemerintah itu sendiri.

Kondisi ini menunjukkan kegagalan pemerintah dalam menjamin kelayakan aturan kerjasama antara pekerja dengan pemberi kerja. Hal ini terbukti dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah begitu pro terhadap pengusaha dan merugikan pekerja. Sebut saja Undang-Undang Omnibus Law atau Cipta Kerja yang isinya begitu merugikan pekerja. Namun tetap saja disahkan meskipun sebelumnya banyak penolakan dari berbagai pihak.

Akibat Sistem Ekonomi Kapitalis

Permasalahan ekonomi yang menghimpit rakyat termasuk yang menimpa para pengemudi ojol adalah akibat dari diterapkannya sistem ekonomi kapitalis. Sistem ini mengandalkan perusahaan untuk menciptakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya. Negara tidak akan segan untuk menggelontorkan dana kepada perusahaan sebagai stimulus ekonomi agar mampu bertahan dalam kondisi apa pun. Namun sebaliknya pemerintah kerap enggan memberikan subsidi untuk rakyat kecil karena dianggap tidak produktif. Padahal sebagian besar pekerja dari sektor informal (tidak resmi), bahkan pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) lebih didominasi oleh kelas usaha mikro.

Selain itu, pemasukan dari pajak digital juga dinilai cukup besar. Bahkan perkembangan ekonomi digital (teknologi finansial) termasuk aplikasi ojol, begitu digadang-gadang dapat menaikkan penerimaan negara dari sektor pajak. Alih-alih mengubah nasib pengemudi ojol, kebijakan yang ada justru lebih mengarah kepada kepentingan perusahaan.

Itulah paradigma sistem ekonomi kapitalis yang berprinsip pada untung rugi serta materi semata. Sistem ini juga menyerahkan semua urusan kepada swasta termasuk dalam hal penyediaan lapangan pekerjaan. Penguasa hanya sebagai regulator bagi kepentingan-kepentingan pengusaha, sementara urusan rakyat belakangan.

Sistem Ketenagakerjaan dalam Islam

Berbeda dengan kapitalis, sistem Islam begitu memperhatikan nasib rakyatnya. Karena sistem ini datang dari Al-Khalik Al-Mudabir. Sebagai agama yang sempurna, Islam memiliki seperangkat aturan yang jelas untuk diterapkan di setiap aspek, termasuk dalam hal ketenagakerjaan. Sistem Islam juga menghadirkan seorang pemimpin yang bertanggung jawab terhadap semua urusan rakyatnya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang artinya: “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas kepengurusan rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari)

Adapun mekanisme Islam dalam hal ketenagakerjaan meliputi beberapa hal, di antaranya: Pertama, Islam memiliki aturan akad yang jelas, sangat manusiawi, dan jauh dari eksploitasi. Misalnya dalam hal upah, Islam memberikan upah sepadan, yakni besaran upah bagi satu jenis pekerjaan. Islam juga tidak memasukkan upah ke dalam biaya produksi seperti yang biasa terjadi di sistem saat ini karena upah dan produksi merupakan pembahasan yang berbeda.

Kedua, masalah upah akan mencukupi atau tidak untuk kebutuhan pekerja bukan tanggung jawab perusahaan, melainkan negara. Negara yang akan berkewajiban memenuhi kebutuhan rakyat dan menyejahterakannya.

Ketiga, Islam menjadikan negara sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap semua urusan rakyat, termasuk urusan lapangan kerja. Negara akan membuka seluas-luasnya lapangan pekerjaan, bukan diserahkan kepada swasta. Selain itu negara juga tidak akan membiarkan tenaga asing masuk dengan mudah di tengah tingginya angka pengangguran.

Keempat, luasnya lapangan pekerjaan dan jaminan kesejahteraan dari pemerintah, membuat daya tawar individu pekerja sejajar dengan pemberi kerja dengan menggunakan prinsip saling membutuhkan sehingga tidak akan saling menzalimi.

Dengan mekanisme tersebut, akan dapat menciptakan produktivitas yang tinggi dan meningkatkan perekonomian suatu negara. Begitu pula dalam hal kemitraan atau syirkah akan dijalankan sesuai syariat sehingga kedua belah pihak tidak ada yang dirugikan.

Karenanya, kita sebagai umat Islam tidak bisa berharap pada sistem yang ada saat ini yakni kapitalisme sekuler yang buruk dan tidak pro rakyat. Hanya sistem Islamlah satu-satunya yang mampu mengatasi permasalahan rakyat, termasuk masalah ojol. Yakni dengan penerapannya secara menyeluruh (kafah) niscaya kesejahteraan rakyat akan terjamin. Wallahu a’lam bi ash shawab.