25/11/2024

Jadikan yang Terdepan

“Hari Anti-Islamofobia,” Cara Barat Menutupi Ketakutannya terhadap Islam

Oleh: Uqie Nai

(Member AMK4)

Pertengahan Maret lalu, lembaga internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadakan satu perhelatan dalam Sidang Umumnya. Sidang yang diselenggarakan pada Selasa (15/3/2022), secara khusus ditujukan untuk Islam dan eksistensinya, yakni menetapkan tanggal 15 Maret sebagai ‘Hari Internasional untuk Memerangi Islamofobia’ (Anti-Islamofobia). Di samping itu, Pengukuhan tersebut adalah bentuk penghargaan dunia untuk kepemimpinan Pakistan yang menyuarakan keprihatinan serius di berbagai forum dunia, mengenai Islamofobia dan meningkatnya diskriminasi terhadap muslim di kalangan nonmuslim. (Kabardamai.id, Sabtu, 9/4/2022)

Masih dari laman yang sama, penetapan Hari Anti-Islamofobia disambut baik oleh Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas dan  Ketua DPD AA LaNyalla Mahmud Mattalitti. Menurut Menag, segala bentuk Islamofobia memang harus diperangi seperti prasangka, diskriminasi, ketakutan, dan kebencian terhadap Islam dan muslim, selain karena bisa mengancam kerukunan, juga bisa menyebabkan  disharmoni antarumat beragama. Sedangkan menurut LaNyalla ini adalah momentum luar biasa yang bisa membebaskan umat Islam dari berbagai stigma negatif sebagai teroris, radikal juga intoleran.

Maksud Terselubung Barat dalam Penghancuran Islam

Pengukuhan Barat atas Hari Anti-Islamofobia, bukanlah murni mendukung pemimpin Islam memerangi diskriminasi atas muslim minoriras, melainkan ada maksud terselubung yang menguntungkan mereka. Sejauh ini, Barat dengan Amerika sebagai negara pertama adalah pelaku kejahatan internasional di negeri-negeri muslim bahkan perampok terbesar kekayaan kaum muslimin. Kejahatan AS ini dibiarkan begitu saja karena banyaknya negara yang menutup mata dan telinga akibat besarnya imperialisme AS terhadap mereka melalui utang dan kerjasama ekonomi dan politik.

Amerika-lah dalang munculnya stigma negatif terorisme dan radikalisme dalam Rand Corp.nya mengklasifikasi Islam berdasarkan kecenderungannya dengan nilai-nilai Barat dan demokrasi. Dari mulai kelompok fundamentalis, tradisionalis, moderat, hingga radikal.

Kelompok yang disebut terakhir adalah kelompok Islam yang menolak ide dan nilai-nilai Barat termasuk demokrasi. Kelompok inilah yang ingin dihabisi Barat melalui pemimpin dan kaum muslim yang menjadi kaki tangannya.

Barat dengan para kompradornya mengaruskan ide untuk menolak diterapkannya syariat kafah dalam institusi khilafah. Satu-satunya sistem pemerintahan yang bertentangan dengan demokrasi-kapitalisme atau sosialisme komunis.

Untuk menyukseskan keinginan serta agenda yang termaktub dalam dokumen Rand Corp, Barat (AS) merangkul negara boneka yang sebagian besar merupakan negara ketiga, penduduknya mayoritas muslim, dan kekayaan alamnya melimpah.  Maka, penetapan Hari anti-Islamofobia ini tidak bisa dilepaskan dari agenda politik besar yang dilakukan oleh Amerika yang khawatir kedigdayaannya digeser oleh Islam atau negara-negara dengan penganut Islam terbesar. Dengan ini Barat coba menghancurkan ikatan akidah mereka melalui tangan kaum muslim sendiri, baik yang ada di tengah umat atau di ranah pemerintahan.

Penetapan Hari Anti-Islamofobia sejatinya adalah peringatan ‘anti Islam’ yang dikemas secara apik dalam label  politis, hingga banyak pemimpin muslim terperdaya.  Atas kondisi ini, umat Islam mesti menolak tegas dengan cara membangun kesadaran politik Islam,  menunjukkan keagungan Islam dan memperjuangkan tegaknya institusi Islam di tengah keburukan demokrasi.

Adang Arus Islamofobia dengan Islam Kafah

Allah Swt. telah berfirman dalam Al-Quran mulia: “Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah kalian dalam Islam secara kafah (menyeluruh), dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Dan sesungguhnya ia musuh yang nyata bagi kalian. (QS. Al-Baqarah [2]: 208)

Kaum muslim yang saat ini terbawa arus Islamofobia, sejatinya belum memahami Islam secara kafah, bahkan tak sedikit memilih syariat itu ibarat ‘prasmanan.’ Yang sesuai diambil, yang tidak suka ditinggalkan. Tataran ibadah mahdah diakui sebagai suatu kewajiban, sementara aturan berekonomi, sosial, politik, hukum, serta sanksi dll. tak merasa itu juga kewajiban, hingga banyak negeri muslim menerapkan aturan dan praktik dari luar syariat.

Satu-satunya cara memutus Islamofobia  bukan semata memahami dan mengkaji Islam secara menyeluruh, akan tetapi harus ada institusi yang menaungi terwujudnya hukum syariat dalam semua aspek. Institusi ini mewajibkan kepada pemimpin untuk menjadikan Islam sebagai asas negara, dan menjadikan pemeluknya sebagai pribadi-pribadi kokoh yang berakidah dan bersakhsiyah Islam. Sebab, kekuatan umat Islam dibangun atas landasan akidah Islam. Muslim yang satu dan muslim lainnya ibarat satu tubuh yang memunculkan rasa persaudaraan dan kasih sayang  karena Allah Swt.

“Perumpamaan orang-orang yang beriman di dalam saling mencintai, saling menyayangi dan mengasihi adalah seperti satu tubuh, bila ada salah satu anggota tubuh mengaduh kesakitan, maka anggota-anggota tubuh yang lain ikut merasakannya, yaitu dengan tidak bisa tidur dan merasa demam.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dengan adanya perasaan ‘satu tubuh’, kaum mukmin semestinya secara otomatis dapat merasakan penderitaan saudaranya yang lain akibat diskriminasi atau Islamofobia, bukan malah menjadi musuh atau pembunuh saudaranya. Mukmin sejati akan berupaya membantu saudaranya secara optimal agar penderitaan dan kesulitannya itu berkurang atau bahkan hilang sama sekali. Inilah yang saat ini semakin pudar. Kaum muslimin terjebak nasionalisme dan isu yang terus digoreng Barat untuk mengadu-domba umat Islam.

Maka, urgensitas adanya institusi Islam (negara) adalah pokok perjuangan seluruh kaum muslim. Keberadaannya sebagai ‘mahkota kewajiban’ bagi umat saat ini, akan berbuah nyata menjadi raa’in dan junnah sekaligus  rahmat bagi semesta alam. Masyarakat dapat berlindung padanya dari serangan musuh, dari pembuat kerusakan dan kezaliman, atau semua keburukan serta kemadaratan. Di tangannya-lah implementasi syariat sebagaimana contoh Rasulullah saw. akan mampu menggentarkan musuh/asing yang hendak merusak ukhuwah umat dan haibah (wibawa) negara.

إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدْلٌ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ ، وَإِنْ يَأْمُرُ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ [رواه البخاري ومسلم]

“Sesungguhnya seorang imam itu [laksana] perisai. Dia akan dijadikan perisai, dimana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan adil, maka dengannya, dia akan mendapatkan pahala. Tetapi, jika dia memerintahkan yang lain, maka dia juga akan mendapatkan dosa/adzab karenanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Wallahu a’lam bi ash Shawwab.