Oleh: Uqie Nai
Member AMK4
Kerja keras petani cabai yang digadang-gadang berbuah keuntungan besar, nyatanya berujung kecewa. Harga cabai yang sebelumnya meroket, harus terjun bebas dengan harga yang begitu rendah, bahkan saking kecewanya dengan harga tersebut para petani di Sleman, Yogyakarta membagi-bagikannya secara gratis kepada masyarakat, ada juga yang membiarkannya membusuk di ladang atau membakarnya seperti yang dilakukan petani cabai di Majalengka, Jawa Barat. Disinyalir, anjloknya harga cabai ini karena menurunnya daya beli masyarakat pasca diberlakukannya PPKM dan legalisasi impor.
Menurut Ketua Forum Petani Kalasan, Janu Riyanto harga cabai di tingkat petani merosot hingga 50 persen dari harga normal. Padahal selama ini harga normal cabai ada di kisaran Rp11.000 per kilogram, sedangkan sekarang harga cabai anjlok menjadi Rp5.000 per kilogram.
Kondisi ini, menurut Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Yogyakarta Hempri Suyatna disebabkan adanya kebijakan impor cabai yang dilakukan pemerintah Indonesia pada saat pandemi, sehingga panenan produk lokal terganggu. Menurutnya, pada bulan Januari hingga Juni 2021 Indonesia telah melakukan impor cabai yang mencapai 27.851,98 ton atau senilai Rp8,58 triliun, dengan pemasok terbesarnya adalah India. (Ayoyogya.com, Minggu, 29/8/2021)
Kebijakan Kapitalistik menjadi Pil Pahit untuk Petani
Kepahitan yang dialami petani di negeri ini harusnya tidak terjadi, mengingat Indonesia disebut negara penghasil cabai terbesar keempat dunia berdasarkan data Food and Agriculture Organization (FAO) 2018. Harusnya dengan capaian itu, Indonesia bisa mendongkrak ekonomi petani melalui ekspor cabai dengan dukungan lain berupa distribusi pangan, penyediaan alat produksi, dan pengawasan terhadap kecurangan pasar yang dilakukan tengkulak atau kartel.
Harapan terkadang tak sesuai ekspektasi. Keberpihakan pemimpin untuk melayani kepentingan masyarakat menengah ke bawah, semakin utopis manakala kebijakan serta regulasi yang dilakukan pemerintah lebih pro pengusaha dan korporat. Alhasil, alih-alih meningkatkan taraf kehidupan rakyat, pemerintah bersama instansi terkaitnya justru lebih memilih jalur impor di saat petani panen raya.
Negara seharusnya berpikir beribu kali dengan mengeluarkan kebijakan tersebut terlebih di tengah kesulitan masyarakat akibat pandemi. Program ‘stop impor pangan’ seolah hanya narasi tak ada arti ketika keuntungan materi begitu menggoda hati. Padahal, negara bisa memberi solusi lain selain impor saat stok cabai berkurang atau melimpah, di antaranya dengan memfasilitasi pengembangan industri-industri olahan cabai dan juga membangun sistem atau teknologi penyimpanan cabai agar tahan lama dan bisa menjadi lapangan kerja baru untuk warga terdampak wabah.
Namun, sepertinya solusi itu tidak akan diambil pemerintah sampai kapan pun selama negara tidak serius membangun kedaulatan pangan di negara sendiri. Pada akhirnya kekecewaan akibat ulah importir bermantel pejabat akan menyebabkan rakyat putus asa, tidak lagi semangat bercocok tanam atau mengolah kebunnya untuk memenuhi distribusi pangan dalam negeri. Jika ini terjadi, petani beramai-ramai menjual tanahnya, pengangguran semakin banyak, kemiskinan serta kejahatan bertambah luas, lebih dari itu negara harus menyiapkan anggaran jauh lebih besar untuk memenuhi stok dalam negeri dan mengatasi masalah sosial yang terjadi. Tidakkah ini akan membuat negara kolaps?
Kegagalan negara dalam memenuhi kebutuhan pokok rakyat merupakan dampak dari absennya visi sebagai sebuah negara yang punya tanggung jawab untuk mensejahterakan rakyat sesuai petunjuk Sang Pencipta alam semesta. Ketika konsep kapitalisme sekuler yang menjadikan keuntungan materi sebagai orientasi hidup diadopsi, maka wajar memunculkan ketamakan termasuk di kalangan para pejabat untuk balik modal politik. Belum lagi pengelolaan negara dengan konsep good governance yang menempatkan pemerintah hanya sebagai fasilitor saja, bukan pelayan bagi rakyat sehingga memungkinkan korporasi main mata dengan penguasa. Hal ini diperparah dengan konsep pasar bebas khas ekonomi kapitalisme. Maka tak heran jika celah impor begitu menarik pemerintah untuk dimanfaatkan ketimbang menutup serapat-rapatnya.
Ketahanan Pangan dengan Riayah Hakiki
Mewujudkan masyarakat sejahtera secara materi dan non materi memanglah tidak mudah, dibutuhkan tanggung jawab pemimpin secara komprehensif yang didukung oleh sistem yang sahih, begitu juga masalah ketahanan pangan.
Ketahanan pangan dalam sistem pemerintahan Islam mencakup: 1) Jaminan pemenuhan kebutuhan pokok pangan, 2) Ketersediaan pangan dan keterjangkauan oleh individu masyarakat, dan 3) Kemandirian pangan negara.
Dalam merealisasikan ketiga hal tersebut, negara dalam sistem Islam, selain memiliki tugas riayah su-unil ummah, baik dalam ataupun luar negeri, juga berkewajiban menjamin kebutuhan masyarakat berupa pangan, sandang, papan, serta kebutuhan dasar pendidikan, kesehatan dan keamanan, kepala per kepala. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Saw.: “Segala sesuatu selain naungan rumah, roti tawar, pakaian yang menutupi auratnya, dan air, lebih dari itu maka tidak ada hak bagi anak Adam di dalamnya.” (HR. Ahmad disahihkan oleh Ahmad Syakir dari jalur Utsman bin Affan)
Untuk menghindari praktik yang merugikan masyarakat, negara akan menjamin terlaksananya mekanisme pasar sesuai syariat dan memberantas berbagai distorsi yang menghambat seperti penimbunan (kanzul mal), riba, monopoli serta penipuan. Negara akan memberikan bantuan teknis, teknologi dan litbang, informasi, dan juga modal kepada rakyat yang mampu bekerja.
Dalam menjamin ketersediaan pangan, negara akan mencukupi produksi pangan pada tingkat yang dibutuhkan masyarakat. Jika produksi dalam negeri tidak cukup maka akan dipenuhi melalui impor dengan tetap memperhatikan kemaslahatan publik dan negara, maka jelas dalam Islam kebijakan impor diambil bukan karena desakan korporat atau mencari keuntungan materi tapi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Begitu pula dengan keterjangkauan pangan, negara akan berupaya mengembangkan teknologi pasca panen dan menyebarkannya pada petani dan pelaku usaha pertanian. Keterjangkauan pangan juga mencakup ketersediaan supply pangan dengan cara pengaturan stok dan pengendalian logistik. Yaitu menerapkan pengaturan pola dan musim tanam yang dikombinasikan dengan pengaturan daerah produksi.
Dengan adanya riayah secara hakiki dari negara berasaskan Islam, maka gambaran pengurusan umat di tangan pemimpin taat syariat dan pemimpin taat korporat jauh berbeda. Ibarat bumi dan langit. Oleh karena itu hanya dengan Islam mekanisme terpenuhinya ketahanan pangan akan tercapai setelah negara menjamin kebutuhan dasar warganya terlebih dahulu, individu per individu. Kebijakan impor pangan dari luar negeri akan diambil negara sesudah negara mengambil kebijakan dan strategi peningkatan produksi pangan nasional, dan dilakukannya impor saat kondisi mendesak saja, tidak terus-menerus yang bisa membuka celah masuknya intervensi asing, sebagaimana firman Allah Swt. : “Dan Allah tidak akan pernah sekalipun memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang mukmin.” (TQS. an-Nisa: 141)
Wallahu a’lam bi ash Shawwab.
More Stories
Dampak Pemidanaan Guru oleh Ortu Siswa Terhadap Keberlangsungan Pendidikan Masa Depan
Sumber Daya Alam Melimpah, Mengapa Rakyat Susah?
KURSUS ALKITAB GRATIS YANG MENGUBAH KEHIDUPAN