22/11/2024

Jadikan yang Terdepan

Upah Minimum Naik Namun Buruh Kian Tercekik

Oleh Irma Faryanti
Ibu Rumah Tangga dan Member Akademi Menulis Kreatif

Gelombang demonstrasi buruh kembali terjadi, di tengah bahaya pandemi yang masih menyelimuti mereka tetap bersemangat menyampaikan aspirasi. Kali ini mereka kembali menuntut ketidakadilan akibat penetapan kenaikan upah minimum yang nominalnya sangat mengecewakan.

Kenaikan upah yang seyogyanya memberi kebahagiaan, justru menorehkan kekecewaan yang mendalam. PP no 36 tahun 2021 tentang pengupahan telah menetapkan kenaikan upah sebesar 1,09% saja. Artinya kenaikan yang terjadi hanya sekitar Rp.18000 saja di daerah yang UMP nya Rp.1,8 juta misalnya. Sebuah nilai yang jauh dari kata layak.

Sontak hal ini menimbulkan ketidakpuasan dari kalangan buruh. Mereka menolak keputusan tersebut dan kembali pada tuntutan kenaikan Upah Minimum(UM) sebesar 7-10% pada tahun 2022. Aksi demonstrasi pun tidak dapat dihindari, bahkan mereka berencana melakukan mogok nasional pada tanggal 6-8 Desember 2021.

Menyikapi sikap kontra tersebut, Indah Anggoro Putri selaku Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial (PHI) dan Jamsos Kemnaker memahami bahwa UM tahun 2022 belum bisa memenuhi ekspektasi sebagian pihak, namun seharusnya hal ini bisa diapresiasi sebagai suatu langkah maju karena negeri ini berada pada masa pemulihan dari pandemi yang tengah terjadi.(Bisnis.com 25 Oktober 2021)

Kekecewaan pun semakin menjadi saat Menaker Ida Fauziyah menyatakan bahwa upah minimum buruh di Indonesia dinilai terlalu tinggi. Pernyataan ini jelas mengiris hati para buruh karena dinilai miskin empati dan tidak sesuai dengan fakta yang terjadi. Dibanding gaji anggota dewan beserta tunjangan-tunjangannya atau penghasilan orang-orang kaya di negeri ini, gaji buruh jauh dari kata layak, kenaikan sebesar 1% dinilai sangat tidak manusiawi karena tidak seimbang dengan tingginya angka inflasi.

Jika diprediksi bahwa inflasi di tahun 2022 sekitar 3-4% maka semestinya upah yang harus naik pun berkisar pada nominal yang sama atau lebih. Hal ini tidak bisa dianggap sepele, karena tinggi rendahnya gaji buruh ikut berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi. Karena jika jika pendapatan masyarakat rendah maka konsumsi serta daya beli mereka pun akan berkurang. Hal tersebut dipastikan akan berimbas pada kesejahteraan, ketika pendapatan tidak mencukupi sementara biaya hidup saat ini semakin mahal; PPN yang semakin naik, tarif listrik dan air yang tidak murah, ditambah dengan harga-harga kebutuhan pokok yang semakin melambung akan membuat kondisi perekonomian akan semakin sulit untuk dicapai.

Apa yang terjadi tentu memiliki landasan dan latar belakang. Kapitalisme memiliki peran besar dalam permainan politik ekonomi hari ini. Kapitalisme telah mendudukkan posisi pekerja agar sejajar dengan faktor produksi lain. Mereka berusaha sebisa mungkin agar bisa berlepas diri dari kesejahteraan kaum buruh, bahkan menganggapnya tidak lebih dari pekerja yang tidak berhak mendapat upah yang layak.

Bisa dikatakan apa yang terjadi saat ini tak ubahnya seperti perbudakan modern bahkan lebih tidak manusiawi. Para pemilik modal menjadikan upah sebagai variable cost yang sangat bisa ditekan sekehendak hati mereka, sehingga merasa berhak untuk menentukan besaran upah bagi pekerja. Jika upah terlalu kecil jelas akan menghambat produktivitas, untuk itu mereka memanfaatkan wewenang penguasa untuk memberlakukan aturan korporasi sesuai dengan yang mereka kehendaki. Inilah yang kemudian dikenal dengan teori “upah besi” di mana upah tidak bisa lagi ditekan karena akan mempengaruhi produktivitas pekerja.

Inilah cara kapitalis dalam menyelesaikan masalah upah. Alih-alih memberi rasa keadilan dan menjamin kesejahteraan, justru keterpurukan dan kesengsaraan lah yang didapatkan oleh masyarakat. Karena semuanya diukur dari keuntungan materi dari para pemilik modal yang tidak mau rugi dan cenderung mementingkan diri sendiri.

Berbeda dengan Islam, syariat telah menetapkan bahwa perhitungan upah harus berdasarkan manfaat diberikan pekerja kepada pihak yang mempekerjakannya. Tinggi atau rendahnya nilai barang yang diproduksi, laku tidaknya penjualan barang tidak bisa dijadikan sebagai patokan penentuan upah. Ketika manfaat sudah diberikan oleh pekerja maka upahnya wajib ditunaikan oleh majikannya. Sebagaimana sabda sabda Rasulullah saw. dalam HR. Ibnu Majah :
“Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.”

Upah adalah akad yang wajib ditunaikan. Ketenagakerjaan sendiri dalam fikih dikenal dengan ijarah yang didefinisikan oleh Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani sebagai akad atas suatu manfaat dengan imbalan (upah). Keberadaannya harus sepadan dengan manfaat yang telah diberikan oleh pekerja. Oleh karena itu kedudukan majikan dengan pekerja adalah setara. Baiknya sistem pengupahan akan berpengaruh pada kinerja dari para pekerjanya, maka pengusaha/majikan yang baik akan memperhatikan apa yang menjadi hak pekerja. Sehingga dengan terpenuhinya hak buruh (pekerja), pencapaian kesejahteraan masyarakat akan menjadi niscaya bukan lagi sebatas khayalan semata. Semua tentu akan terwujud ketika syariat Islam diterapkan secara sempurna dalam sebuah institusi Islam.

Wallahu a’lam Bishawwab